Masa remaja juga rentan dengan berbagai permasalahan
yang cukup kompleks dan pelik. Karena di masa inilah seseorang bertumbuh dan
menjalani saat mencari jati diri untuk membentuk karakter kepribadian. Masa ini
juga sering kali disebut sebagai masa transisi seseorang dari masa kanak-kanak
menuju dewasa. Sehingga, sifat kekanak-kanakan sering kali masih melekat dan
pertimbangan kedewasaan pun belum sepenuhnya terbentuk. Masa remaja diawali
oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan
psikologis seorang anak menjadi seorang dewasa. Pada saat ini, terjadi
peningkatan dorongan seks sebagai akibat perubahan hormonal. Selain itu,
karakteristik seks primer dan sekunder menjadi matang sehingga membuat
seseorang mampu untuk bereproduksi (Steinberg, 2002). Dorongan seksual yang
meningkat ini menjadikan seseorang remaja mulai belajar untuk mengetahui dan
mencari informasi terkait seksualitas itu sendiri. Kemudian penyaluran hasrat
yang dimilikinya juga menyertai proses belajar ini.
Di sinilah poin penting
yang harus diperhatikan, bahwa proses ingin tahu seputar seksualitas harus benar-benar
tepat dan benar. Karena sering kali keingintahuan tersalurkan kepada hal-hal
yang merugikan diri sendiri. Contoh dari hal itu adalah akses pornografi
melalui media. Dan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Peduli Remaja Kriya
Mandiri, media online menjadi tempat terbanyak yang dijadikan sarana untuk
mengetahui informasi mengenai seksualitas. Dan jumlah responden yang berjumlah
352 remaja yang masih berstatus pelajar di 10 sekolah tingkat atas di
Surakarta, sebesar 56 Persen menyatakan bahwa media online menjadi sarana untuk
mengetahui informasi tentang seks, kemudian terbanyak kedua adalah teman sebaya
sebesar 15% diikuti orang tua (12 persen), guru (9 persen), serta organisasi
remaja dan lainnya masing-masing sebesar 4 persen.
Dari jumlah responden yang
mengakses materi pornografi sebanyak 63 persen pernah mengakses materi
pornografi baik berupa film, gambar maupun cerita porno. Meskipun penelitian
ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh populasi remaja berusia sekolah
yang ada di kota Surakarta, akan tetapi cukup memberikan gambaran bahwa akses
pornografi di kalangan remaja khususnya pelajar tingkat atas di kota Surakarta
dapat dikatakan cukup mengkhawatirkan terhadap perkembangan seksualitas dan
psikologisnya.
Apabila dianalisis lebih jauh, akses pornografi yang kian marak
merupakan dampak pendidikan seks yang salah dan kurang tepat dilakukan oleh
pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab akan hal itu, seperti orang tua,
guru serta pihak-pihak terkait lainnya. Kegagalan pendidikan seks ini umumnya
adalah karena adanya anggapan seks merupakan sesuatu yang tabu untuk
diperbincangkan. Oleh karenanya, seorang remaja terkadang malu atau enggan
untuk berkonsultasi dengan orang-orang dewasa yang lebih paham dengan masalah
seksualitas. Sehingga mereka lebih nyaman menggunakan media online untuk
mengakses informasi terkait dengan seksualitas. Masalah muncul karena
keingintahuan seputar seksual ini tidak hanya berhenti pada informasi penting
saja, akan tetapi lebih menjurus kepada hal-hal yang seharusnya tidak boleh
dikonsumsi (yakni, materi pornografi) yang mempunyai efek destruktif yang
mempengaruhi perilaku seksualnya. Dalam penelitian Komunitas Jogja (2007),
ditemukan bahwa 900 film porno buatan lokal dengan pemeran usia remaja
Indonesia beredar di internet. Inilah bentuk shock culture yang terjadi dalam
masyarakat kita. Dikatakan demikian karena budaya timur Indonesia yang sopan
dan anggun mulai tergerus, dengan mengalami pergeseran nilai menjadi budaya
yang tidak lagi mengindahkan moralitas dan nilai-nilai agama. Jadi, budaya
permisivisme telah meracuni kehidupan remaja mulai cara berpakaian yang kurang
sopan, yang cenderung menampakkan aurat tubuh lantaran dianggap seksi, berkata
jorok, seks bebas hingga perilaku seks menyimpang semakin marak terjadi.
Faktor
kemajuan teknologi media informasi yang tidak diimbangi dengan penanaman nilai
moral agama dan budi pekerti menyebabkan tumburl suburnya akses materi
pornografi oleh berbagai kalangan termasuk remaja masa kini. Oleh karenanya,
perlu upaya preventif untuk mencegah terjadinya dampak negatif yang lebih besar
maupun upaya kuratif (mengobati), dengan melihat fakta bahwa jumlah remaja yang
menjadi korban pornografi terbilang tidak sedikit. Institusi keluarga sebagai
bagian inti sarana sosialisasi nilai terhadap anak serta sekolah sebagai
institusi kedua setelah keluarga, seharusnya mampu menjalankan perannya untuk
menanamkan budi pekerti maupun agama di dalam pembentukan moral remaja. Namun,
fakta menunjukkan bahwa "seakan" kedua institusi itu mengalami
kegagalan dalam proses sosialisasi nilai terhadap remaja. Di mana dalam poin
pertanyaan kepada institusi apakah yang diharapkan remaja mampu berperan dalam
pendidikan kesehatan reproduksi remaja, sebesar 52 persen menjawab lembaga
sosiaVagama, 30% menjawab keluarga, 13 persen sekolah, dan 5 persen sisanya
institusi lain.
Harapannya, peran lembaga sosial/agama menjadi alternatif
solusi yang dapat dilihat sebagai pihak ketiga yang mampu mendukung dua
institusi utama (keluarga dan sekolah) dalam penanaman nilai moral kepada
remaja. Salah satu model pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang
patut dicoba untuk dilakukan, misalnya, melalui oembinaan kelompok sebaya (peer
group). Karena tidak dapat dipungkiri bahwa usia remaja mempunyai
<ecenderungan kuat untuk berkumpul dan bergaul dengan :eman sebaya.
Sebagaimana temuan di atas, teman sebaya merupakan tempat kedua untuk bertanya
dan bercerita derihal masalah seksual setelah media online. Model pendidikan
terkait reproduksi melalui peer group bisa dilakukan dengan fasilitator dari
lembaga sosial/agama maupun dari kalangan remaja sendiri yang dididik dan
diproyeksikan sebagai fasilitator bagi teman sebayanya.
0 comments:
Post a Comment