Monday, 26 October 2015

Apakah dalam situasi tertentu seseorang akan melakukan agresi atau tidak ditentukan 3 variabel:
a. Intensitas amarah seseorang.
b. Kecenderungan untuk mengekspresikan rasa marah.
c. Kekerasan yang dilakukan karena alasan lain yang bersifat instru-mental.
Terdapat beberapa cara untuk mengurangi perilaku agresif:
a. Frustasi dapat dikurangi.
b. Orang dapat belajar untuk tidak melakukan agresi dalam situasi tertentu atau dapat belajar menekan agresivitasnya. Hal ini dilakukan dengan menyadari adanya punishment atau hukuman.
c. Mereduksi agresi dengan pemanusiaan korban, sehingga penyerang mempunyai empati terhadap korban.
d. Pengalihan yaitu mengekspresikan agresi terhadap sasaran pengganti.
e. Katarsis (pembersihan, pengungkapan agresi), maksudnya bila orang merasa agresif tindakan agresi yang dilakukannya akan mengurangi intensitasnya.
Strategi umum untuk mengurangi agresi bisa ditargetkan pada individu kemudian beralih ke strategi-strategi yang diterapkan pada tingkat komunitas atau masyarakat.
1. Strategi yang Diarahkan pada Individu Perilaku agresif dilakukan oleh pelaku individual. Dengan demikian, sebagian besar upaya intervensi diarahkan pada pengurangan kemungkinan individu untuk memperlihatkan perilaku agresif. Tiga mekanisme yang mungkin bisa mencegah perilaku agresif telah dieksplorasi yaitu katarsis, hukuman dan mengelola amarah.
a Katarsis.
Menurut pendapat yang diterima secara luas, menahan perasaan agresif bisa menimbulkan masalah penyesuaian dan membawa resiko ledakan agresi yang tidak terkontrol. Ide tentang katarsis yang dimunculkan Freud dan Lorenz menyatakan bahwa ventilasi perasaan bermusuhan dapat melepaskan impuls-impuls agresif yang secara temporer mengurangi kemungkinan perilaku agresif. Versi hipotesis katarsis yang lebih umum menyatakan bahwa ekspresi perasaan agresif apapun akan mengurangi kemungkinan agresi selanjutnya Tetapi temuan empiris mengenai efektivitas katarsis memperlihatkan bahwa katarsis bukan hanya tidak efektif tetapi justru kontraproduktif untuk mengurangi agresi (Baron dan Richardson, 1994 dalam Krahe, 2005:354). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tindakan agresif imajiner, misalnya dengan berpura-pura melakukan agresi atau memainkan permainan agresif, berkemungkinan meningkatkan agresi daripada menurunkannya. Hal yang sama juga berlaku untuk menonton tindakan kekerasan di media. Terlibat dalam bentuk-bentuk agresi imajiner atau agresi yang tidak merugikan atau melihat perilaku kekerasan orang lain, bisa menjadi pencetus agresi dalam bentuk perilaku di masa mendatang. Ekspresi agresi terbuka dalam bentuk verbal maupun fisik diketahui bisa mengurangi rangsangan afektif negatif. Tetapi, bukannya bertindak mencegah perbuatan agresi selanjutnya, pengalaman bahwa perasaan negatif dapat dikurangi melalui perilaku agresif itu justru bisa meningkatkan dan bukan menghambat agresi di masa mendatang.

b. Hukuman.
Penjelasan tentang agresi sebagai hasil proses belajar menekankan peran penguatan dan hukuman dalam mengatur performa perilaku agresif. Agresi dianggap bisa meningkat sejauh pelakunya (orang lain yang diobservasinya) mendapatkan akibat positif atas tindakan agresifnya. Sebaliknya, perilaku agresif yang diikuti akibat adversif, seperti hukuman, mestinya frekuensinya menjadi berkurang. Efektivitas hukuman sebagai mekanisme kontrol untuk agresi hanya bisa diharapkan menekan perilaku agresif bila beberapa kondisi terpenuhi:
• Hukuman yang diantisipasi itu hams cukup adversif.
• Hukuman itu harus memiliki kemungkinan tinggi untuk diterapkan.
• Hukuman itu hanya bisa menjalankan fungsi pencegahan bila rangsangan negatif individu tidak terlalu kuat hingga mengganggu ketepatan pengukurannya terhadap beratnya sanksi dan kemungkinannya untuk diterapkan.
• Hukuman itu hanya akan efektif bila ada alternatif perilaku yang atraktif bagi pelaku dalam situasi itu.
• Hukuman yang sesungguhnya hams diberikan segera setelah agresi dilakukan sehingga dipersepsi sebagai sesuatu yang berhubungan dengan perilaku agresif itu.

c. The American Psychological Society menyatakan bahwa hukuman bisa menekan perilaku antisosial dalam jangka pendek tetapi modifikasi perilaku yang lebih kekal hanya akan muncul setelah cara-cara alternatif untuk mengatasi masalah-masalah sosial dipelajari. Berdasarkan alur penalaran ini, program-program yang diarahkan pada pencegahan gangguan perbuatan agresif pada anak-anak difokuskan pada strategi pendisiplinan non-kekerasan oleh orangtua. Latihan manajemen untuk orang tua dimaksudkan untuk mengajari orangtua tentang cara menguatkan perilaku prososial. Hal ini melibatkan pengembangan perilaku pengasuhan yang baru, seperti memberikan penguatan positif untuk perilaku yang benar, memberikan hukuman yang ringan dan berkompromi melalui negosiasi (Kazdin, 1987 dalam Krahe, 2005:359). Latihan manajemen untuk orangtua terbukti berhasil mengubah pola-pola perilaku antisosial anak di berbagai penelitian. Perbaikan itu tetap stabil untuk kurun waktu yang lama setelah perlakuan itu selesai diterapkan.
Mengelola Kemarahan.
Kemarahan dan rangsangan afektif negatif memainkan peran kunci dalam banyak pengekspresian perilaku agresif. Dengan demikian pemberian kemungkinan untuk mengontrol kemarahan mestinya efektif dalam mengurangi agresi bermusuhan seseorang. Fokus pendekatan manajemen kemarahan adalah menunjukkan kepada individu agresif tentang model kemarahan yang bisa dimengerti dan hubungannya dengan kejadian, pikiran serta perilaku kekerasan yang dipicu olelmya. Pendekatan metode manajemen kemarahan hanya bisa diharapkan pada individu-individu yang menyadari kenyataan bahwa perilaku agresif mereka adalah akibat kegagalan mengontrol impuls agresif dan pada individu yang termotivasi untuk mengubah cam mereka yang tidak adekuat dalam menangani impuls. Selain itu kontrol terhadap kemarahan dapat ditingkatkan dengan melatih individu-individu ini agar mampu menyadari tentang penyebab-penyebab potensial dan keadaan-keadaan yang dapat mengurangi perilaku yang negatif dan menyebabkan frustasi. Dalam hal ini, temuan dan beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa agresi dapat dikurangi sejauh perilaku orang lain dapat diinterpretasi sebagai perilaku yang tidak dapat dihindari atau dilakukan secara tidak sengaja.
Empati terhadap target tindakan agresif bisa mengurangi agresi sejauh si agresor tidakterangsang secara emosional karenamempersepsi penderitaan korbannya sebagai pengumpan positif. Humor juga bisa memblokir kecenderungan agresif, kecuali bila bahan humor itu sendiri mengandung stimulus agresif atau bermusuhan. Tetapi masing-masing afek ini terbatas pad.4. konteks segera (immediate) dan tidak akan berhasil mengurangi agresi dan waktu ke waktu atau dan satu situasi ke situasi yang lain.
Belajar melalui observasi yaitu mengamati orang-orang yang berperilaku non-agresif bisa mengurangi performa tindakan agresif pengamatnya (Baron dan Richardson, dalam Krahe, 2005:362-363). Menyaksikan tokoh non-agresif dimaksudkan untuk mendapatkan repertoar perilaku ban' dimana pola-pola respons agresif dapat digantikan untuk jangka waktu yang lebih lama.
2. Pendekatan kepada Masyarakat Setiap masyarakat berkewajiban menawarkan kemungkinan pengamanan terbaik dan dari agresi dan kekerasan terhadap warganya. Norma-norma dan praktek-praktek yang ada di masyarakat dapat memberikan efek yang nyata pada Skala agresi yang ditunjukkan warganya. Misalnya upaya regulasi-diri yang dilakukan oelh media untuk mengontrol dan membatasi tingkat aksesabilitas program-program yang mengandung kekerasan untuk melindungi warga masyarakat. Badan hukum yang berwenang juga hams berupaya metakukan pengontrolan terhadap ketersediaan isi media yang mengandung kekerasan.
Dan perspektif ekologis, Goldstein (dalam Krahe, 2005:364) mempresentasikan pendekatan pencegahan kejahatan yang didasarkan pada penciptaan lingkungan fisik dan social yang membatasi peluang perilalcu agresif. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah:
• Mempersulit pelaku kriminal untuk mencapai targetnya (melalui penghalang fisik atau pengontrolan akses).
• Mengontrol fasilitatornya (misalnya melarang penjualan alkohol pada acara-acara keramaian seperti saat pertandingan olahraga, konser musik, dan lainnya).
• Mengimplementasikan sistem pengawasan formal dan informal (misalnya televisi jaringan tertutup atau Close Circuit Television/ CCTV).

• Sistem keamanan lingkungati (siskamling). • Mengidentifikasikan properti atau barang-barang berharga (dengan membubuhkan label atau kode elektronik). Mekanisme pengontrolan agresi dan kekerasan lain di tingkat masyarakat adalah penerapan sanksi hukum. Penjatuhan hukuman terhadap terhadap pelaku agresi individual setelah melakukan indak kejahatan atau kekerasan dimaksudkan untuk menghalangi kekerasan selanjutnya.
Orang tidak selalu berperilaku agresif bila marah, meskipun biasanya mereka merasa terdorong untuk melakukannya. Mungkin juga orang bertindak agresif tanpa marah. Oleh sebab itu faktor-faktor yang mengendalikan perilaku agresif sama pentingnya dengan faktor-faktor yang membangkitkan rasa marah/amarah. Mekanisme utama yang menentukan perilaku agresif manusia adalah proses belajar masa lampau dan melalui penguatan (reinforcement).



Perilaku agresif diperoleh juga dengan imitasi, yaitu mempelajari reaksi agresif tertentu melalui pengam-atan terhadap apa yang dilakukan orang lain (disebut vicarious learning). Proses ini akan meningkat jika diberi penguatan. Dalam eksperimen Bandura (Sears, 1985:13) akan terjadi agresi imitatif oleh anak yang lebih banyak jika:
a. Model diberi ganjaran
b. Jenis kelamin model sama dengan jenis kelamin anak (peniru)
c. Anak (peniru) sudah mengenal model (bila model itu adalah teman atau gurunya)
Salah satu bentuk agresi imitatif yang penting adalah dalam kejahatan dan perilaku kerumunan yaitu kekerasan yang menjalar (contagious behaviour). Sosiolog Perancis,Tarde, mengemukakan pendapat tentang kekerasan yang menjalar ketika dia melihat bahwa berita kejahatan besar dalam suatu masyarakat menimbulkan kejahatan imitatif. Misalnya kejahatan-kejahatan yang diilhami oleh kasus sebelumnya seperti pelaku kejahatan yang terjadi setelah melihat modus operandi di tayangan-tayangan 'criminal televisi (misalnya penggandaan uang, pembiusan, dan lain-lain).
Selain itu terdapat juga norma sosial yang mengatur kapan dan bagaimana kita boleh melakukan agresi. Perilaku agresif yang dikendalikan oleh norma sosial sangat kompleks, kadang-kadang norma ini berlaku untuk seluruh masyarakat. Sebagai contoh, pada umumnya kita mempunyai pandangan bahwa membunuh merupakan hal yang salah, kecuali dalam kondisi yang agak ekstrem (membela diri, hukuman mati).
Terdapat juga agresi instrumental, yaitu agresi yang terjadi bila orang menggunakannya untuk memperoleh tujuan praktis dengan melukai orang lain. Misalnya pembunuh bayaran yang membunuh karena ingin mendapatkan uang, bukan karena marah. Disini agresi berfungsi sebagai alat atau sarana.
Terdapat pengaruh situasional yang menjadi penyebab terjadinya agresi yaitu:
1. Pengaruh Alkohol
Secara keseluruhan, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari literatur mutakhir mengenai agresi yang berhubungan dengan alkohol yaitu (dalam Krahe, 2005:131-132):
a. Ada banyak temuan yang menunjukkan bahwa ketika terintoksikasi, individu-individu menunjukkan perilaku agresif lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak terintoksikasi. Temuan-temuan ini datang dari penelitian laboratoris terkontrol maupun penelitian-penelitian di berbagai konteks kehidupan nyata yang menggunakan metode-metode laporan-diri (self report) maupun observasi
b. Agaknya jelas bahwa efek farmakologis alkohol sangat ber-tanggungjawab atas efek peningkatan agresinya. Namun, peran harapan yang berhubungan dengan alkohol belum sepenuhnya dieksplorasi
c. Alkohol tidak secara langsung menyebabkan perilaku agresif, tetapi mempengaruhi agresi secara tidak langsung. Interpretasi kognitif dianggap merupakan penjelasan paling menjanjikan untuk efek alkohol terhadap agresi. Interpretasi ini menekankan bahwa alkohol merusak kapasitas orang untuk memproses informasi, termasuk perhatian terhadap berbagai hambatan normatif yang mestinya menekan respons agresif dalam keadaan tidak terintoksikasi.
d. Hubungan antara alkohol dengan agresi dipengaruhi oleh variasi situasi. Provokasi, frustasi dan perhatian yang difokuskan pada diri sendiri ditengarai sebagai variabel-variabel relevan yang berhubungan dengan perbedaan efek alkohol terhadap respons agresif.

2. Temperatur Efek temperatur udara terhadap agresi telah didemonstrasikan secara konsisten di berbagai paradigma metodologis yang berbeda. Dengan membandingkan wilayah panas versus wilayah dingin atau periode waktu panas dan periode waktu dingin di suatu wilayah, ditemukan bahwa agresi terutama kriminalitas dengan kekerasan, umumnya menonjol pada kondisi-kondisi temperatur udara tinggi. Kebanyakan penelitian mengacu pada apa yang dikenal sebagai hipotesis hawa panas (heat hypothesis) yang menyatakan bahwa temperatur udara tinggi yang tidak nyaman meningkatkan motif dan perilaku agresif (Anderson, Bushman, Groom, 1997 dalam Krahe, 2005:132). Untuk mempertahankan pendapat bahwa temperatur udara tidak nyaman menyebabkan afek negatif, agresi afektif (permusuhan) adalah yang paling tepat untuk hipotesis temperatur panas. Tindakan-tindakan agresif dengan komponen kemarahan dan permusuhan afektif yang kuat, seperti penyerangan, pembunuhan, hum-hara dan perkosaan diperkirakan lebih banyak dipengaruhi temperatur udara daripada tindakan-tindakan agresi instrumental seperti perampokan, pencurian atau-barangkali juga- peperangan internasional.

3. Stressor Lingkungan Lainnya Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) stressor lingkungan yang mendorong dan meningkatkan perilaku agresif yaitu keadaaan berdesak-desakan (crowding), kebisingan dan polusi udara.
a. Crowding mengacu pada kepadatan ruang yang dipersepsi tidak menyenangkan dan aversif. Crowding merupakan pengalaman subjektif, sementara kepadatan merupakan konsep fisik yang dapat didefinisikan sebagai jumlah orang per-unit ruang. Pembedaan ini penting karena tingkat kepadatan yang sama bisa menimbulkan perasaan berdesak-desakan yang berbeda-beda pada tiap orang, sesak untuk sebagian orang sementara sebagian yang lainnya tidak. Selain itu, tingkat kepadatan ruang mungkin bisa dipersepsi sebagai keadaan yang menyenangkan unuk beberapa konteks (misalnya dalam konser musik di udara terbuka) dan sebagai keadaan yang tidak menyenangkan dalam konteks lainnya (misalnya dalam gerbong kereta api yang sempit. Walaupun keadaan semacam itu tidak dapat dihubungkan secara konklusif dengan agresi, ada temuan bahwa crowding dapat meningkatkan kemungkinan agresi di berbagai kontek, seperti dalam kondisi keluarga yang tinggal berdesak-desakan di rumah yang sempit, lingkungan penjara dan pelanggaran ruang pribadi (Geen, 1990 dalam Krahe 2005:144). Terrivan-temuan eksperimental menunjukkan bahwa efek meningkatkan agresi pada crowding diperantarai rangsangan afektif negatif yang ditimbulkan oleh persepsi subjektif mengenai keterbatasan ruang. Selain itu, tampaknya laki-laki lebih responsif terhadap crowding dalam hubungannya dengan perilaku agresif. Temuan ini konsisten dengan penjelasan afek negatif dalam arti bahwa laki-laki ditemukan secara konsisten mengklaim ruang pribadi yang lebih luas dibandingkan dengan perempuan sehingga lebih mungkin untuk terpengaruh secara adversif oleh pembatasan terhadap "wilayah kekuasaan".
b. Kebisingan adalah stressor lingkungan lain yang berhubungan dengan perilaku agresif. Dalam kapasitasnya sebagai pengintensif perilaku yang sedang berlangsung, kebisingan dapat menguatkan kecenderungan perilaku agresif yang sudah muncul pada si pelaku. Dalam penelitian yang dilakukan Geen dan O'Neal (dalam Krahe, 2005:144) subjek diminta menonton film yang disertai kekerasan dan film yang tanpa kekerasan. Setelah selesai menonton mereka diperintahkan mengantarkan kejutan listrik ke orang lain sebagai hulcurnan atas kesalahan yang dibuatnya dalam suatu tugas belajar. Sementara menerapkan kejutan listrik itu, separuh subjek dihadapkan pada suara-suara keras. Dari sana ditemukan bahwa manipulasi suara bising itu hanya menimbulkan agresi lebih tinggi pada subjek-subjek yang sebelumnya telah menonton film keras. Akibat kebisingan lainnya adalah mengacaukan toleransi terhadap frustasi, sehingga meningkatkan kecenderungan perilaku agresif setelah mengalami frustasi. Jadi kebisingan berlaku sebagai penguat kecenderungan respons agresif pada orang-orang yang sudah dalam keadaan meningkat kesiapannya untuk berperilaku agresif. Tetapi tampaknya bukan kebisingan itu sendiri yang memfasilitasi agresi, melainkan kenyataan bahwa kebisingan seringkali merupakan kejadian yang tidak dapat dikontrol. Bila kebisingan itu dipersepsi sebagai dapat dikontrol, dampaknya terhadap perilaku agresif akan berkurang secara subtansial (Geen dan McCown, 1984 dalam Krahe, 2005:145).

c. Polusi udara telah ditemukan menjadi penguat kecenderungan respons agresif dengan cara yang serupa dengan crowding dan kebisingan. Penelitian yang menelaah efek asap rokok terhadap agresi menemukan bahwa subjek-subjek yang dihadapkan pada asap rokok memperlihatkan sikap bermusuhan lebih tinggi terhadap orang lain (tidak hanya terhadap orang yang menghasilkan asap itu) dibandingkan kelompok kontrol yang tidak dihadapkan pada kondisi penuh asap. Peran bau tidak sedap dalam meningkatkan agresi telah ditelaah dalam konteks lari dari afek negatif yang sebelumnya telah disebutkan dalam konteks hipotesis hawa papas. Model ini memprediksikan bahwa tingkat bau tidak sedap yang moderat meningkatkan agresi, sementara tingkat agresi itu sendiri akan turun lagi ketika bau tidak sedap itu semakin intens. 
Salah satu sumber rasa amarah yang paling umum adalah serangan atau gangguan yang dilakukan orang lain. Misalnya kita tiba-tiba dipukul tanpa sebab yang jelas, diserang dengan caci maki, dan sebagainya. Artinya orang lain melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan. Tergantung pada bagaimana pandangan orang yang dirugikan apakah is diganggu atau diserang. 
Pada umumnya orang akan merasa agresif terhadap sumber serangan. Demikian juga berbagai rangsangan yang tidak disukai dapat menimbulkan agresi. Misalnya bau badan, asap rokok, pemandangan yang memuakkan, dan sebagainya akan memperlihatkan peningkatan perasaan agresif Motif yang tampak atau maksud dibalik tindakan orang lain, terutama jika secara potensial bersifat provokatif, seringkali jauh lebih penting dalam mempengaruhi kita untuk bertindak agresif Salah satu akibat dari kecenderungan membalas ini adalah adanya kekerasan yang terus berkembang.
Sumber utama kedua rasa marah adalah frustasi. Frustasi adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Bila seseorang hendak pergi ke suatu tempat, melakukan sesuatu atau menginginkan sesuatu dan kemudian dihalangi, maka kita katakan bahwa orang itu mengalami frustasi. Salah satu prinsip dasar dalam psikologi adalah bahwa frustasi cenderung membangkitkan perasaan agresif.
Selanjutnya adalah peran atribusi, yang menyatakan bahwa suatu kejadian akan menimbulkan amarah dan perilaku agresif bila si korban mengamati serangan atau frustasi itu dimaksudkan sebagai tindakan yang menimbulkan bahaya. Bila korban menghubungkan frustasi dengan keadaan yang tidak dapat dihindarkan maka tidak akan timbul amarah yang lebih besar. Tetapi bila tidak ada pembenaran faktor eksternal semacam itu dan bila dibuat pertalian internal, maka yang timbul adalah rasa marah yang jauh lebih besar

Benda mati juga dapat menimbulkan amarah misalnya ban kempes, banjir, bath yang membuat kita tersandung dan sebagainya, yang biasanya tidak dianggap sebagai hasil tindakan seseorang yang menyakiti kita. Terdapat banyak frustasi dan gangguan yang tidak akan membuat kita marah bila is tidak dimaksudkan untuk melukai. 
Terdapat tiga perbedaan penting dalam pengertian agresi. Pertama, definisi agresi sebagai perilaku melukai atau mempertimbangkan apakah orang tersebut bermaksud melukai. Definisi yang paling sederhana yang menggunakan pendekatan belajar atau pendekatan perilaku (behaviouristik) adalah bahwa agresi merupakan perilaku melukai orang lain. Keuntungan definisi ini adalah bahwa perilaku itu sendiri menentukan apakah suatu tindakan agresif atau tidak. Kelemahan definisi ini adalah mengabaikan maksud orang yang melakukan tindakan tersebut atau mengabaikan tujuannya. Pengabaian maksud ini menimbulkan kesalahan bahwa jika is tidak melakukan tindakan yang berbahaya maka seharusnya dia tidak dikatakan agresif, meskipun kelihatan marah atau ingin melukai.


Kedua, biasanya kita mengasosiasikan agresi sebagai sesuatu yang buruk, padahal perlu dibedakan antara agresi antisosial dengan agresi prososial. Memang, agresi yang melukai itu buruk tetapi dalam contoh kasus seorang polisi yang menembak mati penjahat kelas kakap yang telah melakukan banyak kejahatan, maka agresi yang dilakukan polisi tersebut bisa menimbulkan ketentraman dan keamanan bagi masyarakat. Oleh karena itu, yang perlu dilihat dalam tindakan agresi adalah apakah tindakan agresif yang dilakukan melanggar atau mendukung norma sosial yang telah disepakati. Beberapa tindakan agresif berada diantara agresi prososial dan agresi antisocial, yang disebut dengan agresi yang disetujui (sanctioned agression). Ini meliputi tindakan agresif yang tidak bisa diterima oleh norma sosial tetapi masih berada dalam batas yang wajar atau tidak melanggar standar moral yang telah diterima. Misalnya pemberian kartu merah pada pemain sepakbola, wanita yang melawan pelaku kejahatan, dan sebagainya. Tindakan tersebut tidak dikehendaki tetapi masih berada dalam batas yang dapat diterima oleh norma sosial.
Ketiga, adalah perbedaan antara perilaku agresif dengan perasaan agresif misalnya rasa marah. Perilaku kita yang tampak tidak selalu mencerminkan perasaan internal. Mungkin saja seseorang sangat marah tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain. Dalam hal ini kita perlu mempertimbangkan faktor yang meningkatkan rasa marah maupun kendala yang mencegah agar perasaan itu tidak menjadi tindakan agresif.
Agresi dapat didefinisikan sebagai perilaku fissik atau verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Terdapat dua tipe agresi menurut Myers (2012:69) yaitu "hostile aggression" yaitu agresi yang didorong oleh kemarahan dan dilakukan dengan tujuan untuk melampiaskan kemarahan itu sendiri dan "instrumental aggression" yaitu agresi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain.
Sebuah definisi klasik tentang agresi disampaikan oleh Buss (dalam Krahe, 2005:15) yang mengkarakteristikkan agresi sebagai sebuah respons yang mengantarkan stimuli "beracun" kepada makhluk hidup lainnya. Agar perilaku seseorang memenuhi kualifikasi agresi maka perilaku itu hams dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif terhadap targetnya dan sebaliknya menimbulkan harapan bahwa tindakan itu akan menghasilkan sesuatu. Spesifikasi ini mengesampingkan perilaku yang mengakibatkan sakit atau cedera yang terjadi di luar kehendak, misalnya yang terjadi secara kebetulan, akibat kecerobohan atau akibat ketidakcocokan. Sebaliknya spesifikasi ini memasukkan perilaku-perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain tetapi tidak menimbulkan akibat-akibat yang dikehendaki misalnya tembakan yang meleset dan targetnya dianggap mewakili sebuah tindakan agresif, bahkan meskipun tak sehelai rambutpun terlepas dan kepala si target. Dengan memfokuskan pada niat untuk menyakiti orang lain juga memungkinkan dimasukkannya tindakan non-aksi, seperti tidak bertindak untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan, sebagai sebuah tindakan yang agresif. Spesifikasi yang lebih lanjut mengacu pada keinginan di pihak target untuk menghindari perlakuan yang menyakitkan. Spesifikasi ini mengesampingkan kasus agresi yang diarahkan pada din sendiri dimana peran agresor maupun targetnya bersesuaian seperi bunuh din atau cedera yang dilakukan dalam konteks praktek perilaku sosial yang menyimpang (sadomachocism). Aspek-aspek tipologi perilaku agresif dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel Aspek-aspek Tipologi Perilaku Agresif
1.
Modalitas repons
Verbal vs Fisik
2.
Kualitas respons
Bertindak vs Kegagalan untuk bertindak
3.
Kesegaran
Langsung vs Tidak langsung
4.
Visibilitas
Tampak vs Tidak tampak
5.
Hasutan
Tidak Diprovokasi vs Tindakan Balasan
6.
Arah sasaran
Permusuhan vs Instrumental
7.
Tipe kerusakan
Fisik vs Psikologis
8.
Durasi akibat
Sementara vs Jangka Panjang
9.
Unit-unit social yang terlibat
Individu vs Kelompok
 (Sumber: Krahe, 2005:16)

Sebuah definisi lengkap yang mempertimbangkan semua aspek diatas ditawarkan oleh Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005:16) yang mendeskripsikan agresi sebagai "segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu". Motif utama perilaku agresif bisa jadi adalah kenginan menyakiti orang lain untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif, seperti agresi permusuhan atau keinginan mencapai tujuan yang diinginkan melalui tindakan-tindakan agresif, seperti dalam agresi instrumental.
Beberapa aspek yang hams dipertimbangkan dalam mendefinisikan agresi mengacu pada penilaian normatif mengenai perilaku yang dipersoalkan. Ada beberapa kontroversi seperti apakah aspek "pelanggaran norma" hams dimasukkan diantara fitur-fitur penentu agresi lainnya. Tindakan disipliner yang digunakan oleh para guru atau tindakan mempertahankan din secara fisik adalah contoh-contoh perilaku yang memenuhi 'criteria niat, harapan dan keinginan target untuk menghindarinya, sehingga hams digolongkan sebagai perilaku avesif. Tetapi norma sosial menganggap tindakan semacam ini sebagai perilaku sosial yang dapat diterima. Oleh karenanya selama ini telah diperdebatkan apakah perilaku hanya boleh dianggap agresif bila melibatkan pelanggaran terhadap norma sosial.
Tetapi sebagaimana dinyatakan Berkowitz (1993, dalam Krahe, 2005:18) mendefinisikan agresi dalam hubungannya dengan pelanggaran norma atau perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial berarti mengabaikan masalah bahwa evaluasi normatif mengenai perilaku seringkali berbeda, tergantung perspektif pihak-pihak yang terlibat. Sebagai contoh, sebagian orang menganggap hukuman badan adalah cara pengasuhan anak yang efektif dan diterima, sementara yang lainnya menganggap sebagai bentuk agresi yang tidak dapat diterima.
Hal lain yang berkaitan dengan pemilahan yang perlu diberi penjelasan adalah perbedaan "agresi yang dibenarkan atau sah (legitimate)" dan "agresi yang tidak dibenarkan atau tidak sah (illegitimate)". Hukuman negara, misalnya, memenuhi semua elemen definisi agresi sebagaimana disebutkan oleh Baron dan Richardson, yaitu tindakan yang dilakukan dengan niat dan harapan untuk menyakiti terhukum yang terdorong untuk menghindarinya. Tetapi, tindakan ini dibenarkan berdasarkan hukum di banyak negara. Oleh karena itu, apakah tepat bila menganggapnya sebagai agresi, bila prosedur hukumnya sudah dilaksanakan dengan benar? Meskipun banyak orang yang menolak ide ini, sebagian lainnya mungkin memiliki pandangan lain. Bila peraturan hukum yang eksplisit untuk itu tidak ada, pertanyaan mengenai legitimasi itu bahkan menjadi lebih sulit lagi untuk dijawab. Apakah kejahatan yang dilakukan oleh gerakan separatis atau minoritas tenr.arjinalisasi merupakan bentuk agresi yang dibenarkan atau tidak dibenarkan? Jelas bahwa jawaban bagi pertanyaan ini sangat akan dipengaruhi oleh posisi yang diambil orang dalam kontroversi itu. Jadi, meskipun isu-isu mengenai pelanggaran norma dan legitimasi sangat relevan, misalnya ketika sampai pada analisis mengenai dinamika hubungan antar kelompok atau justifikasi untuk perilaku agresif, mereka sulit diakomodasi sebagai fitur-fitur dalam definisi agresi.
Sebelum beralih dan definisi ke pengukuran perilaku agresif, kita perlu melihat secara singkat makna dua istilah yang saling berhubungan yaitu koersi atau paksaan (coersion) dan kekerasan (violence). Koersif (coersive) didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan niat membuat orang lain menderita atau memaksa orang lain patuh (Tedeschi dan Felson, 1994 dalam Krahe, 2005:19). Tindakan koersif dapat berbentuk ancaman, hukuman atau paksaan badaniah. Menurut pendapat kedua tokoh tersebut terdapat beberapa keuntungan jika mengganti istilah agresi dengan koersi yaitu:
a. Koersi memasukkan penggunaan ancaman berkontingensi untuk mendapatkan kepatuhan orang lain, yang tidak dapat direkonsiliasikan dengan mudah dengan definisi minimal agresi.
b. Tindakan koersif diinterpretasikan sebagai bentuk pengaruh sosial, yang menggarisbawahi sifat sosial tipe perilaku ini dan secara konseptual mendekatkan pada proses-proses komunikasi dan interaksi yang sebelumnya tidak ditelaah dalam konteks agresi.
c. Koersi direkomendasikan karena tidak hams menghindari isu legitimasi.
Menurut Tedeschi dan Felson" interaksi dan motif-motif orang tua yang menggunakan tindakan koersif untuk mengontrol dan mengubah perilaku anak-anaknya pada dasarnya tidak berbeda dengan tindakan perampok yang memaksa korbannnya untuk patuh dan tunduk".

Berlawanan dengan koersi, yang lebih luas dibandingkan agresi, istiiah kekerasan merupakan salah satu sub-tipe agresiyang menunjuk pada bentuk-bentuk agresi fisik ekstrem. Kekerasan didefinisikan sebagai (dalam Krahe, 2005:20):
1. Pemberian tekanan intensif terhadap orang atau properti dengan tujuan merusak, menghukum atau mengkontrol (Geen,1995).
2. Serangan fisik yang merusak yang bagaimanapun juga tidak dibenarkan secara sosial (Archer dan Brown, 1989).
Definisi-definisi diatas meliputi contoh-contoh kekerasan personal yang dilakukan oleh pelaku individual atau sekelompok individu yang dapat diidentifikasi. Sebuah tipologi kekerasan fungsional dikemukakan oleh Mattaini, Twyman, Chin dan Lee (1996, dalam Krahe, 2005:20) mengidentifikasi 6 (enam) fungsi potensial tindak kekerasan yaitu:
1. Mengubah atau menghindari situasi situasi aversif.
2. Penguatan (reinforcement) positif, misalnya pencapaian tujuan ter-tentu.
3. Pelepasan dorongan afektif negatif.
4. Resolusi konflik.
5. Mendapatkan penghormatan. 6. Melakukan serangan terhadap, yang didefinisikan secara kultural sebagai "musuh", misalnya anggota kelompok luar yang dipandang rendah.

Salah satu bentuk khusus kekerasan yang disebut sebagai kekerasan struktural adalah kondisi masyarakat yang mewariskan akibat merugikan bagi kelompok sosial tertentu. Kekerasan struktural dianggap sebagai fitur laten dalam sistem sosial yang menimbullkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan secara sosial, misalnya melalui pelembagaan hirarkhi kelcuasaan antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan perempuan kebanyakan tidak terlindungi dan koersi seksual laki-laki. 
Salah satu nilai yang sangat penting dari teori belajar adalah penekanan pada tingkah laku yang dapat diamati dan stimulus lingkungan. Para ahli teori psi-kodinamik memusatkan perhatian pada variabel-variabel internal yang mung-kin tidak dapat diteliti secara ilmiah, seperti struktur-struktur psikis dan konflik-konflik tak sadar. Para ahli teori belajar menekankan signifikansi variabel-variabel lingkungan atau situasional, seperti hadiah dan hukuman yang dapat diubah-ubah secara sistematis dan pengaruh-pengaruhnya terhadap tingkah laku dapat diukur dengan teliti. Para ahli teori belajar-sosial memperluas jang-kauan model-model pengondisian tentang belajar dengan memperhatikan bagai-mana orang dan variabel-variabel situasi mempengaruhi tingkah laku manusia dan belajar. Teori-teori belajar sangat berpengaruh terhadap psikologi dan teori-teori ini menangani hal-hal mulai dan belajar sampai pada tingkah laku binatang, motivasi, perkembangan anak, tingkah laku abnormal, dan metode-metode terapi. Model-model belajar telah menghasilkan perkembangan terapi tingkah laku yang menjadi metode perawatan yang terkenal untuk bermacam-macam • tingkah laku abnormal. Tetapi tidak boleh disimpulkan bahwa tidak ada kon-troversi mengenai teori belajar dalam menjelaskan tingkah laku abnormal.  
Para kritikus tidak mempersoalkan validitas dari prinsip-prinsip pengondisian, tetapi mereka mempersoalkan apakah prinsi,p-prinsip tersebut dapat menjelas-kan tingkah laku-tingkah laku yang sangat kompleks dari individu-individu yang kalut. Dengan kata lain, para kritikus mengemukakan bahwa meskipun prinsip-prinsip teori belajar itu benar, tetapi mungkin tidak cukup untuk menje-laskan tingkah laku-tingkah laku yang lebih kompleks seperti halusinasi-halu-sinasi dan delusi-delusi. Para kritikus juga berpendapat bahwa model-model belajar tidak dapat menjelaskan keanekaragaman tingkah laku dan pengalaman manusia tidak da-pat direduksikan menjadi respons-respons yang dapat diamati. Banyak ahli teori belajar juga — terutama para ahli teori belajar-sosial — tidak puas dengan pandangan behavioristik tradisional yang mengemukakan bahwa kondisi-kondisi lingkungan secara mekanik memaksakan respons-respons pada organis-me, termasuk manusia. Manusia dalam teori belajar-sosial mengalami pikiran-pikiran dan impian-impian, merumuskan tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi, sedangkan pandangan behavioristik klasik kelihatannya tidak berbicara banyak mengenai apa artinya menjadi manusia. 
Behaviorisme klasik juga kelihatannya tidak menjelaskan berapa banyak orang berjuang — betapa pun sulit — untuk mewujudkan impian-impian batinnya. Bila orang hanya mengulang tingkah laku-tingkah laku yang diperkuat, bagaimana is berjuang tanpa pemerkuat-pemerkuat ekstemal untuk menemukan ide-ide dan karya yang barn? Berbeda dengan behaviorisme tradisional, para ahli teori belajar-sosial melihat manusia sebagai orang yang aktif mencari informasi bukan sebagai orang yang bereaksi secara pasif terhadap stimulus-stimulus lingkungan. Teori  belajar-sosial telah berkembang begitu jauh dari nenek moyangnya behavior-isme sehingga kesamaannya dengan teori-teori dan model-model kognitif benar-benar mencolok. Teori belajar-sosial juga tidak bebas dari kritik. Para kritikus mengemu-kakan bahwa teori belajar-sosial tidak mengembangkan pernyataan-pernyataan yang memuaskan mengenai pembentukan kepribadian atau menjelaskan kesa-daran diri. Di samping itu teori belajar-sosial, seperti leluhurnya behaviorisme tradisional, tidak memberikan perhatian pada faktor-faktor genetik dalam men-jelaskan perbedaan-perbedaan individual dalam tingkah laku atau dalam men-jelaskan pola-pola tingkah laku abnormal.
Para ahli teori belajar memusatkan perhatian pada peran dan belajar dalam menjelaskan tingkah laku normal dan abnormal. Seperti telah dikemukakan sebelumnya mereka pada umumnya berpendapat bahwa pola-pola tingkah laku abnormal dipelajari menurut prinsip-prinsip yang sama, seperti pengondisian dan belajar dengan cara mengamati (observational learning) yang menentukan tingkah laku. Di sini akan dikemukakan beberapa cara bagaimana model-model belajar itu menjelaskan tingkah laku abnormal.

 Memperoleh Pola-Pola Tingkah Laku Abnormal

Beberapa pola tingkah laku abnormal seperti fobia mungkin dipelajari berda-sarkan pengondisian. Penjelasan pengondisian tentang fobia mengemukakan bahwa stimulus yang sebelumnya netral mungkin menjadi stimulus fobia (yang ditakuti) karena diberi berpasangan atau berasosiasi dengan stimulus yang menyakitkan atau aversif. Misalnya, seorang individu mungkin mengembang-kan ketakutan atau fobia untuk menggunakan lift karena telah mengalami peris-tiwa traumatis atau menyakitkan pada masa lampau. Para ahli teori belajar-sosial mengemukakan bahwa ketakutan tersebut mungkin telah dipelajari karena mengamati orang lain, yakni mengamati reaksi-reaksi ketakutan orang lain atau dengan mengamati model-model dalam film dan televisi menderita pengalaman-pengalaman traumatis pada waktu berinteraksi dengan stimulus-stimulus fobia. Terapi behavioral adalah penerapan prinsip-prinsip belajar untuk membantu orang-orang mengatasi tingkah laku-tingkah laku yang bermasalah.

Kemampuan Kurang
Tingkah laku abnormal mungkin menggambarkan pengetahuan dan keteram-pilan yang kurang atau tidak mencukupi, misalnya keterampilan-keterampilan sosial. Keterampilan-keterampilan sosial yang kurang dapat mereduksikan peluang-peluang untuk penguatan dari orang lain, terutama bila individu me-narik diri dari situasi sosial. Pendekatan-pendekatan terapeutik yang mengajar-kan orang-orang keterampilan-keterampilan sosial yang efektiftelah diterapkan pada sejumlah pola tingkah laku abnormal, termasuk depresi, kecemasan sosial, dan skizofrenia. 
Harapan-Harapan yang Merusak Diri Sendiri, Pengkodean (Encoding), dan Sistem-Sistem Pengaturan Diri
Orang-orang yang berpendapat bahwa usaha-usaha mereka akan menemui kega-galan mungkin akan mengembangkan perasaan-perasaan tidak berdaya, putus asa, dan mengalami depresi. Tetapi, harapan-harapan akan kepercayaan diri yang positif meningkatkan motivasi dan ketekunan dalam menangani tantangan-tantangan yang sulit. Beberapa orang menarik diri dari orang lain dan mengalami depresi karena mereka mengkodekan satu atau dua kegagalan sebagai lambang perasaan tidak berharga dan kegagalan yang hebat dalam interaksi sosial. Beberapa orang menjadi bermusuhan dan melakukan tindakan-tindakan yang kejam karena mereka mengkodekan provokasi-provokasi (hal-hal yang menjengkelkan) sebagai perbuatan-perbuatan tidak adil yang harus dilawan dan bukan sebagai masalah-masalah sosial yang harus dipecahkan. Orang-orang lain tidak dapat mengembangkan atau menggunakan sistem-sistem pengaturan diri yang me-mungkinkan mereka memperkuat diri mereka sendiri untuk melangkah ke tujuan-tujuan yang diinginkan


Perlu diperhatikan bahwa pengondisian klasik dan pengondisian operan dapat bergabung sehingga bersama-sama menghasilkan tingkah laku abnormal. Pengondisian klasik dapat menjadi dasar bagi ketakutan-ketakutan yang tidak tepat, sedangkan pengondisian operan dapat menjadi dasar bagi tingkah laku-tingkah laku yang digunakan untuk mereduksikan ketakutan-ketakutan. Pengon-disian klasik menyebabkan Albert takut dan dengan pengondisian operan ia da-pat menghindari wanita-wanita yang mengenakan mantel-mantel yang berbulu. Pengondisian operan dapat juga menyebabkan tingkah laku abnormal dengan memperlambat penghapusan respons-respons abnormal yang terkondisi secara klasik: Apabila dengan pengondisian operan Anda belajar menghindari suatu stimulus terkondisi, maka Anda tidak akan belajar bahwa stimulus itu tidak lagi berhubungan dengan stimulus terkondisi dan dengan demikian peng-hapusan tidak akan terjadi. Misalnya, apabila Albert menghindari tikus-tikus, maka ia tidak akan belajar bahwa tikus-tikus itu tidak lagi berpasangan dengan gong yang menakutkan. Demikian juga, individu7individu yang menghindari tempat-tempat yang tinggi karena mereka pernah ketakutan dalam suatu tempat yang tinggi tidak belajar bahwa tempat-tempat yang tinggi itu tidak perlu menakutkan, dan akibatnya ketakutan mereka tidak hilang. Penggunaan tingkah laku-tingkah laku operan untuk menghindari stimulus-stimulus yang ditakuti membantu kita untuk memahami apa sebabnya beberapa ketakutan terkondisi secara klasik begitu gigih dan tetap bertahan. Karya pengondisian klasik dari Pavlov dan Watson dan pengondisian operan dari Thorndike dan Skinner bersama-sama menjadi dasar dari apa yang sekarang disebut "pendekatan belajar" (atau pengondisian) terhadap tingkah laku abnormal karena ajaran dasar dari segi pandangan belajar adalah gangguan mental (tingkah laku abnormal) adalah basil dari belajar.

Teori Belajar-Sosial (Social-Learning Theory)
Teori belajar-sosial adalah sumbangan dari para ahli teori belajar, seperti Albert Bandura, Julian B. Rotter, dan Walter Mischel. Para ahli teori belajar-sosial menekankan peran dari aktivitas kognitif dan belajar dengan cara mengamati tingkah laku manusia. Para ahli teori belajar-sosial melihat manusia sebagai orang yang berpengaruh terhadap lingkungannya sama seperti ling-kungan berpengaruh terhadap dirinya. Para ahli teori belajar-social sependapat dengan para behavioris yang lebih tradisional yang mengemukakan bahwa tingkah laku manusia harus dikaitkan dengan respons-respons yang dapat diamati. Tetapi, mereka mengemukakan juga bahwa faktor-faktor di dalam orang itu sendiri — variabel-variabel orang — harus dipertimbangkan dalam menjelaskan tingkah laku manusia.
Para ahli belajar-sosial melihat indi-vidu sebagai orang yang belajar dengan tujuan tertentu dan menyadari dirinya sen-diri sebagai orang yang mencari informasi tentang lingkungannya, tidak hanya meng-adakan respons secara otomatis terhadap stimulus-stimulus yang menimpa dirinya. Rotter (1972) mengemukakan bahwa ting-kah laku tidak dapat diprediksikan dari faktor-faktor situasional saja. Apakah orang bertingkah laku dalam cara-cara tertentu atau tidak, juga tergantung pada harapan-harapannya tentang hasil-hasil dari tingkah lakunya dan nilai-nilai subjektif dari hasil-hasil itu.

Belajar dengan Cara Mengamati (Obser-vational Learning)
Dalam setiap contoh tentang pengondisian klasik dan pengondisian operan yang telah diberikan, orang yang belajar terlibat secara langsung dalam proses pengondisian. Albert dihadapkan pada tikus dan gong, dan anak belajar dengan uji coba bahwa kalau marah bisa mendapat hadiah. Tetapi, keterlibatan secara langsung itu tidak selalu dibutuhkan supaya pengondisian itu terjadi. Anak lain yang hanya memperhatikan bila tikus dan gong diberikan kepada Albert dapat mengembangkan ketakutan terkondisi yang terwakilkan terhadap tikus, dan seorang anak yang memperhatikan anak lain mendapat perhatian (hadiah) terhadap kemarahan dapat belajar menggunakan kemarahan untuk mendapat perhatian (hadiah). Tipe pengondisian yang tidak langsung ini biasanya disebut "belajar dengan cara mengamati" (observational learning) atau belajar melalui "percontohan" (modeling). Belajar dengan cara mengamati ini disebut juga "pengondisian yang diwakilkan" (vicarious con-ditioning). Dengan demikian, belajar melalui pengamatan terjadi meskipun pengamat tidak melakukan tingkah laku itu atau tidak diperkuat secara lang-sung. Belajar melalui pengamatan dapat terjadi pada waktu mengamati secara langsung tingkah laku orang lain atau dengan mengamati model-model dalam film-film atau televisi atau juga dengan membaca mengenai orang lain.

Variabel- Variabel Orang
Para ahli teori belajar-sosial berpendapat bahwa tingkah laku disebabkan oleh interaksi yang terus-menerus berubah antara orang dan variabel-variabel situasi. Variabel-variabel situasi adalah faktor-faktor tingkah laku ekstemal, seperti hadiah dan hukuman. Variabel-variabel orang adalah karakteristik-karakteristik dan orang itu, seperti kecakapan (competence), mengkodekan strategi-strategi (encoding strategies), harapan-harapan, nilai-nilai subjektif, sistem-sistem, dan rencana mengatur din sendiri. Kita telah membicarakan variabel-variabel situa-si dalam belajar menurut teori pengondisian klasik dan pengondisian operan. Sekarang akan dikemukakan variabel-variabel orang seperti telah disinggung di atas.




Kecakapan (competency).
Kecakapan adalah keterampilan-keterampilan dan pengetahuan yang telah diperoleh dari belajar pada masa lampau. Ini me-liputi keterampilan-keterampilan akadelnis, seperti membaca, menulis, dan menghitung; keterampilan atletik, seperti memukul bola tenis atau menendang bola kaki dengan tepat; keterampilan-keterampilan sosial, seperti mengetahui apa yang dikatakan atau bagaimana berpakaian dalam suatu wawancara pe-kerjaan atau bagaimana meminta sesorang untuk bergi berpacaran. Kapasitas individu menggunakan informasi untuk merencanakan tingkah laku tergantung pada kecakapan individu itu sendiri.

Mengkodekan strategi-strategi (encoding strategies).
Mengkodekan (encoding) mengacu pada proses melambangkan stimulus-stimulus. Orang-orang dapat mengkodekan stimulus-stimulus yang sama dalam cara-cara yang berbeda. Ada orang yang mengkodekan permainan tenis sebagai kesempatan untuk relaks dan bersenang-senang. Orang-orang lain mengkodekan permainan tersebut untuk membuktikan kemampuan mereka bermain tenis. Beberapa orang mengkodekan kencan yang tidak berhasil sebagai tanda kecerobohan mereka sendiri sedangkan orang-orang lain mengkodekan kencan yang gagal itu sebagai bukti bahwa orang-orafig terkadang tidak mencintai satu sama lain. Strategi-strategi pengkodean mungkin membantu mejelaskan mengapa bebe-rapa orang mengalami depresi dan menarik din sesudah menagalami kekece-waan, sedangkan orang lain tidak menghiraukannya dan tetap tidak gelisah. Harapan-harapan. Harapan-harapan adalah prediksi-prediksi pribadi mengenai hasil-hasil (atau potensi untuk perkuatan) dalam melakukan respons-respons tertentu. 
Harapan-harapan itu dapat digambarkan dengan pernyataan "jika — maka": Jika saya melakukan A, maka saya akan mendapat B. Bandura (1982) membedakan dua macam harapan, yakni harapan-harapan akan keber-hasilan (outcome expectations) dan harapan-harapan akan kemampuan (efficacy expectations). Harapan-harapan akan keberhasilan adalah antisipasi-antisipasi bahwa pola-pola tingkah laku tertentu akan memperoleh akibat-akibat tertentu. Misalnya, Anda mungkin mengharapkan bahwa dengan mempelajari secara tekun bahan kuliah yang diuraikan dalam buku, maka kemungkinan lebih besar Anda akan mengerjakan ujian dengan baik (harapan-harapan akan keberhasilan mungkin terbukti benar atau mungkin juga tidak). Sebaliknya, harapan-harapan akan kemampuan diri (self-efficacy expectations) adalah keyakinan-keyakinan bahwa orang akan berhasil melakukan tingkah laku itu. Misalnya, bila Anda memusatkan pikiran Anda dalam membaca suatu buku, maka Anda yakin bahwa Anda memperoleh informasi dan ini merupakan contoh harapan akan kemam-puan diri yang tinggi. Atau sebaliknya, Anda yakin bahwa Anda tidak dapat mempelajari bahan yang diuraikan dalam buku itu meskipun Anda benar-benar berusaha mempelajarinya, ini merupakan contoh kepercayaan akan kemampuan diri yang rendah. Harapan-harapan akan kemampuan diri sendiri sebagian di-dasarkan pada kecakapan-kecakapan individu dan pengalaman-pengalamannya sendiri dalam situasi-situasi yang sama. Kecakapan mempengaruhi harapan, dan sebaliknya harapan mempengaruhi motivasi untuk melakukan. Orang-orang yang berpikir bahwa mereka mampu, mungkin sekali berusaha melakukan tugas-tugas yang sulit daripada orang-orang yang ragu-ragu apakah mereka dapat melakukannya.

Nilai-nilai subjektif.
Peristiwa-peristiwa atau stimulus-stimulus yang sama akan dinilai secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda. Apa yang menakutkan bagi seseorang mungkin memikat bagi orang lain. Apa yang me-narik perhatian bagi seseorang mungkin menjijikkan bagi orang lain. Para ahli teori belajar-sosial berbeda dengan para behavioris tradisional karena mereka tidak melihat individu sebagai yang dikontrol oleh peristiwa-peristiwa atau stimulus-stimulus eksternal, melainkan individu itu sendiri mengilhami peris-tiwa-peristiwa atau stimulus-stimulus itu dengan makna dan nilai serta makna dan nilai yang diberikan kepada peristiwa-peristiwa, atau stimulus-stimulus itu mempengaruhi tingkah laku individu. Bila nilai ujian tidak bermakna atau tidak bemilai bagi Anda, maka suasana hati Anda tidak mungkin terpengaruh bila Anda tidak lulus dalam ujian. Apabila nilai ujian sangat penting bagi Anda, maka Anda mungkin akan belajar lebih keras dan respons-respons emosional Anda mungkin sekali menggambarkan hasil-hasil yang diperoleh.

Sistem-sistem pengaturan diri dan rencana-rencana.

Para ahli belajar-sosial mengemukakan bahwa orang-orang mengatur tingkah laku mereka sen-diri meskipun orang-orang yang mengamati dan paksaan-paksaan dari luar tidak ada. Orang-orang menetapkan tujuan-tujuan dan patokan-patokan mereka sendiri, merencanakan untuk memperolehnya, dan memuji serta mencerca din mereka sendiri berdasarkan kemajuan yang dicapai. Sesungguhnya para ahli teori belajar-sosial melihat hadiah terhadap din sendiri (saya melakukan dengan baik!) dan hukuman terhadap din sendiri (saya sangat bodoh! Saya tidak pernah melakukan ini dengan baik!) adalah sama manjur atau lebih manjur daripada hadiah dan hukuman dan luar.
Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget