Teori
Atribusi dari Heider
Kajian tentang atribusi pada awalnya
dilakukan oleh Heider (1925). Dalam tradisi fenomenologi, pertanyaan yang
diajukan adalah bagaimana kita melakukan kontak dengan dunia nyata jika pikiran
kita hanya memiliki data indrawi (kesan dan pengalaman). Psikologi gestalt
mencoba untuk mengenali prinsip-prinsip yang mengatur bagaimana pikiran membuat
penyimpulan tentang dunia dari data indrawi (membuat data indrawi jadi bermakna).
Heider bertanya, bagaimana kita "mengatribusi data indrawi kepada
objek-objek tertentu di dunia." Atribusi merupakan tindakan penafsiran;
apa yang "terberi" (kesan dari data indrawi) dihubungkan kembali
kepada sumber asalnya. Contoh, ketika saya mendapat kesan warna merah dari
sebuah benda, maka saya menyimpulkan bahwa benda itu berwarna merah. Artinya,
saya mengatribusi kesan warna merah itu pada benda yang memberi saya kesan
warna merah. Contoh lain dari atribusi, ketika saya bertemu dengan seseorang yang
menampilkan ekspresi wajah tidak ramah dan posisi tubuh yang terkesan berjarak
dari orang lain, maka saya menyimpulkan bahwa orang itu tidak ramah. Dari sini,
kita dapat mengatakan bahwa atribusi merupakan analisis kausal, yaitu
penafsiran terhadap sebab-sebab dari mengapa sebuah fenomen menampilkan
gejala-gejala tertentu.
Heider, yang dikenal sebagai bapak dari
teori atribusi, percaya bahwa orang seperti ilmuwan amatir, berusaha untuk
mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan
informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang
sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu.
Dalam buku The Psychology of
Interpersonal Relations, Heider (1958) menggambarkan apa yang disebutnya
"naive theory of action", yaitu kerangka-kerja konseptual yang
digunakan orang untuk menafsirkan, menjelaskan, dan meramalkan tingkah laku
orang lain. Dalam kerangka kerja ini, konsep intensional (seperti keyakinan,
hasrat, niat, keinginan untuk mencoba, dan tujuan) memainkan peranan penting.
Akan tetapi, Heider juga mengadopsi teori Lewin yang membuat perbedaan antara
penyebab pribadi dan situasi, serta menyatakan bahwa orang menggunakan
perbedaan ini dalam menjelaskan tingkah laku. Di satu sisi, pertentangan
mengenai konsep intensional dan perbedaan pribadi situasi di sisi lain, belum
terselesaikan hingga saat ini. Heider tidak memperjelas hubungan keduanya dan
is lebih fokus kepada perbedaan pribadi situasi pada studi selanjutnya.
Menurut Heider, ada dua sumber atribusi
terhadap tingkah laku:
(1) atribusi internal atau
disposisional;
(2) atribusi eksternal atau lingkungan.
Pada atribusi internal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang
disebabkan oleh sifat-sifat atau disposisi (unsur psikologis yang mendahului
tingkah laku). Pada atribusi eksternal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku
seseorang disebabkan oleh situasi tempat orang itu berada.
Analisis tentang bagaimana orang
menyimpulkan disposisi dari tingkah laku dilakukan oleh Jones dan Davis (1965).
Mereka melihat putusan-putusan dari intensi sebagai syarat dari putusan-putusan
tentang disposisi. Akan tetapi, studi lebih diarahkan kepada faktor
disposisional pada kajian selanjutnya.
Teori
Atribusi dari Kelley
Kelley (1967, 1972) mengajukan model
proses atribusi yang tidak lagi merujuk pada intensi. Menurut Kelley, untuk
menjadikan tingkah laku konsisten, orang membuat atribusi personal ketika
konsensus dan kekhususan (distinctiveness) rendah. Sedangkan pada saat
konsensus dan kekhususan, orang membuat atribusi stimulus. Jadi, atribusi
dipengaruhi oleh faktor-faktor dari interaksi orang dengan situasi yang
dihadapinya, bukan pada faktor intensional. Konsensus didefinisikan sebagai
sejauh mana orang lain bereaksi terhadap beberapa stimulus atau kejadian dengan
cara yang sama dengan orang yang sedang kita nilai. Sedangkan, kekhususan
adalah sejauh mana seseorang merespons dengan cara yang sama terhadap stimulus
atau kejadian yang berbeda. Istilah yang juga penting adalah konsistensi yang
didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang merespons stimulus atau situasi
dengan cara yang sama dalam berbagai peristiwa (misalnya, dalam waktu dan
tempat yang berbeda cara meresponsnya tetap sama). Konsistensi juga merupakan
faktor penting dalam menentukan apakah atribusi yang dihasilkan melibatkan
faktor personal atau stimulus. Sebagai contoh, ketika kita diminta menilai
mengapa seseorang yang tidak kita kenal mencela sebuah film yang diperlihatkan
kepadanya. Jika kita tahu ada orang lain yang tidak menilai jelek film itu
(konsensus rendah) dan kita tahu bahwa di masa lalunya orang tersebut sering
mencela film (keberbedaan rendah), maka kita akan membuat atribusi personal.
Misalnya, dengan mengatakan bahwa orang tersebut punya standar yang tinggi
untuk film atau memang memiliki kencederungan negativistik. Penilaian kita
selalu dikaitkan dengan karakteristik personal orang tersebut, juga karena kita
memersepsikan adanya konsistensi yang tinggi pada respons orang yang kita nilai
terhadap film yang sedang dipertunjukan. Di nisi lain, jika kita tahu bahwa
orang-orang lain juga mencela film itu (konsensus tinggi) dan orang yang sedang
kita nilai jarang mencela film-film lain (keberbedaan tinggi), sedangkan untuk
film yang sedang dipertunjukan itu orang itu selalu mencela, maka kita akan
membuat atribusi stimulus. Misalnya, dengan mengatakan bahwa film yang
diperlihatkan itu memang jelek. Di sini, konsistensi yang tinggi juga berperan
dalam dihasilkannya atribusi stimulus.
Dimensi
Lain dari Atribusi Kausal
Selain ingin mengetahui apakah tingkah
laku orang lain disebabkan oleh faktor internal atau eksternal, kita juga
biasanya ingin mengetahui apakah faktor penyebab yang memengaruhi tingkah laku
itu menetap atau hanya sementara dan apakah faktor-faktor itu dapat
dikendalikan atau tidak (Weiner, 1993, 1995). Dimensi atribusi kausal ini
terlepas dari dimensi inter-eksternal. Ada faktor penyebab internal yang stabil
serta tidak berubah seiring ruang dan waktu, seperti sifat kepribadian dan temperamen
(Miles, & Carey, 1997). Di sisi lain, ada faktor penyebab internal yang
berubah-ubah seperti motif, kesehatan, kelelahan, dan suasana hati. Hal serupa
juga berlaku pada faktor-faktor penyebab eksternal. Norma sosial serta kondisi
geografis merupakan contoh faktorpenyebab eksternal yang menetap, sedangkan
nasib baik dan tuntutan orang lain merupakan contoh penyebab eksternal yang
berubah-ubah. Kita dapat melakukan atribusi dengan menggunakan beragam penyebab
potensial yang berbeda. Contoh berikut ini dapat menunjukkan kepada kita
tentang hal tersebut. Ketika kita bertemu dengan seorang teman yang memuji
penampilan kita, kita merasa senang dan menilai usaha kita memilih baju tadi
pagi tidak sia-sia. Kita juga bisa menilai bahwa teman tersebut memiliki selera
yang relatif sama dengan kita. Akan tetapi, setelah bercakap-cakap beberapa
saat, teman kita mengajukan permohonan bantuan untuk mengerjakan sebuah
pekerjaan yang tidak mudah. Permintaannya itu membuat kita mempertanyakan lagi
mengapa ia memuji penampilan kita. Kita bisa saja berpikir,
"Jangan-jangan, ia memuji karena mau mengambil hati supaya saya mau
membantunya?"Namun, mungkin juga dia memang sungguh-sungguh ingin memuji
penampilan kita, terlepas dari keinginannya meminta bantuan kita. Ada dua hal yang
mungkin menjadi penyebab dari tingkah laku teman kita tersebut. Kita bisa saja
terlibat dengan apa yang oleh psikolog sosial disebut discounting, yaitu kita
menilai penyebab pertama bahwa ia punya selera yang relatif sama dan berbaik
hati memuji kita menjadi kurang penting atau merupakan efek dari penyebab lain,
yaitu meminta bantuan kita. Banyak penelitian tentang gejala ini menunjukkan
bahwa discounting merupakan hal yang cukup umum terjadi dan memberikan pengaruh
yang besar terhadap atribusi kita dalam berbagai situasi (di antaranya Gilbert
& Malone, 1995; Morris & Larick, 1995; Trope & Liberman, 1996).
Kita bayangkan kemungkinan kejadian
lain. Jika teman kita yang memberikan pujian itu adalah orang yang setahu kita
tidak pernah atau jarang sekali memuji penampilan orang lain, maka kita bisa
jadi menilai tingkah laku memujinya itu sebagai tindakan yang tulus. Permintaan
bantuannya mungkin memang sudah sejak awal diniatkan untuk disampaikan kepada
kita, tetapi itu hal tersebut disampaikan belakangan karena ia sungguh-sungguh
tergugah oleh penampilan kita. Psikolog sosial menyebut gejala seperti ini
sebagai augmenting, yaitu kecenderungan untuk menambahkan bobot atau sifat
penting terhadap sebuah faktor yang mungkin memfasilitasi tingkah laku yang ditampilkan
ketika faktor ini dan faktor lainnya yang mungkin menghambat tingkah laku itu
muncul bersamaan. Dengan pertimbangan bahwa tingkah laku itu tetap ditampilkan,
kita menilai bahwa faktor yang memfasilitasi tingkah laku itu jauh lebih besar
pengaruhnya daripada faktor yang menghambatnya.
Dalam keseharian, gejala discounting dan
augmenting banyak kita temukan. Dua gejala ini menggugah para peneliti di
bidang psikologi sosial untuk menguji secara ilmiah keberadaannya. Hasilnya
memperkuat pendapat bahwa gejala discounting dan augmenting berperan dalam
atribusi kausal. Bukti yang menguatkan fenomena atribusi yang melibatkan
discounting dan augmenting ditunjukkan dalam banyak studi (di antaranya
McCluer, 1998).
0 comments:
Post a Comment