Sunday, 13 September 2015

1. BIAS NEGATIVITAS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan informasi negative akan menonjol dalam ingatan kita dan karenanya debandingkan dengan informasi yang positif, satu informasi yang negative akan memberikan pengaruh yang lebih kuat. Hal inilah yang disebut sebagai bias negativitas (negativity bias) yaitu hal yang mengacu pada fakta bahwa kita menunjukkan sensitivitas yang lebih besar pada informasi negatif daripada informasi positif (Kunda, 1999 dalam Baron & Byrne, 2004:91). Sebagai contoh ketika sedang tertarik dengan seseorang, maka Anda memperoleh informasi bahwa orang tersebut menyenangkan, baik, pintar, ramah, sangat menarik secara fisik dan seterusnya. Namun ada sate informasi negatif yaitu bahwa dia sangat pemilih dalam berteman. Maka kemungkinan informasi inilah yang melekat dalam ingatan, membayangkan betapa orang tersebut sombong, hanya mau berteman dengan orang kaya, dan lain-lainnya. Mengapa hal ini dapat terjadi? Hal ini dapat dipahami dan perspektif evolusi bahwa kita memiliki sensitivitas terhadap perubahan di lingkungan sekitar kita yang dapat mengancam keselamatan atau kesejahteraan kita, sehingga kita memberikan respons yang cepat terhadap hal ini. Misalnya kemampuan mengenali ekspresi wajah orang lain, dimana kita cepat mendeteksi ekspresi wajah yang negative (misalnya yang menunjukkan kemarahan dan permusuhan) daripada ekspresi wajah yang positif (misalnya yang menunjukkan keramahan).


2. BIAS OPTIMISTIK (OPTIMISTIC BIAS)
Bias optimistik adalah predisposisi kita untuk mengharapkan agar segala sesuatu berjalan dengan baik (Baron&Byrne, 2004:93). Sebagai contohnya kebanyakan orang percaya bahwa mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar dari orang lain untuk mengalami peristiwa yang positif dan kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami . peristiwa negatif. Misalnya kebanyakan orang percaya bahwa mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar dari orang lain untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, memiliki keluarga yang bahagia, hidup hingga usia tua dan seterusnya. Di sisi lain terdapat hal yang disebut sebagai kesalahan perencanaan (planning fallacy) yaitu kecenderungan untuk membuat prediksi optimistik berkaitan dengan berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu tugas, kecenderungan kita untuk percaya bahwa kita dapat melakukan lebih banyak hal atau pekerjaan, dalam satu periode waktu daripada yang sebenarnya bisa kita lakukan. Misalnya kita seringkali merasa dapat menyelesaikan tugas-tugas dan beberapa mata kuliah dalam waktu satu minggu, sehingga kita menunda penyelesaian tugas ketika waktunya masih lebih dari seminggu. Temyata tugas-tugas tersebut tidak dapat selesai dalam waktu seminggu dan kita tidak mengantisipasi kalau misalnya buku-buku untuk penyelesaian tugas tidak bisa kita peroleh, komputer kita mengalami kerusakan, printer kita tidak berfungsi, dan seterusnya. Akibatnya tugas tidak terselesaikan dan kita memperoleh nilai yang kurang baik di mata kuliah tersebut.
Suatu pengecualian terhadap aturan optimistik ini adalah ketika hal ini terjadi secara berlawanan dan terjadi pesimisme. Ketika individu memperkirakan akan menerima umpan balik atau informasi yang mungkin negative dan yang memiliki konsekuensi penting, maka tampaknya is akan bersiap untuk menghadapi hal yang buruk atau bahkan terburuk 1 bracing for loss) dan menunjukkan kebalikan dari pola optimistik yang biasanya, yaitu cenderung menjadi pesimistis, menunjukkan meningkatnya kecenderungan untuk mengantisipasi hal yang negatif. Contohnya ketika semakin banyak jenis beasiswa yang ditawarkan kepada para mahasiswa (hal positif) maka para mahasiswa menjadi optimis untuk memperolehnya. Disisi lain jumlah mahasiswa yang ingin mendapatkan beasiswa juga bertambah (hal negatif) sehingga persaingan semakin ketat. Maka beberapa mahasiswa menunjukkan pesimisme yang hanya terjadi pada diri mereka dan tidak terhadap temannya, dalam arti bahwa mahasiswa yang bersangkutan mempersiapkan dirinya untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk bahwa dia tidak mendapatkan beasiswa.


3. PEMIKIRAN KONTERFAKTUAL (COUNTERFACTUAL THINKING)
Pemikiran tentang apa yang akan terjadi seandainya-dikenal dalam psikologi sosial sebagai pemikiran konterfaktual (counterfactual thinking)- muncul dalam berbagai situasi, tidak hanya pada situasi yang mengecewakan. Pemikiran konterfaktual adalah kecenderungan untuk membayangkan hasil yang lain daripada yang sesungguhnya terjadi dalam suatu situasi- berpikir tentang "apa yang terjadi seandainya...". Misalnya kita sakit flu, padahal seharusnya ada banyak tugas yang hams kita kerjakan, ada acara reuni dengan teman, menonton sepakbola dengan teman-teman, dan seterusnya. Maka kita akan berpikir "seandainya tidak sakit flu maka saya bisa menyelesaikan seluruh tugas, menghadiri acara reuni yang menyenangkan dan menonton acara sepakbola yang sera bersama teman-teman". Kemudian karena pengalaman ini kita menjadi lebih menjaga kesehatan kita di kemudian hari dengan menjaga pola makan, beristirahat yang cukup, dan lain-lain supaya tidak gampang sakit.
Berpikir dengan meninjau kembali bisa melibatkan bayangan mengenai kemungkinan yang lebih baik (upward counterfactuals) atau kemungkinan yang lebih buruk (downward counterfactuals). Misalnya kita mengalami kecelakaan namun lukanya tidak terlalu parah meskipun mobil kita rusak berat. Maka kita membayangkan seandainya kita tidak beruntung, mungkin saja luka kita lebih parah atau terjadi hal terburuk lainnya. Ketika memikirkan kemungkinan yang lebih baik daripada yang sebenarnya terjadi, hal ini berdekatan dengan penyesalan. Penyesalan semacam itu tampaknya lebih kuat intensitasnya ketika melibatkan hal-hal yang kita lakukan tetapi berharap kita telah melakukannya, dibandingkan dengan hal-hal yang sebenarnya telah kita lakukan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kita. Misalnya saja kita mengalami kecelakaan mobil akibat kesalahan sendiri (kecelakaan tunggal), padahal kita sudah mengantisipasi dengan berbagai persiapan misalnya pergi ke bengkel untuk mengecek kondisi mobil, namun karena kita kurang berhati-hati karena menelepon sambil mengemudi mengakibatkan terjadinya kecelakaan tersebut. Maka kita sangat menyesal mengapa tidak menunda menelepon atau meminggirkan mobil dan berhenti ,sementara untuk menelepon. Penyesalan itu semakin lama bertahan di benak kita karena menyebabkan orang lain terluka dan hal ini bisa menghantui kita seumur hidup. Dapat terlihat bahwa pemikiran konterfaktual ini dapat berpengaruh kuat terhadap kondisi afek kita.
Sebagai tambahan kita sering berpikir untuk mengurangi kepahitan dan kekecewaan. Setelah peristiwa tragis seperti kematian orang yang Etta cintai, orang seringkali menemukan ketenangan berpikir dengan menyatakan bahwa "tidak ada yang bisa dilakukan lagi, kematian tersebut memang tidak bisa dihindari". Dengan kata lain kita menyesuaikan pandangan bahwa kematian memang hal yang tidak bisa dihindari dan lebih pasti. Sebaliknya ada pemikiran yang berbeda dengan kenyataan yang terjadi "jika saja penyakitnya didiagnosis lebih awal..." atau "jika lebih cepat membawanya ke rumah sakit...", kekecewaan atau penderitaan yang dirasakan mungkin justru meningkat. Jadi dengan berasumsi bahwa peristiwa negatif atau kekecewaan datang tanpa bisa dihindar, kita cenderung membuat peristiwa ini bisa diterima.


4. PEMIKIRAN MAGIS (MAGICAL THINKING)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai manusia kita cukup rentan terhadap pemikiran magis (magical thinking). Pemikiran seperti itu menimbulkan asumsi yang tidak berpegang pada rasionalitas namun terasa kuat pengaruhnya. Pemikiran magis adalah berpikir dengan melibatkan asumsi yang tidak berdasarkan alasan yang rasional, misalnya keyakinan bahwa sesuatu yang mirip satu sama lainnya berasal dan sumber yang sama (Rozin & Nemeroff, 1990 dalam Baron & Byrne, 2004:99-100). Salah satu prinsip dalam pemikiran magis adalah hukum penularan (law of contagion) yang menyatakan bahwa ketika dua obyek bersentuhan, masing-masing memberikan miliknya, dan pengaruh sentuhan tersebut terasa jauh lebih lama walaupun prosesnya telah lama berakhir. Prinsip lainnya adalah hukum kesamaan (law of similarity) yang menyatakan bahwa hal-hal yang saling menyerupai akan memiliki dasar ciri yang sama. Prinsip ketiga adalah pemikiran seseorang yang akan mempengaruhi lingkungan fisik tanpa menggunakan hukum-hukum fisika.

5. MENEKAN PIKIRAN (THOUGHT SUPPRESSION) 
Pada waktu tertentu, setiap orang pemah mencoba untuk menekan pikiran tertentu —untuk mencegahnya masuk dalam kesadaran. Misalnya orang yang sedang diet mungkin mencoba menghindari berbagai pikiran tentang makanan lezat, orang yang sedang ingin berhenti merokok menghindari pikiran tentang kenikmatan merokok, dan sebagainya. Hal ini disebut sebagai menekan pikiran (thought suppression) yaitu usaha untuk mencegah pikiran tertentu memasuki alam kesadaran. Menurut Daniel Wegner (dalam Baron & Byrne, 2004:100-102) usaha-usaha untuk menyimpan pikiran tertentu di luar kesadaranmelibatkan dua komponen. Pertama adanya sebuah proses pemantauan yang otomatis mencari tanda-tanda adanya pemikiran yang tidak diinginkan yang memaksa untuk muncul ke alam kesadarannya. Ketika proses tersebut terdeteksi oleh proses pertama, maka proses kedua yang menuntut lebih banyak usaha dan tidak seotomatis proses pertama (lebih terkontrol), mulai bekerja. Secara umum orang menekan pikiran guna mempengaruhi pikiran dan perilaku mereka sendiri. Contohnya, jika kita tidak ingin merasa marah, yang terbaik adalah tidak berpikir tentang peristiwa yang menyebabkan kita merasa marah kepada orang lain. Contoh lainnya, jika kita tidak ingin bersedih maka hindari berpikir tentang peristiwa atau pengalaman yang membuat kita bersedih. Namun kadangkala, orang menekan pikiran karena diminta oleh orang lain, misalnya seorang terapis yang mencoba membantu mengatasi masalah pribadi.

PENGARUH AFEK PADA KOGNISI
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perasaan sangat berpengaruh pada kesan pertama, dengan kata lain suasana hati saat ini dapat secara kuat mempengaruhi reaksi kita terhadap rangsang yang baru pertama kali kita temui. Misalnya pada proses berlangsungnya wawancara pekerjaan, maka pewawancara yang sedang berada dalam suasana hati yang menyenangkan cenderung memberikan nilai yang balk terhadap orang yang diwawancarainya, sebaliknya jika suasana hatinya buruk maka bisa jadi nilainya menjadi rendah (Bower, 1991; Moyer & Hanson,1985; Clare Shaz & Conway, 1993; dalam Baron & Byrne, 2004:105-106).


Pengaruh afek lainnya pada kognisi adalah pada ingatan. Antara lain adanya ingatan yang bergantung pada suasana hati (mood dependent memory) yaitu fakta bahwa apa yang kita ingat dalam suatu suasana hati tertentu dapat ditentukan, sebagiannya oleh apa yang kita pelajari sebelumnya dalam suasana hati tersebut. Misalnya, ketika kita menyimpan peristiwa yang menyenangkan dalam jangka panjang ketika sedang berada dalam suasana hati yang baik, maka kita akan cenderung mengingat peristiwa tersebut ketika berada dalam suatu situasi yang serupa. Pengaruh kedua adalah efek kesesuaian hati (mood congruence effects) yaitu kecenderungan untuk menyimpan atau mengingat informasi yang positif ketika berada dalam suasana hati yang positif dan informasi yang negatif ketika berada dalam suasana hati yang negatif. Dengan kata lain, kita memperhatikan atau mengingat informasi yang sesuai dengan suasana hati kita saat itu.

5 comments:

Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget