Sunday, 25 October 2015

Sepanjang sejarah budaya Barat, konsep perilaku abnormal telah dibentuk, dalam beberapa hal, oleh pandangan dunia (worldview) yang berlaku saat itu. Sepanjang sejarah, keyakinan akan kekuatan supranatural, setan, dan roh jahat telah sangat mendominasi. Perilaku abnormal sering kali dianggap sebagai tanda kerasukan (possession). Pada masa yang lebih modern, pandangan dunia yang dominan—walaupun tidak berarti universal—telah berganti pada keyakinan akan ilmu dan nalar (reason). Dalam budaya kita, perilaku abnormal telah dipandang sebagai produk dari faktor fisik dan psikososial, bukan akibat dari kerasukan setan. 


Model Demonologi
 Mari kita memulai perjalanan dengan sebuah contoh dari zaman prasejarah. Para arkeolog telah menemukan kerangka manusia dari Zaman Batu dengan lubang sebesar telur pada tengkoraknya. Satu nenek moyang kita di zaman prasejarah percaya bahwa perilaku abnormal merefleksikan serbuan/invasi dari roh-roh jahat. Mungkin mereka menggunakan cara kasar yang disebut trephination—menciptakan sebuah jalur melalui tengkorak sebagai jalan keluar bagi roh marah tersebut. Pertumbuhan tulang yang baru mengindikasikan bahwa sejumlah orang mampu bertahan hidup dari siksaan tersebut.
Ancaman trephining ini kemungkinan memaksa orang-orang untuk sedapat mungkin patuh pada norma kelompok atau norma kesukuan. Oleh karena tidak ada catatan tertulis yang tersimpan rentang tujuan dari trephination, maka mungkin saja ada penjelasan-penjelasan lain. Kemungkinan lain trephination adalah suatu bentuk pembedahan primitif untuk memindahkan kepingan tulang yang hancur ataupun gumpalan darah yang diakibatkan oleh cedera di kepala (Maher & Maher, 1985).
Mengaitkan perilaku abnormal dengan penyebab supranatural atau hal-hal gaib disebut sebagai model demonologi (demonological model). Orang zaman dulu mengaitkan bencana alam dengan keingin-an Tuhan dan arwah. Orang Babylonia purba percaya bahwa pergerak-an bintang dan planet ditentukan oleh perjalanan dan konflik dari para dewa. Orang Yunani Kuno percaya bahwa dewa-dewa mereka memperlakukan manusia sebagai mainan. Ketika para dewa marah, mereka dapat menciptakan bencana alam untuk mendatangkan mala-petaka pada orang-orang yang kurang ajar atau yang angkuh, bahkan menyelimuti pikiran mereka dengan ketidakwarasan. Pada zaman Yunani Kuno, orang yang berperilaku secara abnor-mal sering dikirim ke kuil untuk dipersembahkan pada Aesculapius, yaitu Dewa Penyembuhan. Para pendeta percaya bahwa Aesculapius akan mengunjungi orang-orang yang menderita ketika mereka tertidur di dalam kuil dan memberikan saran penyembuhan melalui mimpi. Istirahat, diet nutrisi, dan olahraga juga dipercaya dapat membantu penanganan. Ketidaksembuhan juga ditentukan oleh kuil dengan membuat orang tersebut tidak sensitif.

Asal Mula Model Medis: Dalam "Cairan Tubuh yang Memicu Penyakit"
Tidak semua orang Yunani kuno meyakini model demonologi. Asal mrtacal dari penjelasan naturalistik atas perilaku abnormal diperkenalkan oleh Hippocrates dan dikembangkan oleh dokter lainnya di dunia kuno, terutama Galen.
Hippocrates (tahun 460-377 Sebelum Masehi), dokter terkenal pada Zaman Keemasan Yunani, menantang keyakinan yang telah ada pada masanya dengan menyatakan bahwa penyakit pada tubuh dan jiwa merupakan basil dari penyebab yang alami, bukan karena penguasaan oleh kekuatan supranatural. Ia meyakini bahwa kesehatan tubuh dan jiwa tergantung pada keseimbangan cairan tubuh (humors), atau cairan vital, di dalam tubuh: lendir, cairan empedu hitam, darah, dan cairan empedu kuning. Ketidakseimbangan cairan tubuh, menurutnya, menyebabkan munculnya perilaku abnormal. Orang yang tidak bertenaga atau lambat diyakini memiliki kelebihan lendir (phlegm), yang kemudian menjadi asal kata plegmatis (phlegmatic). Berlebihnya cairan empedu hitam diyakini menyebabkan depresi, atau melankolia (melancholia). Terlalu banyak darah menimbulkan disposisi sanguinis (sanguine): ceria, percaya diri, dan optimistis. Kelebihan cairan empedu kuning membuat orang-orang menjadi "muram", dan koleris (choleric), yaitu cepat marah.
Meskipun kita tidak lagi menganut teori Hippocrates tentang cairan ketubuhan, teorinya memiliki riwayat historis yang penting karena penyimpangannya dari demonologi. Teori ini juga mengawali perkembangan model medis yang modern, pandangan bahwa perilaku abnormal merupakan hasil dari proses biologis yang mendasarinya. Hippocrates membuat banyak kontribusi terhadap pemikiran modern, dan tentu saja, terhadap praktik medis modern. Hippocrates bahkan telah mulai menggolongkan pola-pola perilaku abnormal, menggunakan tiga kategori utama yang memiliki sejumlah kesamaan saat ini: melankolia untuk menandai depresi yang berlebihan, maniak untuk mengacu pada kegembiraan yang berlebihan, dan frenitis (dari bahasa Yunani yang berarti "peradangan pada otak") untuk menandai bentuk perilaku yang aneh yang mungkin pada masa kini menggambarkan skizofrenia. Sekolah-sekolah kedokteran meneruskan tradisi pemberian penghargaan terhadap Hippocrates dengan meminta dokter-dokter barn melakukan sumpah Hippocrates untuk menghormatinya.
Galen (tahun 130-200 Sesudah Masehi), seorang dokter Yunani yang merupakan murid dari filsuf Kaisar Roma Marcus Aurelius, mengadopsi dan memperluas ajaran Hippocrates. Salah satu kontribusi Galen adalah penemuan bahwa arteri membawa darah, bukan udara, sebagaimana yang sebelumnya diyakini.

Zaman Pertengahan
Abad pertengahan, atau zaman pertengahan, mencakup milenium dari sejarah Eropa sejak sekitar tahun 476 hingga tahun 1450 Sesudah Masehi. Setelah kepergian Galen, keyakinan terhadap penyebab supranatural, terutama doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat, meningkat pengaruhnya dan pada akhirnya mendominasi pemikiran di zaman pertengahan. Doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat meyakini bahwa perilaku abnormal merupakan suatu tanda kerasukan oleh roh jahat atau iblis. Keyakinan ini dibubuhkan ke dalam ajaran Gereja Katolik Roma, yang menjadi kekuatan pemersatu di Eropa Barat setelah runtuhnya Kekaisaran Roma. Meskipun keyakinan terhadap penguasaan oleh roh jahat telah ada sebelum masa kejayaan Gereja dan ditemukan pada tulisan-tulisan bangsa Mesir dan Yunani, Gereja menghidupkannya kembali. Sebagai pilihan untuk penanganan perilaku abnormal adalah peng-usiran roh jahat (exorcism). Para pengusir roh jahat dipekerjakan untuk meyakinkan roh jahat bahwa tubuh korban yang mereka tuju pada dasarnya tidak dapat dihuni. Metode-metodenya meliputi berdoa, mengayun-ayunkan tanda salib di hadapan korban, me-mukul dan mencambuk, bahkan membuat korban menjadi lapar. Apabila korban masih menunjukkan perilaku yang tidak sepantas-nya, terdapat pengobatan yang bahkan lebih kuat, seperti penyiksaan, dengan peralatan untuk menyiksa. Tampak jelas bahwa penerima "pengobatan" tersebut akan termotivasi untuk menyesuaikan perilaku mereka sebaik mungkin sesuai dengan harapan sosial. Zaman Renaisans (Renaissance)—kebangkitan kembali Eropa raya dalam hal pembelajaran, seni, dan sastra—bermula di Italia pada tahun 1400-an dan menyebar secara berangsur-angsur ke seluruh Eropa.
Zaman Renaisans dianggap sebagai peralihan dari dunia pertengahan menuju ke dunia modern. Oleh karena itu, ironis bahwa ketakutan akan penyihir juga mengalami peningkatan pada zaman Renaisans.

Ilmu Sihir
Terutama di akhir abad ke-15 hingga akhir abad ke-17 merupakan masa yang paling berbahaya untuk menjadi orang yang tidak dikenal oleh tetangga-tetangga Anda. Saat itu merupakan masa penganiayaan besar-besaran terhadap orang-orang, terutama perempuan, yang dituduh memiliki ilmu sihir. Perwakilan-perwakilan dari Gereja Katolik Roma meyakini bahwa penyihir membuat perjanjian dengan iblis, mempraktikkan ritual setan, dan melakulcan'tindalcan-tindakan mengerikan, seperti memakan bayi-bayi dan meracuni hasil panen. Pada tahun 1484, Paus Innocent VIII mengumumkan hukuman mati bagi para penyihir. Dua pendeta Dominika menyusun panduan untuk memburu penyihir, yang disebut sebagai ..Vfalleus Maleficarum (Palu Milik Penyihir/ The Witches' Hammer), untuk membantu para penyelidik mengenali penyihir-penyihir yang dicurigai. Lebih dari 100.000 orang yang dituduh sebagai penyihir dibunuh selama dua abad berikutnya. Terdapat pula tes-tes "diagnostik" yang kreatif untuk mendeteksi penguasaan oleh roh jahat dan ilmu sihir. Dalam kasus tes terapung di air, orang yang tidak bersalah ditenggelamkan di zaman pertengahan sebagai cara untuk meyakinkan bahwa mereka tidak dirasuki oleh iblis. Tes terapung di air didasarkan pada prinsip bahwa logam murni tetap berada di dasar selama peleburan, sedangkan yang tiruan muncul ke permukaan. 
Tertuduh yang terbenam dan tenggelam dianggap tidak bersalah. Tertuduh yang dapat mempertahankan kepala mereka di atas per-mukaan air dianggap bersekutu dengan iblis. Oleh karenanya mereka benar-benar berada dalam kesulitan. Percobaan ini merupakan sumber dari frase yang berbunyi, `Terkutulclah jika engkau melakukan dan terkutuklah jika tidak (Damned if you do and damned if you don't)." Akademisi modern pernah meyakini bahwa orang-orang yang disebut sebagai penyihir pada Abad ?enengahan dan Zaman Renaisans sebenarnya merupakan orang-orang yang mengalami gangguan secara mental. Mereka diyakini disiksa karena perilaku abnormal mereka dianggap sebagai bukti bahwa mereka bersekutu dengan iblis. Adalah benar bahwa banyak dari penyihir yang dicurigai mengaku telah melakukan perilaku yang tidak mungkin, seperti terbang atau melakukan hubungan seksual dengan iblis. Di satu sisi, pengakuan semacam ini mungkin mengacu pada gangguan dalam pikiran dan persepsi yang konsisten dengan diagnosis modern tentang gangguan psikologis, seperti skizofrenia. Namun, kebanyakan dari pengakuan-pengakuan tersebut dapat diabaikan, karena pengakuan itu digali di bawah siksaan para penyelidik yang diperintahkan untuk menemukan bukti yang mendukung tuduhan terhadap para penyihir (Spanos, 1978).
Pada kasus-kasus yang lain, ancaman penyiksaan dan bentuk-bentuk intimidasi lainnya berhasil dalam upaya menggali pengakuan-pengakuan palsu. Meskipun beberapa dari mereka yang disiksa sebagai penyihir mungkin memang menunjukkan pola-pola perilaku abnormal, namun kebanyakan tidak (Schoenman, 1984). Lebih dari itu, tuduhan tentang ilmu sihir tampaknya merupakan cara yang tepat pada saat itu untuk menyelesaikan masalah-masalah social dan mengalahkan musuh-musuh politik, untuk merampas kepemilikan, dan untuk menghilangkan penyimpangan terhadap doktrin yang berlaku (Spanos, 1978). Di perkampungan-perkampungan Inggris, banyak tertuduh adalah perempuan tua yang tidak menikah dan miskin, yang terpaksa meminta-minta makanan pada tetangga mereka. Apabila terjadi kemalangan pada orang yang menolak membantu mereka, orang yang meminta-minta dapat dituduh sebagai penyebab penderitaan dengan cara menyebar-kan kutukan pada keluarga yang tidak berderma. Apabila perempuan tersebut tidak dikenal oleh khalayak umum, maka tuduhan tentang ilmu sihir lebih mungkin ditindaklanjuti. Meskipun setan diyakini memainkan peranan balk dalam perilaku abnormal maupun ilmu sihir, terdapat perbedaan antara keduanya. Korban dari kerasukan oleh roh jahat kemungkinan dipersepsikan dirundung hal itu sebagai balasan atas pelanggaran yang telah dilaku-kan, tapi beberapa orang yang menunjukkan perilaku abnormal di-anggap merupakan korban yang tidak berdosa dari penguasaan setan tersebut. Namun, penyihir diyakini secara sukarela memasuki perse-kutuan dengan iblis dan meninggalkan Tuhan. Penyihir biasanya dipandang lebih layak untuk mengalami penyiksaan dan eksekusi hukuman mati (Spanos, 1978). Tren sejarah tidak mengikuti garis lurus. Meskipun model demo-nologi mendominasi selama Abad Pertengahan dan pada sebagian besar zaman Renaisans, model ini tidak secara universal menggantikan ke-yakinan akan penyebab alamiah (Schoenman, 1984).
Pada abad per-tengahan di Inggris, misalnya, kerasukan setan jarang dikemukakan sebagai penyebab perilaku abnormal dalam kasus di mana seseorang dinyatakan sebagai tidak waras oleh penguasa hukum (Neugebauer, 1979). Kebanyakan penjelasan untuk perilaku yang tidak biasa mengacu pada penyebab alamiah, seperti sakit fisik atau trauma pada otak. Di Inggris, pada kenyataannya, sejumlah orang yang terganggu ditempat-kan di rumah sakit hingga mereka kembali waras (Allderidge, 1979). Dokter Belgia pada zaman Renaisans Johann Weyer (1515-1588) juga mengadopsi akar penyebab perilaku abnormal dari Hippocrates dan Galen dengan mengemukakan bahwa perilaku dan pola-pola pikir abnormal disebabkan oleh masalah-masalah fisik.

Rumah Sakit Jiwa
 Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, rumah sakit jiwa, atau penampungan untuk orang gila, mulai menjamur di seluruh Eropa. Banyak yang sebelumnya merupakan leprosarium (tempat perawatan untuk penderita lepra), yang tidak lagi dibutuhkan karena berkurangnya penyakit lepra pada akhir Abad Pertengahan. Rumah sakit jiwa sering kali memberikan perlindungan bagi para pengemis sebagaimana orang yang mengalami gangguan, dan kondisi di tempat itu biasanya mengerikan. Para penghuninya sering kali dirantai di tempat tidur mereka dan dibiarkan terbaring di tengah kotoran mereka atau berkeluyuran tanpa ada yang membantu. Sejumlah rumah sakit jiwa menjadi tontonan umum. Pada salah satu rumah sakit jiwa di London, Rumah Sakit St. Mary's of Betlehem—dari mans kata bedlam (kata yang umum digunakan pada saat itu untuk menyebut rumah sakit jiwa) diperoleh—masyarakat umum dapat membeli tiket untuk mengamati kelakuan aneh dari para pengluininya, sebagaimana yang akan kita lihat pada sebuah pertunjukan di sirkus atau pada binatang-binatang di sebuah kebun binatang.

Gerakan Reformasi dan Terapi Moral
Era modern dari penanganan abnormalitas dapat ditelusuri pada usaha-usaha individu seperti orang-orang Prancis Jean-Baptiste Pussin dan Philippe Pinel pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Mereka menyatakan bahwa orang-orang yang berperilaku abnormal menderita suatu penyakit dan seharusnya ditangani secara manusiawi. Pandangan ini sama sekali tidak populer pada masa itu. Orang-orang yang gila biasanya dianggap sebagai ancaman terhadap masyarakat, bukan sebagai oranz sakit yang membutuhkan penanganan. Dari tahun 1784 hingga 1802, Pussin, seorang awam, ditempatkan sebagai penguasa suatu bangsal untuk orang-orang yang dianggap "gila tidak tersembuhkan" pada La Bicetre, sebuah rumah sakit mental besar di Paris. Meskipun Pinel sering kali dipuji karena telah membebaskan penghuni La Bicetre dari rantai mereka, sesungguhnya Pussin-lah yang merupakan pejabat pertama yang membebaskan sekelompok orang yang "gila talc tersembuhkan" dari rantai mereka. Orang-orang yang tidak beruntung tersebut telah dianggap terlalu berbahaya dan tidak dapat diramalkan tindak-tanduknya jika dibiarkan tidak dirantai. Namun Pussin meyakini apabila mereka dirawat dengan kebaikan hati, maka mereka tidak perlu lagi untuk dirantai. Sebagaimana yang ia perkirakan, kebanyakan dari mereka yang dikurung menjadi lebih mudah ditangani dan tenang ketika rantai mereka dilepaskan. Mereka dapat berjalan halaman rumah sakit dan menghirup udara segar. Pussin juga melarang para staf untuk memperlakukan para penghuni secara kasar, dan ia memecat para pegawai yang tidak menghargai petunjuknya. Pinel (1745-1826) menjadi direktur medis untuk bangsal orang-orang gila yang tak tersembuhkan di La Bicetre pada tahun 1793 dan ia melanjutkan penanganan manusiawi yang telah dimulai oleh Pussin. Ia menghentikan praktik-praktik yang kasar, seperti melukai dan menyucikan penderita, dan memindahkan pasien dari kamar bawah tanah yang gelap ke kamar yang memiliki ventilasi yang baik dan terkena sinar matahari. Pinel juga menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara dengan para penghuni, dengan keyakinan bahwa menunjukkan pengertian dan kepedulian akan membantu penyembuhan mereka untuk kembali berfungsi secara normal. Filosofi penanganan yang muncul dari usaha-usaha ini disebut terapi moral (moral therapy). Terapi ini didasarkan pada keyakinan bahwa memberikan penanganan yang manusiawi dalam lingkungan yang santai dan layak dapat mengembalikan fungsi yang normal. Reformasi serupa dilaksanakan di Inggris pada sekitar masa itu oleh William Tuke dan kemudian di Amerika Serikat oleh Dorothea Dix.
Tokoh lain yang berpengaruh adalah seorang dokter Amerika Benjamin Rush (1745-1813)—juga salah seorang penandatangan Deklarasi Kemerdekaan dan seorang pemimpin pada masa awal gerakan antiperbudakan (Farr, 1994). Rush, dianggap sebagai bapak psikiater Amerika, mengarang buku teks Amerika pertama di bidang psikiatri pada tahun 1812: Medical Inquiries and Observations Upon the Diseases of the Mind. Ia meyakini bahwa kegilaan disebabkan oleh pembesaran pembuluh darah di otak. Untuk mengurangi tekanan, ia merekomendasikan pengeluaran sejumlah darah dan penanganan-penanganan kasar lain seperti menyucikan penderita dan memandikan mereka dengan es yang dingin. Namun ia memang mempelopori penanganan manusiawi dengan cam mendorong stafnya di Rumah Sakit Philadelphia untuk menangani pasien dengan kebaikan hati, rasa menghargai, dan penuh pengertian. Ia juga menyukai manfaat terapeutik dari terapi okupasional, musik, dan perjalanan (Farr, 1994). Rumah sakitnya menjadi yang pertama di Amerika Serikat yang menerima pasien untuk gangguan psikologis.
Dorothea Dix (1802-1887), seorang guru sekolah di Boston, melakukan perjalanan mengelilingi AS untuk menentang kondisi yang menyedihkan di dalam penjara dan rumah penampungan orang miskin di mana orang-orang gila sering kali ditempatkan. Sebagai dampak langsung dari usahanya, 32 rumah sakit mental didirikan di seluruh Amerika Serikat.

Suatu Langkah Mundur
Namun, pada paruh teralchir abad ke-19, keyakinan bahwa perilaku abnormal dapat berhasil ditangani atau disembuhkan dengan terapi moral menjadi kurang disukai (USDHHS, 1999a). Suatu periode apatisme berkembang di mana pola-pola perilaku abnormal dianggap tidak tersembuhkan (Grob, 1994). Institusi mental di Amerika Serikat berkembang jumlahnya dan kemudian beralih tidak lebih sebagai tempat penitipan. Kondisi memburuk. Rumah sakit mental menjadi tempat yang menakut-kan. Adalah hal yang biasa untuk menemukan penghuni "berkubang dalam kotoran mereka sendiri," dalam kata-kata pejabat Negara Bagian New York pada saat itu (Grob, 1983). Jaket pengikat, borgol, tempat kurungan, tali pengikat, dan peralatan-peralatan lain digunakan untuk membatasi pasien yang terlalu gembira atau pasien yang berbahaya. Kondisi rumah sakit yang menyedihkan tetap menjadi hal yang umum hingga pertengahan abad ke-20. Pada pertengahan tahun 1950-an, populasi di rumah sakit mental telah meningkat hingga setengah juta pasien. Meskipun sejumlah rumah sakit negara yang bagus menyediakan perawatan yang layak dan manusiawi, banyak yang digambarkan tidak lebih sebagai sarang ular (snakepits) bagi manusia. Para penghuni dijejalkan di dalam bangsal yang bahkan tidak memiliki sanitasi yang mendasar. Pasien mental yang berada di bangsal belakang sebenarnya digudangkan. Yaitu, mereka dibiarkan menjalani kehidupan mereka masing-masing dengan sedikit harapan atau keinginan untuk sembuh atau kembali ke komunitas. Banyak pasien yang menerima sedikit perawatan profesional dan diperlakukan semena-mena oleh staf-staf yang kurang terlatih dan kurang mendapat pengawasan. Pada pertengahan abad ke-20, kondisi menyedihkan yang terpaksa dipikul oleh banyak pasien mental menyebabkan meningkat-nya seruan untuk mereformasi sistem kesehatan mental.

Gerakan Kesehatan Mental Komunitas: Eksodus dari Rumah Sakit Negara
Sebagai respons terhadap meningkatnya permintaan untuk mereformasi sistem kesehatan mental, Dewan Kongres pada tahun 1963 mendirikan sistem pusat kesehatan mental yang berskala nasional (community mental health centers/CMHCs) yang dimaksudkan untuk menawarkan alternatif lain dan pemeliharaan jangka panjang di institusi yang kondisinya menyedihkan. CMHCs diperintahkan untuk memberikan dukungan dan perawatan yang berkelanjutan kepada mantan penghuni yang dilepaskan dari rumah sakit mental negara di bawah kebijakan deinstitusionalisasi (deinstitutionalization). Faktor lain yang memicu eksodus dari rumah sakit mental adalah penemuan satu kelas obat yang baru—phenothiazines. Phenothiazines, suatu kelompok obat antipsikotik yang membantu menekan pola-pola perilaku paling menyolok yang terkait dengan skizofrenia, diperkenalkan pada tahun 1950-an. Kelompok obat ini mengurangi kebutuhan akan perawatan inap rumah sakit dalam waktu yang tak terbatas dan memungkinkan banyak orang yang menderita skizofrenia untuk hidup lebih bebas di dalam komunitas, seperti di rumah-rumah singgah (halfway house), rumah-rumah penampungan, maupun kehidupan mandiri. Populasi rumah sakit mental di seluruh Amerika Serikat menurun dari 550.000 orang lebih pada tahun 1950 menjadi kurang dari 130.000 orang pada akhir tahun 1980-an (D. Braddock, 1992; Kiesler & Sibulkin, 1987). Sejumlah rumah sakit mental sepenuhnya ditutup (Salokangas & Saarinen, 1998). Gerakan kesehatan mental komunitas didasarkan pada keyakinan—mungkin harapan—bahwa pasien mental dapat kembali ke komunitas mereka dan menjalani kehidupan yang lebih mandiri dan memuaskan. Namun hal ini juga menuai kritik bahwa eksodus dari rumah sakit negara telah menelan-tarkan puluhan ribu orang yang belum sepenuhnya kembali normal ke komunitas yang tidak memiliki perumahan layak serta bentuk-bentuk dukungan lainnya. Banyak pramuwisma yang kita lihat berkeliling di jalan-jalan kota dan tidur di terminal bis dan stasiun kereta api yang merupakan pasien mental yang dilepaskan. Pada Bab 4, kita akan melihat lebih dekat mengenai kebijakan deinstitusionalisasi dan masalah-masalah yang dihadapi oleh populasi psikiatris yang tidak memiliki tempat tinggal.

Perspektif Kontemporer tentang Perilaku Abnormal: Dari Demonologi hingga Ilmu Pengetahuan

 Keyakinan-keyakinan dalam hal kerasukan roh jahat atau demonologi tetap bertahan hingga bangkit-nya ilmu pengetahuan alam pada akhir abad ke-17 dan 18. Masyarakat secara luas mulai berpaling pada nalar dan ilmu pengetahuan sebagai cara untuk menjelaskan fenomena alam dan perilaku manusia. Ilmu-ilmu yang bermunculan dalam bidang biologi, kimia, fisika, dan astronomi menjanjikan bahwa pengetahuan dapat diperoleh dari metode-metode ilmiah yang berupa observasi dan eksperimentasi. Abad ke-18 dan 19 menjadi saksi perkembangan yang cepat dalam bidang ilmu kedokteran. Penemuan-penemuan ilmiah mengungkapkan penyebab mikrobiologis dari beberapa jenis penyakit dan menghasil-kan langkah-langkah preventif. Model-model perilaku abnormal juga mulai bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif biologis, psikologis, sosiokultural, dan biopsikososial. 

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget