Ikhwal Belajar dan
Kaitannya dengan Proses Pendidikan
2.4.1.Landasan Teori
2.4.1.1. Pengertian
Belajar adalah suatu
proses adaptasiatau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif
(Skinner (1985) dalam bukunya Educational
Psychology : The Teaching-Learning Process ). Sedangkan menurut Syah
(1995), belajar merupakan tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang
relative menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan proses kognitif.[1]
2.4.1.2.Arti Penting Belajar
Belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling
vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak
pernah ada pendidikan. Karena demikian pentingnya arti belajar, maka bagian
terbesar upaya riset dan eksperimen psikologi pendidikan pun diarahkan pada
tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai proses perubahan
manusia itu.
Belajar juga memainkan
peran penting dalam mempertahankan kehidupan kelompok umat manusia (bangsa) di
tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya
yang lebih dahulu maju karena belajar.
Oleh karena itu, untuk
mencapai hasil belajar yang ideal seperti di atas, kemampuan para pendidik
teristimewa guru dalam membimbing belajar murid-muridnya amat dituntut. Jika
guru dalam keadaan siap dan memiliki profesi (berkemampuan tinggi) dalam
menunaikan kewajiban harapan tercapainya sumber daya manusia yang berkualitas
sudah tentu akan tercapai.
2.4.1.3.Belajar, memori, dan pengetahuan dalam perspektif
Psikologi
A.Perspektif Psikologi
Pada umumnya para ahli
psikologi pendidikan khususnya mereka yang tergolong cognitivist (ahli sains
kognitif) sepakat bahwa hubungan antara belajar, memori, dan pengetahuan itu
sangat erat dan tidak mungkin dapat dipisahkan. Memori yang biasanya kita
artikan sebagai ingatan itu sesungguhnya adalah fungsi mental yang menangkap
informasi dari stimulus, dan ia merupakan storage
system ,yakni system penyimpanan informasi dan pengetahuan yang terdapat di
dalam otak manusia[2].
Menurut Bruno (1987),
memori ialah proses mental yang meliputi pengkodean, penyimpanan, dan
pemanggilan kembali informasi dan pengetahuan.
Ditinjau dari sifat dan
cara penerapannya, ilmu pengetahuan terdiri atas dua macam, yakni :declarative knowledge dan procedural knowledge (Best, 1989;
Anderson, 1990). Declarative knowledge lazim juga disebut propositional knowledge (Evan, 1991).
Pengetahuan declarative
atau pengetahuan proposisional ialah pengetahuan mengenai informasi factual
yang pada umumnya bersifat statis-normatif dan dapat dijelaskan secara
lisan/verbal.Sebaliknya pengetahuan procedural adalah pengetahuan yang
mendasari kecakapan atau keterampilan perbuatan jasmaniah yang cenderung
bersifat dinamis. Pengetahuan procedural lazim disebut pengetahuan bagaimana
cara melakukan sesuatu perbuatan, pekerjaan, dan tugas tertentu.
Selanjutnya, ditinjau
dari sudut jenis informasi dan pengetahuan yang disimpan , memori manusia itu
terdiri atas dua macam, yakni :
1.
semantic memory (memori semantic), yaitu
memori khusus yang menyimpan arti-arti atau pengertian-pengertian,
2.
episodic memory (memori episodic), yaitu
memori khusus yang menyimpan informasi tentang peristiwa-peristiwa[3].
2.4.1.4.Teori-teori pokok
belajar
Diantara sekian banyak teori yang
berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yakni :connectionism, classical conditioning,
dan operant conditioning.
Ø Koneksionisme
Teori koneksionisme
adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L.Thorndike
(1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan tahun 1890-an. Eksperimen
ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Penelitiannya yaitu Animal Intelligence :
An Experimental Study of the Associative Processes in Animal. Menekankan
pada aspek fungsional dari perilaku yaitu bahwa proses mental dan perilaku
berkaitan dengan penyesuaian diri organisme terhadap lingkungannya. Dasar dari
belajar adalah “trial and error” atau disebut sebagai learning by selecting and connecting.Berdasarkan eksperimennya
dengan puxxle box, ketika hewan
dihadapkan pada masalah, ia dalam keadaan discomfort dan dalam memecahkan
masalahnya dengan trial and error[4].
Hukum primer dalam
belajar menurut Thorndike :
Ø Hukum kesiapan (the law of readiness)
Ø Hukum latihan (the law of exercise)
Ø Hukum efek (the law of effect)[5]
Ø Pembiasaan Klasik
Teori ini berkembang
berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Pada
dasarnya classical conditioning
adalah sebuah prosedur penciptaan reflex baru dengan cara mendatangkan stimulus
sebelum terjadinya reflex tersebut (Terrace, 1973)[6].
Pada percobaan tersebut,
Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan antara conditionined stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned
response (CR), dan unconditioned-response (UCR).
Berdasarkan eksperimen
tersebut, semakin jelas bahwa belajar merupakan perubahan yang ditandai dengan
adanya hubungan antara stimulus dan respons. Apabila stimulus yang diadakan
(CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat
atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita
kehendaki (CR)[7].
Ø Pembiasaan Perilaku
Respons
Teori ini dikembangkan
oleh Burrhus Frederic Skinner (1904).Teori ini disebut sebagai operant conditioning.Operant adalah
sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang
dekat (Reber,1988)[8].Respons
dalam operant conditioning terjadi
tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforce (stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan
sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam Classical respondent conditioning). Selanjutnya, proses belajar
dalam teori operant conditioning juga
tuntuk pada dua hukum operant yang berbeda, yakni : law of operant conditioning
(jika timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka
kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat)dan law of operant extinction(jika timbulnya tingkah laku operant yang
telah diperkuat melalui proses conditioningitu
tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut
akan menurun bahkan musnah).
Kelemahan-kelemahan dari
ketiga teori diatas antara lain :
·
proses belajar tersebut dapat diamati secara langsung,
padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari
luar kecuali sebagai gejalanya,
·
proses belajar tersebut bersifat otomatis-mekanis, sehingga
terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan
diri) dan self control (pengendalian
diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bias menolak merespons jika ia
menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati,
·
proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku
hewan itu sangat sulit diterima, menginget mencoloknya perbedaan karakter fisik
dan psikis antara manusia dengan hewan.
Ø Teori Pendekatan Kognitif
Pendekatan psikologi
kognitif lebih menekankan arti penting proses internal , mental manusia. Dalam
pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tidak dapat
diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental , seperti motivasi,
kesengajaan, keyakinan, san sebagainya.
Dalam perspektif
psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan
peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat
behavioral tampak lebih nyata dalam hamper setiap peristiwa belajar siswa[9].
2.4.1.5.Proses dan fase
belajar
a. Definisi proses belajar
Proses berarti cara-cara atau
langkah-langkah khusus yang dengannya beberapa perubahan ditimbulkan hingga
tercapainya hasil-hasil tertentu (Reber, 1988)[10]. Proses
belajar dapat diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif,
dan psikomotor yang terjadi dalam diri siswa, perubahan tersebut bersifat
positif dalam arti berorientasi kea rah lebih maju dari pada keadaan sebelumnya
(Syah, 2010)
b. Fase-fase dalam proses belajar
Menurut Jerome S.Bruner, salah seorang
penentang teori S-R Bond (Barlow,1985), dalam proses belajar, siswa menempuh
tiga episode atau fase, yakni :
Ø
Fase informasi (tahap penerimaan materi)
Dalam fase ini, seorang
siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang
sedang dipelajari.
Ø
Fase transformasi (tahap pengabahan materi)
dalam fase
transformasi,informasi yang diperoleh itu dianalisis, diubah, atau
ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak pada
gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas.
Ø
Fase evaluasi (tahap penilaian materi)
seorang siswa akan
menilai diri sendiri sampai sejauh mana pengetahuan (informasi yang telah
diinformasikan tadi) dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain atau
memecahkan masalah yang dihadapi.
Menurut Wittig (1981),
setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tahapan-tahapan yang mencakup :
·
Acquisition (tahap perolehan/penerimaan informasi)
Pada tingkat ini, seorang siswa mulai
menerima informasi sebagai stimulus dan melakukan respon terhadapnya, sehingga
menimbulkan pemahaman dan perilaku baru.
·
Storage (tahap penyimpanan informasi)
Pada tingkat storage, seorang siswa
otomatis akan mengalami proses penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang ia
peroleh ketika menjalani proses acquisition.
·
Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)
Pada tingkatan retrieval seorang siswa
akan mengaktifkan kembali fungsi-fungsi system memorinya, misalkan ketika ia
menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah[11].
2.4.2.
Kajian Teori
2.4.2.1.
Pengertian
Belajar ialah suatu proses
perubahan perilaku atau pribadi sesorang berdasarkan praktik atau pengalaman
tertentu (Hilgard,1948:4; Whiterighton, 1952:163 ; Sartain,1958:299, Crow and
Crow, 1956:225, Morgan, 1961:187, Gage and Berliner, 1975:86)[12].
Menurut Good and Bropy dalam bukunya Educational
Psychology , ia menjelaskan bahwa belajar itu dalah perubahan diri
seseorang yang benar-benar bersifat internal (a purely internal event).
Maksudnya disini adalah belajar merupakan proses yang tidak dapat dilihat
dengan nyata, proses tersebut terjadi dalam diri seseorang yang sedang
mengalami belajar. Jadi, menurut Good and Brophy yang dimaksud belajar bukanlah
tingkah laku yang Nampak, tetapi prosesnya yang terjadi secara internal di
dalam diri individu guna memperoleh hubungan-hubungan baru (new associations). Hubungan-hubungan
baru itu dapat berupa : antara perangsang-perangsang, antara reaksi-reaksi,
atau antara perangsang dan reaksi[13].
2.4.2.2.Arti Penting Belajar
Meskipun banyak titik
pertemuan antara berbagai pendapat para ahli mengenai apa itu hakekat atau
esensi dari perbuatan belajar, secara singkat arti penting belajar itu sendiri
antara lain :
a.
belajar merupakan perubahan fungsional,
b.
belajar merupakan perkayaan materi pengetahuan (material dan
atau perkayaan pola-pola sambutan (responses) perilaku baru (behaviour),
c.
belajar merupakan perubahan perilaku dan pribadi secara
keseluruhan[14].
2.4.2.3.Belajar, memori, dan pengetahuan dalam perspektif
Psikologi
Pada umumnya para ahli
psikologi pendidikan khususnya mereka yang tergolong cognitivist (ahli sains
kognitif) sepakat bahwa hubungan antara belajar, memori, dan pengetahuan itu
sangat erat dan tidak mungkin dapat dipisahkan. Memori yang biasanya kita
artikan sebagai ingatan itu sesungguhnya adalah fungsi mental yang menangkap
informasi dari stimulus, dan ia merupakan storage
system ,yakni system penyimpanan informasi dan pengetahuan yang terdapat di
dalam otak manusia[15].
Model Kognitif mengatakan
bahwa: "Memori merupakan bagian dari information processing(proses
informasi)".Teori ini mencoba menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga
macam Memori sebagai berikut:
1. Memori Sensoris:
Memori Sensoris didefinisikan sebagai
"informasi sensoris
yang masih tersisa sesaat setelah stimulus diambil/hilang"
Tidak semua informasi
yang tercatat dalam Memori Sensoris akan disimpan lebih lanjut ke Memori Jangka
Pendek atau Jangka Panjang, karena manusia akan melakukan proses selective
attention, yaitu memilih informasi mana yang akan diproses lebih lanjut. jd
jangan sampe hafalan dan pelajaran kualitasnya cm sebatas memori sensoris aja
ya kiki emotikon
2. Memori Jangka Pendek:
Memori Jangka Pendek disimpan lebih lama dibanding Memori Sensoris. Memori ini
berisi hal-hal yang kita sadari dalam benak kita pada saat ini. Otak kita dapat
melakukan beberapa proses untuk menyimpan apa yang ada di Memori Jangka Pendek
ke dalam Memori Jangka Panjang, misalnya:
a. rehearsal
(mengulang-ulang informasi di dalam benak kita hingga akhirnya kita mengingatnya)
ini kenapa harus ada muroja'ah atau pengulangan hafalan yang udah kalian hafal
smile emotikon
b. encoding (proses di
mana informasi diubah bentuknya menjadi sesuatu yang mudah diingat). Salah satu
contoh konkret proses encoding adalah ketika kita melakukan chunking, seperti
ketika kita mengingat nomor telepon, di mana kita akan berusaha membagi-bagi
sederetan angka itu menjadi beberapa potongan yang lebih mudah diingat. makanya
nomor cantik dan makhluk canti lebih mudah dihafal, hehe kiki emotikon
3. Memori Jangka Panjang:
Memori Jangka Panjang adalah informasi-informasi yang disimpan dalam ingatan
kita untuk keperluan di masa yang akan datang. Ketika kita membutuhkan
informasi yang sudah berada di Memori Jangka Panjang, maka kita akan melakukan proses
retrieval, yaitu proses mencari dan menemukan informasi yang dibutuhkan
tersebut. Proses retrieval ini bisa berupa:
-Recognition: Mengenali
suatu stimulus yang sudah pernah dialami sebelumnya. Misalnya dalam soal
pilihan berganda, siswa hanya dituntut untuk melakukan recognition karena semua
pilihan jawaban sudah diberikan.Siswa hanya perlu mengenali jawaban yang benar
di antara pilihan yang ada.
-Recall: Mengingat
kembali informasi yang pernah disimpan di masa yang lalu. Misalnya ketika saksi
mata diminta menceritakan kembali apa yang terjadi di lokasi kecelakaan, maka
saksi tersebut harus melakukan proses recal.
Retrieval bisa dibantu
dengan adanya cue, yaitu informasi yang berhubungan dengan apa yang tersimpan
di Memori Jangka Panjang. Terkadang kita merasa sudah hampir bisa menyebutkan
sesuatu dari ingatan kita namun tetap tidak bisa; fenomena ini disebut tip of
the tounge.Misalnya ketika kita bertemu dengan kenalan lama dan kita yakin
sekali bahwa kita mengingat namanya namun tetap tidak dapat menyebutkannya.
2.4.2.4.Teori-teori pokok belajar
Berdasarkan landasan
teori diatas, saya akan mengulas mengenai teri belajar connectionism, classical conditioning, dan operant conditioning.
a.
teori connectionism
Berdasarkan teori ini,
Thorndike mengemukakan bahwa proses belajar itu melalui proses :
1.
trial and error (mencoba-coba dan mengalami kegagalan),
2.
law of effect, yang berarti bahwa segal tingkah laku yang
berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan
diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya.
Sedangkan segala tingkah laku yang
berakibat tidak menyenangkan akan dihilangkan atau dilupakannya. Tingkah laku
tersebut terjadi secara otomatis. Otomatis dalam belajar itu dapat dilatih
dengan syarat-syarat tertentu,pada binatang juga pada manusia[16].
Hukum primer dalam
belajar menurut Thorndike :
Ø
Hukum kesiapan (the
law of readiness)
kepuasan organisme
tersebut berasal dari pendayagunaan satuan perantara. Unit-unit ini menimbulkan
kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Apabila organisme
memiliki kesiapan untuk melaksanakan kesiapan itu, maka organisme akan
mengalami kepuasan, apabila organisme
memiliki kesiapan untuk melakukan aktivitas,tetapi organisme tersebut tidak dapat
melakukannya, maka organisme akan mengalami kekecewaan, apabila organisme tidak
memiliki kesiapan untuk melakukan aktivitas, tetapi disuruh melakukannya, maka
hal ini akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.
Ø
Hukum latihan (the law
of exercise)
Ada dua aspek, yaitu the law of use (hukum yang menyatakan bahwa
hubungan atau koneksi antara stimulus dan respons akan menjadi kuat apabila
sering digunakan) dan the law of disuse
(hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respons
akan menjadi lemah apabila tidak digunakan)
Ø
Hukum efek (the law of
effect)
Jika sebuah respon
menghasilkan efek yang memuaskan hubungan antara stimulus dengan respons
menghasilkan efek yang memuaskan , hubungan stimulus dengan respons akan
semakin kuat[17].
b.
teori classical
conditioning
Menurut teori ini,
belajar itu adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya
syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (response). Untuk
menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat
tertentu.Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya
latihan-latihan yang kontinu. Penganut teori ini mengatakan bahwa segala
tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil daripada conditioning. Yakni
hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap
syarat-syarat/perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya di dalam
kehidupannya.
Kelemahan dari teori
conditioning ini ialah, teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi
secara otomatis,sedangkan keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak
dihiraukannya. Padalah kita tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat manusia tidak semata-mata tergantung kepada
pengaruh dari luar, namun pribadinya sendiri yang memegang peranan paling
penting untuk menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya.
Selain itu, teori
conditioning ini memang tepat jika diterapkan pada binatang sedangkan pada
manusia teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu saja,
seumpamanya dalam belajar mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan
mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil[18].
c.
teori operant
conditioning
Skinner membedakan adanya
dua macam respons, yaitu :
1.
respondent response
(reflexive response) : respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang
tertentu.
2.
operant response
(instrumental response) : respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh
perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian itu disebut
reinforcing stimuli atau reinforce, karena perangsang tersebut memperkuat
respons yang telah dilakukan oleh organisme.
Prosedur pembentukan tingkah laku dalam
operant conditioning secara sederhana adalah seperti berikut :
1.
mengidentifikasikan hal-hal apa yang merupakan reinforcer (hadiah) bagi tingkah laku
yang akan dibentuk,
2.
menganalisis dan selanjutnyamengidentifikasi
komponen-komponen kecil tadi yang membentuk tingkah laku yang dimaksud.
3.
berdasarkan urutan-urutan komponen tersebut sebagai tujuan
sementara, mengidentifikasi reinforcer
(hadiah) untuk masing-masing komponen itu.
4.
melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan
urutan komponen-komponen yang telah disusun.
2.4.2.5.Proses dan fase belajar
Proses belajar dapat
diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor
yang terjadi dalam diri siswa, perubahan tersebut bersifat positif dalam arti
berorientasi kea rah lebih maju dari pada keadaan sebelumnya (Syah, 2010)[19]. Proses
belajar menurut Abin Syamsyudin Makmun (2012), dibagi dalam dua cara yaitu :
a.
proses belajar dalam konteks S-O-R
Mekanisme proses belajar
dari diri siswa dapat diterangkan sebagai berikut :
Ø tahap/fase pertama :
penerimaan informasi.
Pada tahap ini, input
informasi ( penjelasan data, masalah, pemerintah, tugas, dan sebagainya dalam
bentuk tulisan, isyarat atau symbol) sampai dan diterima oleh receptor (panca
indra), kemudian dibaca dan diseleksi atau diperhatikan oleh siswa.
Ø tahap/fase kedua :
pengolahan informasi
Pada tahap ini, siswa
mencamkan (mentransformasikan informasi yang telah ada dalam memorynya ke dalam
bahasa yang biasa dipergunakan dalam berpikirnya kemudian: menafsirkan
(informasi menurut kaidah_kaidah logikanya) barulah masalah/ tugas
dipecahkan/diselesaikan sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan,
generalisasi interpretasi dan keputusan-keputusan tertentu..
Ø tahap/fase ketiga :
ekspresi hasil pengolahan informasi
Pada tahap ini siswa
memilih, menggunakan, dan menggerakkan instrument (mulut,tangan ,kaki dan
sebagainya) untuk mengekspresikan hasil pengolahan dan tafsirannya sehingga
menghirupkan seperangkat pola-pola sambutan (diwujudkan dalam perilaku)[20].
b.
proses belajar dalam konteks : what-why-how ?
Dalam konteks ini, proses
belajar itu berlangsung dalam tiga tahapan/fase :
Ø pertama, siswa merasakan
adanya kebutuhan, misalnya : ia ingin meningkatkan atau memperhatikan
prestasinya, baik dari dorongan diri sendiri maupun dorongan dari luar (guru,
orangtua, dan sebagainya)(Whiterington,1952; Woodwork & Marquis, 1957);
Ø kedua, siswa menyadari
bahwa cara-cara belajar yang selama ini biasa ia gunakan atau
keterampilan-keterampilan yang telah dimilikinya ternyata tidak memadai lagi
digunakan untuk meningkatkan atau mempertahankan prestasinya, ia memerlukan pola-pola
sambutan baru, misalnya : ia harus pandai mengatur pemanfaatan waktu se
seminimal mungkin dan memilih cara bertindak seefektif mungkin.
Ø mencoba melakukan
cara-cara atau pola-pola sambutan yang telah diketahui dan dipilihnya itu di
dalam praktik, mungkin ia gagal atau mungkin ternyata berhasil mencapai atau
mempertahankan prestasi yang diinginkannya.[21]
2.4.3.
Kritik dan saran Terhadap
Materi
A. Kritik
Belum adanya pembahasan mengenai materi
evalusi belajar padahal penulis menilai bahwa materi evaluasi belajar sangat
erat hubungannya dengan proses belajar mengajar. Untuk lebih jelasnya terkait
materi evaluasi belajar, dapat dilihat pada buku reverensi Psikologi Pendidikan
karya Abin Syamsuddin Makmun (2012, halaman166-169)
B. Saran
mengingan pentingnya
materi ini, oleh karena itu perlu adanya tambahan reverensi materi yang lebih
kompleks lagi
2.4.4.
Kritik dan Saran Terhadap
Dosen
A.
Kritik
Tidak ada kritik terhadap
dosen.Dalam hal ini dosen sudah sangat bagus dalam menyampaikan materi.Selain
itu, dosen selalu membimbing peserta didik dengan contoh dan penjelasan yang
sangat jelas.Pesan moral selalu disampaikan setiap pembelajaran berlangsung.
B.
Saran
Kami mengharapkan untuk
selalu ditingkatkan pembelajaran seperti ibu dosen terapkan kepada kami untuk
diterapkan dengan perbaikan-perbaikan kepada adik angkatan berikutnya.
2.4.5.
Kesimpulan
Belajar adalah istilah
kunci paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar
sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan.Mengingat betapa pentingnya arti belajar,
oleh karena itu sangatlah diperlukan riset dan penelitian psikologi pendidikan
agar selalu diupayakan untuk dikembangkan secara berkelanjuntan guna mencapai
kualitas pembelajaran yang bermutu.
[4]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010 hlm.103
[5]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010 hlm.103
[6]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010 hlm.104
[7]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010 hlm.105
[8]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010 hlm.107
[9]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010 hlm.108
[10]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010 hlm.110
[11]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010 hlm.111
[15]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010 hlm.94
[19]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010 hlm.110
sangat bermanfaat sekali ilmunya
ReplyDelete