TEORI-TEORI DALAM
PSIKOLOGI SOSIAL
1. TEORI GENETIK
Teori ini menekankan kualitas pembawaan sejak lahir atas
tingkah laku sosial. Bahwa "manusia adalah binatang sosial" menjadi
inti dan teori genetik dan sekaligus menjadi dasar asumsinya, bahwa
komponen-komponen dari tingkah laku sosial dihubungkan dengan atau mempunyai
akar pada penyebab genetik yang tidak dipelajari. Misalnya Konrad Lorenz (dalam
Dayakisni, 2006:14), seorang ahli etiologi, yang mempelajari gejala sosial pada
binatang. Lorenz berpendapat bahwa tingkah laku agresi adalah perwujudan dan
insting agresi yang dibawa sejak lahir dan berasal dan kebutuhan untuk
melindungi diri. Ahli yang lainnya William Mc Douglas (dalam Dayakisni,
2006:14) juga mendasarkan pada konsep-konsep genetik pada tingkah laku sosial.
Douglas berpendapat bahwa banyak sifat dan tingkah laku spesifik dapat
dijelaskan dalam istilah insting, tingkah laku yang memiliki tujuan langsung
yang tidak dipelajari. Douglas menuliskan seperangkat insting yang diperkirakan
medasari sejumlah tingkah laku. Misalnya apabila seorang ibu melindungi anaknya
maka hal tersebut dinamakan tingkah laku "parental insting" (insting
orang tua) sedangkan jika dikenakan kepada orang yang berhungan dengan
orang-orang lainnya maka hal tersebut dianggap karena adanya "insting
untuk berkumpul". Namun sebagian ahli psikologi sosial menolak pendapat
bahwa resting merupakan mekanisme penjelasan tingkah laku manusia karena tasting
diangap tidak dapat menjelaskan alasan dibalik tingkah laku dan tidak dapat
memberikan prediksi yang akurat atas tingkah laku individu di masa yang akan
datang. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam teori genetik mengabaikan peranan
faktor situasional dan lingkungan dalam menelaah tingkah laku sosial. Oleh
karenanya teori ini kurang populer untuk dipakai dalam mengkaji
fenomena-fenomena psikologi sosial.
2. TEORI STIMULUS — RESPONS
Prinsip teori ini menyatakan bahwa:
"Kalau stimulus
memberikan akibat yang positif atau memberi reward maka respons terhadap
stimulus tersebut akan diulangi pada kesempatan lain dimana stimulus yang sama
timbul. Sebaliknya apabila respons memberikan akibat yang negatif (hukuman dan
sebagainya) hubungan antara stimulus - respons tersebut akan dihindari pada
kesempatan lain".
Beberapa istilah yang perlu dijelaskan dalam teori ini
adalah stimulus, respons, dorongan, reinforcementlfaktor penguat. Stimulus
adalah peristiwa yang terjadi baik di luar maupun di dalam tubuh manusia yang
menyebabkan timbulnya suatu perubahan tingkah laku. Respons adalah perubahan
yang disebabkan oleh adanya stimulus.
Menurut Keller & Schoenfeld (Wibowo,1988:127)
stimulus mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu:
a. Pembangkitan: stimulus yang
membangkitkan, adalah stimulus yang langsung memberikan suatu respons. Misalnya
makanan langsung menimbulkan air liur orang yang melihatnya pada saat lapar
terutama.
b. Diskriminasi: stimulus yang diskriminatif, adalah stimulus yang tidak
langsung menimbulkan respons tetapi hanya merupakan pertanda adanya stimulus
pembangkit. Misalnya mendengar ada tukang siomay lewat. Saat barn mendengar
belum ada reaksi apapun dan diri orang tersebut, barulah setelah melihat sang
penjual menyajikan sepiring di depannya keluarlah air liurnya.
c. Reinforcement:
adalah stimulus yang menimbulkan konsekuensi yang positif atau negatif pada
terbentuknya respons. Reinforcement positif adalah stimulus yang jika diberikan
akan memperkuat tingkah laku respons. Misalnya seorang anak yang menolong orang
lain kemudian mendapat pujian dan hadiah, maka ia akan cenderung mengulangi
tingkah laku menolongnya di kemudian hari. Reinforcement negatif adalah
stimulus yang jika tidak diberikan atau dihentikan pem-beriannya, akan
memperkuat terjadinya respons. Misalnya seorang anak yang kegemukan dan gelalu
diejek oleh temannya, tidak lagi diejek oleh temannya manakala dia berprestasi
di kelas/menjadi juara kelas. Maka ia akan mengulangi dan meningkatkan prestasi
akademiknya tersebut.
Dorongan adalah suatu kekuatan dalam din seseorang yang
jika telah mencapai kekuatan yang maksimum akan menyebabkan orang tersebut
melakukan sesuatu. Menurut Dollard & Miller (dalam Wibowo, 1988:1.27)
terdapat 2 (dua) macam dorongan pada manusia yaitu dorongan primer dan dorongan
sekunder. Dorongan primer adalah dorongan bawaan seperti lapar, haus, sakit dan
seks. Dorongan sekunder adalah dorongan yang bersifat sosial dan dipelajari
misalnya dorongan untuk mendapat upah, pujian, perhatian dan sebagainya.
3. TEORI KOGNITIF
Pokok pikiran dalam pendekatan kognitif adalah bahwa
perilaku individu tergantung pada caranya mengamati situasi sosial. Secara
spontan dan otomatis orang akan mengorganisasikan persepsi, pikiran dan
keyakinannya tentang situasi sosial ke dalam bentuk yang sederhana dan
bermakna., seperti yang mereka lakukan terhadap objek. Bagaimanapun rancunya
situasi orang akan mengadakan pengaturan dan pengorganisasian ini (persepsi dan
pengartian lingkungan) akan mempengaruhi perilaku individu dalam situasi
sosial.
Terdapat beberapa prinsip dasar dalam teori ini yaitu
(Sears., 1985:17-18):
a. Individu cenderung mengelompokkan dan mengkategorikan
objek secara spontan. Individu tidak melihat objek secara tersendiri melainkan
sebagai bagian dari sekelompok benda atau hal-hal lain di sekitarnya. Oleh
karenanya individu cenderung mengelompokkan objek ini dengan beberapa prinsip
sederhana misalnya karena kesamaan, kedekatan atau pengalaman masa lalu.
b.
Individu dapat memperhatikan objek dengan mengamati sesuatu sesuatu sebagai hal
yang menyolok (figure) dan yang lain sebagai latar belakang (ground). Biasanya
rangsangan yang bergerak, berwama, bersuara, unik, dekat, merupakan figure.
Sedangkan rangsangan yang lembut, tidak menarik, tidak bergerak, tidak
bersuara, umum, jauh, merupakan ground.
Teori kognitif mempunyai tekanan yang
berbeda dengan teori belajar yaitu:
a. Teori kognitif memusatkan din pada
interpretasi dan organisasi perseptual mengenai keadaan seseorang, bukan
keadaan masa lalu.
b. Teori kognitif mencari sebab-sebab perilaku pada persepsi
atau interpretasi individu terhadap situasi dan tidak pada realita situasinya.
Interpretasi individu terhadap situasi merupakan hal yang lebih penting daripada
bagaimana sebenarnya situasi itu.
4. TEORI BELAJAR SOSIAL (SOCIAL LEARNING THEORY)
Pokok pemikiran dalam
pendekatan belajar adalah bahwa perilaku individu ditentukan oleh apa yang
telah dipelajari sebelumnya. Dalam situasi tertentu seseorang mempelajari
perilaku tertentu sebagai kebiasaan dan bila menghadapi situasi itu kembali
oarang tersebut akan cenderung untuk berperilaku sesuai dengan kebiasaannya
itu. Pendekatan dengan belajar populer di tahun 1920-an dan merupakan dasar
Behaviorisme.
Dalam kehidupan manusia ada 2 (dua) pengertian belajar yaitu
belajar secara fisik misalnya belajar menari, naik sepeda dan lain-lain, dan
belajar psikis yaitu mempelajari perannya dan peran orang lain dalam konteks
sosial. Menurut Dollard & Miller ada 4 (empat) prinsip dalam belajar yaitu
dorongan, isyarat, respons dan reward. Pengertian dorongan dan respons sudah
dijelaskan sebelumnya. Reward sebenarnya sama dengan reinforcement yaitu
stimulus yang menetapkan perlu diulangi atau tidak suatu respons pada kesempatan
lain. Isyarat adalah stimulus yang menentukan kapan dan dimana suatu respOns
akan timbul dan respons apa yang akan timbul. Isyarat bisa disamakan dengan
stimulus diskriminatif. Mekanisme belajar dapat dibagi dalam tiga mekanisme
umum (Sears, dkk., 1985:13-14) yaitu:
a. Asosiasi (Classical Conditioning) yaitu kita belajar
berperilaku dengan mengasosiasikan kata-kata, suara-suara, warna-warna dan
sebagainya atau fenomena yang terjadi disekitar kita. Misalnya mengasosiasikan
kata "Tsunami" dengan hal-hal atau bencana yang mengerikan.
b. Reinforcement, yaitu orang belajar menampilkan perilaku
tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan dan
dapat memuaskan kebutuhan (atau mereka belajar menghindari perilaku yang
disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Misalnya seorang mahasiswa
yang belajar untuk tidak menentang profesor pengajarnya di kelas karena ketika
hal tersebut dilakukan sang profesor selalu mengerutkan dahi, marah dan
membentaknya kembali.
c. Imitasi adalah proses dimana orang mempelajari sikap dan
perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model.
Misalnya anak-anak yang menirukan hal-hal yang dilakukan
oleh orang tuanya atau orang dewasa di sekitarnya. Cara yang penting dalam
belajar sosial adalah tingkah laku imitasi. Dollard & Miller (dalam
Wibowo,1988:I.28-I.29) menyatakan terdapat 3 (tiga) mekanisme imitasi:
a. Tingkah Laku Sama
Terjadi bila 2 (dua) atau lebih orang
memberikan respon karena terstimulus oleh isyarat yang sama. Misalnya sesama
penumpang angkutan umum dengan jurusan yang sama, tidak lantas perbuatan ini
dianggap sebagai tiruan.
b. Tingkah Laku Tergantung
Timbul dalam hubungan antara dua
pihak dengan keadaan pihak yang satu adalah lebih pandai, lebih tua atau lebih
mampu dari pihak lain. Maka pihak lain akan menyesuaikan tingkah lakunya dan
akan tergantung pada pihak pertama. Misalnya seorang kakak yang menjemput dan
membawakan tas ayahnya pada saat sang ayah pulang kerja maka ia akan diberikan
sebatang coklat. Dia menganggap deru mobil sang ayah di halaman pada sore hari
adalah isyarat sang ayah datang dan biasanya akan memberinya coldat, maka ia
berlari menghamhirinya. Bagi adiknya yang pada saat itu barn melihat kejadian
tersebut, gerak lari kakaknyalah yang merupakan isyarat baginya sehingga ia
meniru (imitasi) tingkah laku kakaknya di lain kesempatan karena dengan begitu
ia akan mendapat reward sebatang coklat dan ayahnya.
c. Tingkah Laku Salinan (Copying)
Persamaan antara tingkah
laku tergantung dengan tingkah laku salinan adalah keduanya sama-sama
menggunakan isyarat dan tingkah laku model (orang yang ditiru). Perbedaannya
terletak pada jika dalam tingkah laku tergantung seseorang merespons hanya
terhadap isyarat dari model, sedangkan dalam copying orang yang bersangkutan
akan merespons tingkah laku yang menunjukkan kesamaan dan perbedaan antara
responnya dengan respons si model (orang yang ditiru). Misalnya A biasanya akan
memperlambat laju mobilnya jika lampu kuning menyala. Suatu hari pada saat
lampu kuning menyala ia melihat B pengendara mobil lainnya yang justru
mempercepat laju kendaraannya dan ia terhindar dari lampu merah. Maka pada
kesempatan lain, jika ada lampu kuning menyala A akan mempercepat laju
kendaraannya.
Terdapat beberapa ciri khusus dalam pendekatan belajar yaitu
(Sears., 1985:14):
a. Sebab-sebab perilaku diduga terletak terutama pada
pengalaman belajar individu di masa lampau. Para ahli teori belajar mengaitkan
diri pada pengalaman masa lalu dan kurang memperdulikan seluk beluk situasi
yang sedang terjadi.
b. Pendekatan belajar cenderung menempatkan penyebab
perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengartian subjektif
individu terhadap apa yang terjadi. Pendekatan ini menekankan kejadian
eksternal yang telah diasosiasikan dengan stimulus atau reinforcement yang
telah dikaitkan dengan timbulnya tanggapan atau model peran yang pernah
diternui. Semua ini bersifat eksternal bagi individu. Sebagai sebab-sebab
terjadinya perilaku pendekatan belajar tidak menekankan keadaan subjektif
misalnya persepsi terhadap situasi dan emosi.
c. Biasanya diarahkan untuk menjelaskan perilaku yang nyata
dan bukan pada keadaan subjektif atau psikologis.
5. TEORI PSIKOANALISA
Tokoh dan teori ini adalah Freud. Alasan teori ini dipakai
untuk menelaah tingkah laku sosial adalah adanya pendapat dan Freud bahwa
terdapat pertentangan yang mendasar antara pemuasan keinginan-keinginan dan
kebutuhan-kebutuhan individual dengan kesiapan masyarakat dalam memenuhi semua kebutuhan
tersebut. Menurut teori ini pula perkembangan individu menuju kedewasaan adalah
melalui serangkaian tahapan yaitu tahap oral, anal, phallic dan genital. (dalam
Wibowo, 1.14-1.15) Secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Tahap Oral: Bayi barn lahir s/d 1 atau 1,5 tahun.
Pengalamannya hanya kenikmatan, kesakitan dan perubahan-perubahan ketegangan.
b. Tahap Anal: Berlangsung dari usia 1 atau 1,5 tahun — 4
tahun. Perkembangan ego ditandai dengan kemampuan untuk menguasai obyek,
mengantisipasi hal-hal yang terjadi dengan imaginasi; sadar dan
toleransi terhadap kecemasan; perkembangan kemampuan
berbicara dan berpikir; tumbuhnya kemampuan untuk menunda respons.
c. Tahap Phallic: Mulai terjadi setelah usia 3 — 4 tahun.
Perkembangan yang penting adalah meningkatnya minat pada seks (dalam keluarga
berupa kompleks oedipus, jika anak laki-laki dengan ayahnya dan anak perempuan
dengan ibunya; serta dalam dirinya berupa fantasi-fantasi tertentu), proses
pertunibuhan super ego, serta makin banyak menggunakan mekanisme pertahanan
diri. Ditandai dengan meningkatnya keinginan untuk bermasturbasi; meningkatnya
keinginan untuk bersentuhan tubuh dengan anggota keluarga yang berlawanan
jenis; meningkatnya kecenderungan ekshibisionis (menunjukkan alat kelamin
kepada orang lain).
d. Tahap Laten: Merupakan masa konsolidasi dalam
perkembangan, menyesuaikan did dengan lingkungan di luar keluarga. Hasrat
seksual kepada orang tua disublimasikan menjadi rasa menghormati dan
menghargai. Merupakan masa persiapan untuk remaja (pubertas).
e. Tahap Genital: Secara psikologis ditandai dengan
ciri-ciri antara lain hasrat untuk mandiri, lebih menghargai aturan-aturan dari
teman sebaya, pemberontakan melawan orang tua, pikiran-pikiran bingung dan
lain-lain.
Menurut konsep Freud ada 3 (tiga) sistem yang membentuk
struktur kepribadian:
a. Id adalah cumber energi psikis, merupakan sub sistem dan
kepribadian. Id seringkali dilukiskan sebagai pengharapan-pengharapan yang
berasal dari insting-insting psikologi yang dipunyai setiap orang sejak lahir.
Id adalah sesuatu yang tidak disadari maka semua ketidaksadaran berlaku bagi id
misalnya amoral, tidak terpengaruh oleh waktu, tidak mempedulikan realitas,
bekerja atas dasar kesenangan, tidak terbelenggu moral, etik, alasan dan
logika. Id secara tetap merupakan upaya untuk mendapatkan kesenangan,
penghargaan dan pemuasan. Upaya ini secara pokok diwujudkan lewat libido dan
agresi (dalam Gerungan, 2004). Libido mengarah pada hubungannya dengan keinginan seksual, kesenangan-kesenangan termasuk di dalamnya
kehangatan, makanan dan kenyamanan (comfortable). Agresi mendorong Id ke arah
kerusakan termasuk diantaranya keinginan perang, berkelahi, berkuasa dan semua
tindakan-tindakan yang bersifat merusak. Walaupun demikian Id tetap diakui
sebagai kekuatan yang mendorong sepanjang kehidupan ini dan merupakan sumber
yang amat penting dari daya berpikir dan upaya bertindak. Id pada akhirnya hams
dihubungkan dengan realitas yang tidak bisa diabaikan begitu saja, oleh karena
itu sebagai penghubung timbul sistem "ego".
b. Ego berfungsi untuk menghadapi realitas dan menerjemahkan
untuk id. Ego beroperasi berdasarkan proses berpikir. Ego merupakan sumber rasa
sadar. Ia mewakili loglka dan yang dihubungkan dengan prinsip-prinsip realitas.
Ego merupakan sub sistem yang berfungsi ganda yaitu melayani dan sekaligus
mengendalikan dua sistem lainnya (Id dan Super-Ego) dengan cara berinteraksi
dengan dunia luar atau lingkungan luar (external environment). Ego dapat
mengembangkan suatu fasilitas penalaran untuk menimbang dan belajar guna
menyesuaikan dan bertindak sesuai dengan lingkungannya. Namun pada gilirannya
situasi konflik antara Id dan Ego tidak dapat dihindarkan, dimana di satu pihak
Id menuntut dipenuhinya kesenangan dengan cepat dan di pihak lain Ego berusaha
menekan, menolak atau menundanya untuk mencarikan waktu dan tempat yang lebih
sesuai untuk memenuhi kesenangan tersebut. Agar Ego dapat mengatasi konflik
dengan Id maka is banyak mendapat bantuan dari Super-Ego.
c. Super-Ego: adalah sistem moral dan kepribadian atau
kekuatan moral dari personalitas. Sistem ini berisi norma-norma budaya,
nilai-nilai sosial dan tata cara yang sudah diserap ke dalam jiwa. Super ego
berprinsip mencari kesempurnaan. Ia adalah sumber norma yang memungkinkan Ego
memutuskan apakah sesuatu benar atau salah. Teori psikoanalisa juga
memperkenalkan konsep ketidaksadaran sebagai bagian kepribadian, dimana
terletak keinginan-keinginan, impuls-impuls dan konflik-konflik yang dapat
mempunyai pengaruh langsung terhadap tingkah laku. Pada dasarnya tingkah laku
individu dipengaruhi atau dimotivasi oleh determinan kesadaran maupun
ketidaksadaran (Dayakisni, 2006:19). Contoh dalam proses-proses ketidaksadaran
misal-nya tingkah laku agresi dipandang sebagai suatu manifestasi pembawa-an
sejak lahir, yaitu yang disebut sebagai insting mati dalam ketidak-sadaran.
6. TEORI PERAN
Pengertian Peran (Role) biasanya didefinisikan sebagai
serangkaian tingkah laku atau fungsi-fungsi yang dikaitkan dengan posisi khusus
dalam hubungan tertentu. Menurut Bidle & Thomas (Wibowo, 1988:1.21) ada 4
(empat) istilah tentang perilaku dalam kaitannya dengan peran:
a. Harapan (expectation).
b. Norma (norm).
c. Wujud Perilaku (performance).
d. Penilaian (evaluation) dan Sanksi (sanction).
Dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
a. Harapan tentang Peran, adalah harapan-harapan orang lain
pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas yang seyogyanya ditunjukkan
oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.
Contoh harapan dari masyarakat umum terhadap public servant
yang bersih dan bebas KKN.
b. Norma, merupakan salah satu bentuk harapan. Menurut
Secord & Backman (Wibowo, 1988:L21-L22) jenis jenisharapan adalah:
• Harapan yang bersifat meramalkan (predicted role
expectation) yaitu harapan tentang suatu perilaku yang akan terjadi.
• Harapan
Normatif (prescribed role expectation) adalah keharusan-keharusan yang
menyertai suatu peran. Ada 2 jenis yaitu pertama harapan yang terselubung
(covert) adalah harapan-harapan yang ada tanpa harus diucapkan misalnya dokter
hams menyembuhkan pasiennya. Kedua yaitu harapan terbuka (overt) adalah
harapan- harapan yang diucapkan (role demand). Misalnya orang tua yang meminta
agar anaknya rajin belajar dan bertanggung jawab atas tugas-tugasnya.
c. Wujud Perilaku dalam Peran Peran diwujudkan dalam
perilaku nyata, bukan sekedar harapan. Misalnya peran ayah adalah
mendisiplinkan anaknya, maka ada ayah yang menggunakan hukuman-hukuman fisik
sedangkan ayah lainnya hanya memberi nasehat raja. Kapan peran perlu
ditunjukkan/ menjadi penting? Perwujudan peran bisa bermacam-macam. Misalnya
pendapat Sarbin (dalam Wibowo, 1988:1.23) dimana perwujudan peran terdiri dan
tingkatan intensitas dan yang terendah sampai yang tertinggi. Contoh seorang
pemain musik di kafe yang menjadi tugasnya setiap malam maka karena terlalu biasa
ia bisa bermusik sambil mengobrol dengan temannya. Sementara ada seorang pianis
yang hams menggelar konser tunggalnya maka ia akan mempersiapkan din dan
performanya dengan penuh konsentrasi. Goffman (dalam Wibowo, 1988:1.23)
meninjau dan sudut lain yaitu dari permukaan (front), yaitu untuk menunjukkan
perilaku-perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus agar orang
mengetahui secara jelas peran si pelaku. Contoh seorang profesor akan memajang
rak penuh buku-buku ilmiah di ruang tamu, sehingga tamunya akan mendapat kesan
tentang apa dan bagaimana peran profesor tersebut. Inilah yang dimaksud dengan
"front". Namun ada juga hal yang disukai profesor misalnya tetapi
tidak ditunjukkan yaitu kegemarannya membaca komik dimana komik-komik tersebut
disimpannya dengan rapi di kamar pribadinya.
d. Penilaian dan Sanksi.
Menurut
Biddle & Thomas (dalam Wibowo, 1988:1.24) penilaian peran adalah pemberian
kesan positif atau negatif yang didasarkan pada harapan masyarakat terhadap
peran dimaksud. Sanksi adalah usaha orang untuk mempertahankan suatu nilai
positif atau agar perwujudan peran diubah sedemikian rupa sehingga yang tadinya
dinilai negatif menjadi positif. Menurut Merton & Kitt (dalam Wibowo,
1988:1.25) setiap orang memerlukan kelompok rujukan (reference group) tertentu
yang mempunyai fungsi, pertama fungsi normatif, dimana kelompok mendesakkan
suatu standar tertentu bagi perilaku dan keyakinan atau kepercayaan anggotanya.
Terlepas benar atau salahnya standar itu, kelompok mempunyai cukup kekuatan
atas individu sehingga individu mau tidak mau mengikuti standar tersebut.
Misalnya aturan-aturan yang dibuat orang tua hams diikuti anaknya karena anak
adalah anggota keluarga. Jika norma ini diserap (diinternalisasikan) maka
terbentuklah nilai dalam diri individu itu yang selanjutnya menjadi pedoman
bagi tingkah laku dan kepercayaannya. Kedua adalah fungsi komparatif
/perbandingan dimana kelompok hanya dijadikan alat pembanding bagi individu
untuk mengetahui apakah perilaku atau kepercayaannya sudah benar atau masih salah.
Perbandingan ini bisa dilakukan dengan melibatkan diri atu tidak terhadap
kelompok tersebut. Kelompok hanya dijadikan alat untuk tujuan informatif saja.
sangat bermanfaat sekali
ReplyDeletehttp://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Fbabeyudi.wordpress.com
Terimakasih artikelnya sangat membantu saya
ReplyDeletemakasih
ReplyDeletehttp://http%3A%2F%2Fhttp%253A%252F%252F.blog.binadarma.ac.id%252Fariezaki%252F.wordpress.com.wordpress.com
Terimakasih atas artikel anda sangat bermanfaat
ReplyDeleteterimakasih sangat bermanfaat
ReplyDeletesangat membantu
ReplyDeletehttp://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Fimamsolikin.wordpress.com
Terimakasih sangat bermanfaat
ReplyDelete