Friday, 11 September 2015


Manusia terlihat termotivasi tidak hanya untuk merasakan dirinya dalam cara-cara peningkatan diri namun juga untuk menampilkan diri mereka yang disenangi oleh orang lain. Presentasi diri (self-presentation) mengacu pada keinginan kita untuk menampilkan sebuah gambaran yang diinginkan, yaitu terhadap penonton eksternal (orang lain) dan terhadap penonton internal (diri sendiri). Self-presentation adalah sebuah tindakan dari mengekspresikan diri dan berlaku dalam jalan-jalan yang dibuat untuk menciptakan kesan yang menyenangkan atau sebuah kesan yang berhubungan dengan sesuatu yang ideal menurut seseorang.
  


Dalam proses presentasi diri biasanya individu akan melakukan impression management (pengelolaan kesan). Tujuannya adalah supaya kita dapat mempengaruhi orang lain, supaya kita disukai orang lain, ingin memperbaiki posisi, memelihara status dan sebagainya. Kita dapat mengidentifikasikan dua komponen dalam pengelolaan kesan yaitu pertama, impression-motivation (motivasi pengelolaan), yang menggambarkan bagaimana motivasi yang kita miliki untuk mengendalikan orang lain yang melihat kita atau untuk menciptakan kesan tertentu dalam pikiran orang lain dan yang kedua, adalah impression-construction (konstruksi pengelolaan kesan) yang menyangkut pemilihan image tertentu yang ingin diciptakan dan mengubah perilaku dalam cara-cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan (Bringham, 1991 dalam Dayakisni,2006:92).
Kita memberi alasan, pembenaran atau minta maaf sebagai sesuatu yang perlu untuk mendukung harga diri dan menguji kebenarannya dari citra-cira diri sendiri. Kita juga hams memastikan untuk tidak menyombongkan din terlalu banyak dan resiko tidak disetujui orang lain. Interaksi sosial adalah sebuah keseimbangan yang hati-hati dari terlihat baik sampai tidak terlihat "terlalu" baik. Argyle (1994) dalam Dayakisni (2006:93) mengemukakan tiga motivasi primer pengelolaan kesan yaitu keinginan untuk mendapatkan imbalan materi atau sosial, untuk mempertahankan dan meningkatkan harga diri, dan untuk mempermudah pengembangan identitaas diri (menciptakan atau mengukuhkan identitas diri). Motivasi untuk mengelola kesan biasanya terjadi dalam situasi yang melibatkan tujuan-tujuan penting (misalnya persahabatan, persetujuan, imbalan materi dan sebagainya) dimana individu yang melakukan merasa kurang puas dengan image yang diproyeksikan pada saat ini (self-discrepancy). Motivasi mengelola kesan juga lebih kuat ketika seseorang merasa tergantung pada orang yang berkuasa untuk mengendalikan sumber-sumber penting bagi dirinya (misalnya atasan atau pimpinan) atau setelah seseorang mengalami kegagalan atau kejadian yang meruntuhkan harga dirinya (misalnya penyalahgunaan keuangan perusahaannya, namun masih bisa ditolerir oleh atasan atau pimpinannya dengan sanksi peringatan keras).


Selanjutnya Goffman (dalam Dayakisni, 2006:94-95) mengajukan syarat-syarat yang diperlukan agar dapat melakukan pengelolaan kesan dengan baik yaitu:
a. Penampilan muka (proper front), yaitu perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus agar orang lain mengetahui dengan jelas peran kita. Front merupakan seperangkat peralatan lengkap yang kita gunakan untuk menampilkan diri, mencakup tiga aspek yaitu setting (serarigkaian peralatan dalam ruang dan Benda yang kita gunakan); appearance (penggunaan petunjuk artifaktual, misal-nya pakaian, lencana, atribut dan lain-lain); manner (gaya bertingkah laku, misal cara berjalan, duduk, berbicara, memandang dan se-bagainya).
b. Keterlibatan dalam perannya, dimana ketika seseorang memainkan menghayati perannya dengan baik. Misalnya seorang mahasiswa yang memainkan peran sebagai agen perubahan yang peka terhadap isu-isu terkini, bijaksana dalam bertindak karena dianggap lebih dewasa, berpikir kritis dengan latar belakang pemahaman teoritis yang memadai dan sebagainya. Maka orang lain akan melihat dia sebagai  mahasiswa yang baik, karena menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.
c. Mewujudkan idealisasi harapan orang lain tentang perannya. Misalnya seorang polisi harus mengetahui tipe perilaku apa yang diharapkan dari orang-orang pada umumnya mengenai perannya dan memanfaatkan pengetahuan ini untuk diperhitungkan dalam penampilannya. Dalam pelaksanaan tugasnya kadang polisi hams menunjukkan atribut lengkapnya, menunjukkan surat tugas, membacakan dan menjelaskan pasal-pasal terkait pelanggaran hukum, kemudian menjelaskan proses hukum yang hams dilalui kepada pelanggar aturan lalu lintas. Proses panjang ini hams ditunjukkan karena masyarakat memiliki harapan yang tinggi bahwa polisi akan menangani kasusnya dengan adil untuk dirinya maupun orang lain yang sama-sama melakukan pelanggaran lalu lintas.
d. Mystification, yaitu adanya pemeliharaan jarak sosial tertentu antara individu (aktor) dengan orang lain. Misalnya polisi yang menjaga jarak dengan pelanggar lalu lintas, tidak boleh terlalu kenal atau akrab, supaya tetap terjadi netralitas hubungan dan polisi tersebut tetap menyadari perannya, berlaku adil dan transparan dalam proses tersebut.

Terdapat juga beberapa strategi dalam presentasi diri antara lain (Dayakisni, 2006:95-100):
a. Mengambil muka atau menjilat (Ingratiation), dengan tujuan supaya dipersepsi orang lain sebagai orang yang menarik atau menyenangkan, dengan cara memuj i, mendengarkan, ramah, melakukan hal-hal yang menguntungkan bagi orang lain dan menyesuaikan diri dengan apa yang dilakukan orang lain. Namun penjilat biasanya memiliki tujuan tersembunyi (illicit).
b. Mengancam atau menakut-nakuti (intimidation), untuk menimbulkan rasa takut dan meyakinkan pada orang lain bahwa dirinya adalah orang yang berbahaya.
c. Promosi diri (self promotion), dengan menggambarkan kekuatan-kekuatan dan prestasi yang dimiliki, melebih-lebihkan kompetensi yang dipunyai, dan sebagainya supaya orang lain sampai pada ke-simpulan bahwa dia memang memiliki kompetensi atau kemampuan. Resikonya adalah dia bisa dianggap sebagai seseorang yang sombong dan tidak dapat dipercaya.
d. Pemberian contoh atau teladan dalam tindakan, prestasi dan sebagainya (exemplification), yaitu mempresntasikan diri sebagai orang yang jujur, disiplin, baik hati, tidak sombong dan dermawan, untuk memproyeksikan penghargaannya pada kejujuran dan moralitas. Hal ini bisa jadi memang penampilan sesuai keadaan yang sebenarnya, namun di sisi lain bisa saja keadaan ini hanya untuk memanipulasi atau bukan keadaan yang sebenarnya.
e. Permohonan (supplification), dengan cara memperlihatkan kelemah-an atau ketergantungan untuk mendapatkan pertolongan atau simpati. Strategi ini merupakan strategi terakhir, ketika semua strategi sebagaimana disebutkan diatas, tidak dapat dilakukan.
f. Hambatan din (self-handicapping), yang digunakan ketika individu merasa egonya terancam karena terlihat tidak mampu. Misalnya, ketika orang merasa khawatir jika kesuksesan yang diraih sebelumnya karena nasib baik, mereka takut gagal dalam melaksanakan tugas. Sehingga mereka berpura-pura mendapatkan hambatan sebelum atau selama kejadian-kejadian yang mengancam egonya.
g. Aligning actions, yaitu usaha-usah individu untuk mendefinisikan perilaku mereka yang nampaknya diragukan karena sebenarnya bertentangan norma budaya. Strateginya antara lain dengan melakukan taktik disclaimers (penyangkalan), misalnya "saya tahu ini melanggar aturan, tetapi....", kemudian taktik accounts (alasan-alasan) yaitu penjelasan-penjelasan untuk mengurangi tanggung jawab, dengan meminta maaf (tidak dapat mengendalikan keadaan, terdapat tekanan internal dan eksternal, dan lain-lain) misalnya "maaf seandainya wasitnya lebih fair, seharusnya saya menang" dan lain- lain, serta dengan justifikasi (tetap bertanggung jawab atas situasi, namun menunjukkan bahwa perilakunya cocok dengan situasi saat itu) misalnya "saya memang memukulnya tetapi dia yang memukul saya terlebih dahulu".
h. Altercasting, yaitu menggunakan taktik untuk memaksakan peran dan identitas pada orang lain, dimana dalarn strategi ini kita mendapatkan keuntungan. Misalnya seorang pelatih yang sebenarnya "gagal atau tidak berhasil" membawa timnya sebagai juara namun menyampaikan kepada para atlet bahwa "kalian mampu melakukan lebih baik dari ini" sebagai suatu identitas peran yang dibebankan kepada para atletnya.
i. Dalam hal ini perlu juga dilakukan self-monitoring (pengawasan diri), dimana perilaku disesuaikan dalam merespons situasi-situasi eksternal, untuk menciptakan kesan yang diinginkan. Pengawasan diri yang tinggi dapat membantu kita untuk menyesuaikan diri dalam setiap situasi, sedangkan pengawasan diri yang rendah atau melakukan hanya sedikit penyesuaian sosial, akan membuat kita terlihat sebagai seseorang yang kurang sensitif.




0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget