Sunday, 27 September 2015

Pada mulanya secara sederhana diasumsikan bahwa sikap seseorang menentukan perilakunya. Misalnya ketika kita tertarik pada kampanye salah satu partai politik maka kita mungkin akan memberikan suara pada pemilihan umum untuk partai politik tersebut. Wicker (1939) dalam Sears (1985:149-150) setelah melakukan serangkaian penelitian untuk menguji konsistensi sikap dan perilaku dalam masalah hubungan ras, kepuasan kerj a dan perilaku mencontek di kelas, mengemukakan kesimpulan bahwa lebih besar kemungkinan bahwa sikap lanAng atau hanya sedikit berhubungan dengan perilaku nyata daripada hubungannya dengan tindakan. Namun hal ini mendapatkan kritikan karena tidak sesuai dengan konsistensi sikap-perilaku.

Seperangkat kondisi penting yang mempengaruhi konsistensi sikap adalah apakah sikap itu merupakan sikap yang kuat dan jelas. Ketidakkonsistenan justru timbul dari sikap yang lemah dan ambivalen. Hal yang dapat memperkuat sikap adalah pengalaman langsung individu di masa lalu yang berkaitan dengan suatu masalah. Misalnya penelitian Manstead dan kawan-kawannya (dalam Sears, 1985:150) tentang prediksi terhadap para ibu yang memiliki anak, apakah mereka akan menyusui sendiri bayinya atau memberi bayinya susu botol. Para peneliti menemukan bahwa sikap ibu itu sendiri merupakan prediksi yang lebih baik tentang pilihan mereka jika mereka telah memiliki anak dan mempunyai pengalaman pribadi menyusui bayinya. Perilaku wanita yang barn menjadi ibu relatif lebih tergantung pada sikap mereka sendiri.
Sumber kekuatan sikap yang lain adalah adanya kepentingan tetap atau kepentingan diri sendiri dalam suatu masalah. Misalnya legalitas melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam konteks hukum yang berdasarkan ketetapan batas usia minimum (mendapatkan KTP, SIM, dan lain-lain). Kesimpulan umum dalam ahal ini adalah bahwa kekuatan hubungan sikap-perilaku sebagian bergantung pada sikap orang yang menjadi kuat itu sendiri. Kadang-kadang sikap menentukan perilaku dan kadang-dang tidak. Hal ini dikaji dalam teori tindakan yang masuk akal (theory of reasoned action) yang dilakukan oleh Azjen dan Fishbein (1980) dalam Sears (1985,154-155). Teori ini berusaha untuk menetapkan faktor-faktor apa yang menentukan konsistensi sikap-perilaku yang dimulai dengan asumsi bahwa orang berperilaku secara cult-up rasional.

Model Azjen-Fishbein memiliki tiga langkah:
a. Model ini memprediksi perilaku seseorang dan maksudnya. Misalnya jika seorang wanita mengatakan maksudnya untuk menggunakan alat kontrol kehamilan, maka dia lebih mungkin melakukannya daripada dia sama sekali tidak punya maksud untuk melakukan-nya.
b. Maksud perilaku dapat diprediksi dari dua variabel utama yaitu sikap seseorang terhadap perilaku (misalnya apakah menurut wanita diatas memakai alat kontrol kehamilan merupakan langkah yang baik dan diinginkannya?) dan persepsinya tentang apa yang seharusnya dilakukan menurut orang lain (misalnya apakah suaminya menginginkan dia melakukan hal tersebut? Bagaimana agama akan menilai juga keluarganya yang lain, misal ibunya?).
c. Sikap terhadap perilaku diprediksi dengan menggunakan kerangka nilai harapan yang telah diperkenalkan. Sikap merupakan fungsi dan seberapa baik hasil perilaku itu, dengan mempertimbangkan sejauhmana kemungkinan masing-masing hasil tersebut. Sikap juga merupakan alat prediksi "norma subjektif' dipandang dan segi keyakinan seseorang tentang pilihan orang lain dan motivasinya untuk mengikuti pilihan tersebut.

Sampai tahap tertentu manusia adalah penganut kebiasaan. Teori ini memiliki nilai dalam usaha memahami peranan sikap dalam menentukan perilaku. Pada umumnya kita mempercayai sejumlah bukti yang mendukung gagasan bahwa sikap mempengaruhi perilaku. Nampaknya benar bila dikatakan bahwa sikap selalu memberikan tekanan untuk melakukan perilaku yang konsisten dengan sikap itu meskipun tekanan-tekanan lain juga mempengaruhi perilaku. 

3 comments:

Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget