Thursday 10 September 2015

TEORI-TEORI DALAM PSIKOLOGI SOSIAL

1. TEORI GENETIK
Teori ini menekankan kualitas pembawaan sejak lahir atas tingkah laku sosial. Bahwa "manusia adalah binatang sosial" menjadi inti dan teori genetik dan sekaligus menjadi dasar asumsinya, bahwa komponen-komponen dari tingkah laku sosial dihubungkan dengan atau mempunyai akar pada penyebab genetik yang tidak dipelajari. Misalnya Konrad Lorenz (dalam Dayakisni, 2006:14), seorang ahli etiologi, yang mempelajari gejala sosial pada binatang. Lorenz berpendapat bahwa tingkah laku agresi adalah perwujudan dan insting agresi yang dibawa sejak lahir dan berasal dan kebutuhan untuk melindungi diri. Ahli yang lainnya William Mc Douglas (dalam Dayakisni, 2006:14) juga mendasarkan pada konsep-konsep genetik pada tingkah laku sosial. Douglas berpendapat bahwa banyak sifat dan tingkah laku spesifik dapat dijelaskan dalam istilah insting, tingkah laku yang memiliki tujuan langsung yang tidak dipelajari. Douglas menuliskan seperangkat insting yang diperkirakan medasari sejumlah tingkah laku. Misalnya apabila seorang ibu melindungi anaknya maka hal tersebut dinamakan tingkah laku "parental insting" (insting orang tua) sedangkan jika dikenakan kepada orang yang berhungan dengan orang-orang lainnya maka hal tersebut dianggap karena adanya "insting untuk berkumpul". Namun sebagian ahli psikologi sosial menolak pendapat bahwa resting merupakan mekanisme penjelasan tingkah laku manusia karena tasting diangap tidak dapat menjelaskan alasan dibalik tingkah laku dan tidak dapat memberikan prediksi yang akurat atas tingkah laku individu di masa yang akan datang. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam teori genetik mengabaikan peranan faktor situasional dan lingkungan dalam menelaah tingkah laku sosial. Oleh karenanya teori ini kurang populer untuk dipakai dalam mengkaji fenomena-fenomena psikologi sosial.

2. TEORI STIMULUS — RESPONS
Prinsip teori ini menyatakan bahwa:
 "Kalau stimulus memberikan akibat yang positif atau memberi reward maka respons terhadap stimulus tersebut akan diulangi pada kesempatan lain dimana stimulus yang sama timbul. Sebaliknya apabila respons memberikan akibat yang negatif (hukuman dan sebagainya) hubungan antara stimulus - respons tersebut akan dihindari pada kesempatan lain". 
Beberapa istilah yang perlu dijelaskan dalam teori ini adalah stimulus, respons, dorongan, reinforcementlfaktor penguat. Stimulus adalah peristiwa yang terjadi baik di luar maupun di dalam tubuh manusia yang menyebabkan timbulnya suatu perubahan tingkah laku. Respons adalah perubahan yang disebabkan oleh adanya stimulus. 

 Menurut Keller & Schoenfeld (Wibowo,1988:127) stimulus mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu: 
a. Pembangkitan: stimulus yang membangkitkan, adalah stimulus yang langsung memberikan suatu respons. Misalnya makanan langsung menimbulkan air liur orang yang melihatnya pada saat lapar terutama. 

b. Diskriminasi: stimulus yang diskriminatif, adalah stimulus yang tidak langsung menimbulkan respons tetapi hanya merupakan pertanda adanya stimulus pembangkit. Misalnya mendengar ada tukang siomay lewat. Saat barn mendengar belum ada reaksi apapun dan diri orang tersebut, barulah setelah melihat sang penjual menyajikan sepiring di depannya keluarlah air liurnya. 

c. Reinforcement: adalah stimulus yang menimbulkan konsekuensi yang positif atau negatif pada terbentuknya respons. Reinforcement positif adalah stimulus yang jika diberikan akan memperkuat tingkah laku respons. Misalnya seorang anak yang menolong orang lain kemudian mendapat pujian dan hadiah, maka ia akan cenderung mengulangi tingkah laku menolongnya di kemudian hari. Reinforcement negatif adalah stimulus yang jika tidak diberikan atau dihentikan pem-beriannya, akan memperkuat terjadinya respons. Misalnya seorang anak yang kegemukan dan gelalu diejek oleh temannya, tidak lagi diejek oleh temannya manakala dia berprestasi di kelas/menjadi juara kelas. Maka ia akan mengulangi dan meningkatkan prestasi akademiknya tersebut. 
Dorongan adalah suatu kekuatan dalam din seseorang yang jika telah mencapai kekuatan yang maksimum akan menyebabkan orang tersebut melakukan sesuatu. Menurut Dollard & Miller (dalam Wibowo, 1988:1.27) terdapat 2 (dua) macam dorongan pada manusia yaitu dorongan primer dan dorongan sekunder. Dorongan primer adalah dorongan bawaan seperti lapar, haus, sakit dan seks. Dorongan sekunder adalah dorongan yang bersifat sosial dan dipelajari misalnya dorongan untuk mendapat upah, pujian, perhatian dan sebagainya.

3. TEORI KOGNITIF
Pokok pikiran dalam pendekatan kognitif adalah bahwa perilaku individu tergantung pada caranya mengamati situasi sosial. Secara spontan dan otomatis orang akan mengorganisasikan persepsi, pikiran dan keyakinannya tentang situasi sosial ke dalam bentuk yang sederhana dan bermakna., seperti yang mereka lakukan terhadap objek. Bagaimanapun rancunya situasi orang akan mengadakan pengaturan dan pengorganisasian ini (persepsi dan pengartian lingkungan) akan mempengaruhi perilaku individu dalam situasi sosial.

Terdapat beberapa prinsip dasar dalam teori ini yaitu (Sears., 1985:17-18): 
a. Individu cenderung mengelompokkan dan mengkategorikan objek secara spontan. Individu tidak melihat objek secara tersendiri melainkan sebagai bagian dari sekelompok benda atau hal-hal lain di sekitarnya. Oleh karenanya individu cenderung mengelompokkan objek ini dengan beberapa prinsip sederhana misalnya karena kesamaan, kedekatan atau pengalaman masa lalu. 
b. Individu dapat memperhatikan objek dengan mengamati sesuatu sesuatu sebagai hal yang menyolok (figure) dan yang lain sebagai latar belakang (ground). Biasanya rangsangan yang bergerak, berwama, bersuara, unik, dekat, merupakan figure. Sedangkan rangsangan yang lembut, tidak menarik, tidak bergerak, tidak bersuara, umum, jauh, merupakan ground. 

Teori kognitif mempunyai tekanan yang berbeda dengan teori belajar yaitu: 
a. Teori kognitif memusatkan din pada interpretasi dan organisasi perseptual mengenai keadaan seseorang, bukan keadaan masa lalu. 
b. Teori kognitif mencari sebab-sebab perilaku pada persepsi atau interpretasi individu terhadap situasi dan tidak pada realita situasinya. Interpretasi individu terhadap situasi merupakan hal yang lebih penting daripada bagaimana sebenarnya situasi itu.

4. TEORI BELAJAR SOSIAL (SOCIAL LEARNING THEORY)
 Pokok pemikiran dalam pendekatan belajar adalah bahwa perilaku individu ditentukan oleh apa yang telah dipelajari sebelumnya. Dalam situasi tertentu seseorang mempelajari perilaku tertentu sebagai kebiasaan dan bila menghadapi situasi itu kembali oarang tersebut akan cenderung untuk berperilaku sesuai dengan kebiasaannya itu. Pendekatan dengan belajar populer di tahun 1920-an dan merupakan dasar Behaviorisme.
Dalam kehidupan manusia ada 2 (dua) pengertian belajar yaitu belajar secara fisik misalnya belajar menari, naik sepeda dan lain-lain, dan belajar psikis yaitu mempelajari perannya dan peran orang lain dalam konteks sosial. Menurut Dollard & Miller ada 4 (empat) prinsip dalam belajar yaitu dorongan, isyarat, respons dan reward. Pengertian dorongan dan respons sudah dijelaskan sebelumnya. Reward sebenarnya sama dengan reinforcement yaitu stimulus yang menetapkan perlu diulangi atau tidak suatu respons pada kesempatan lain. Isyarat adalah stimulus yang menentukan kapan dan dimana suatu respOns akan timbul dan respons apa yang akan timbul. Isyarat bisa disamakan dengan stimulus diskriminatif. Mekanisme belajar dapat dibagi dalam tiga mekanisme umum (Sears, dkk., 1985:13-14) yaitu:
a. Asosiasi (Classical Conditioning) yaitu kita belajar berperilaku dengan mengasosiasikan kata-kata, suara-suara, warna-warna dan sebagainya atau fenomena yang terjadi disekitar kita. Misalnya mengasosiasikan kata "Tsunami" dengan hal-hal atau bencana yang mengerikan.
b. Reinforcement, yaitu orang belajar menampilkan perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan (atau mereka belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Misalnya seorang mahasiswa yang belajar untuk tidak menentang profesor pengajarnya di kelas karena ketika hal tersebut dilakukan sang profesor selalu mengerutkan dahi, marah dan membentaknya kembali.
c. Imitasi adalah proses dimana orang mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model.
Misalnya anak-anak yang menirukan hal-hal yang dilakukan oleh orang tuanya atau orang dewasa di sekitarnya. Cara yang penting dalam belajar sosial adalah tingkah laku imitasi. Dollard & Miller (dalam Wibowo,1988:I.28-I.29) menyatakan terdapat 3 (tiga) mekanisme imitasi:
a. Tingkah Laku Sama 
Terjadi bila 2 (dua) atau lebih orang memberikan respon karena terstimulus oleh isyarat yang sama. Misalnya sesama penumpang angkutan umum dengan jurusan yang sama, tidak lantas perbuatan ini dianggap sebagai tiruan.
b. Tingkah Laku Tergantung 
Timbul dalam hubungan antara dua pihak dengan keadaan pihak yang satu adalah lebih pandai, lebih tua atau lebih mampu dari pihak lain. Maka pihak lain akan menyesuaikan tingkah lakunya dan akan tergantung pada pihak pertama. Misalnya seorang kakak yang menjemput dan membawakan tas ayahnya pada saat sang ayah pulang kerja maka ia akan diberikan sebatang coklat. Dia menganggap deru mobil sang ayah di halaman pada sore hari adalah isyarat sang ayah datang dan biasanya akan memberinya coldat, maka ia berlari menghamhirinya. Bagi adiknya yang pada saat itu barn melihat kejadian tersebut, gerak lari kakaknyalah yang merupakan isyarat baginya sehingga ia meniru (imitasi) tingkah laku kakaknya di lain kesempatan karena dengan begitu ia akan mendapat reward sebatang coklat dan ayahnya.
c. Tingkah Laku Salinan (Copying) 
Persamaan antara tingkah laku tergantung dengan tingkah laku salinan adalah keduanya sama-sama menggunakan isyarat dan tingkah laku model (orang yang ditiru). Perbedaannya terletak pada jika dalam tingkah laku tergantung seseorang merespons hanya terhadap isyarat dari model, sedangkan dalam copying orang yang bersangkutan akan merespons tingkah laku yang menunjukkan kesamaan dan perbedaan antara responnya dengan respons si model (orang yang ditiru). Misalnya A biasanya akan memperlambat laju mobilnya jika lampu kuning menyala. Suatu hari pada saat lampu kuning menyala ia melihat B pengendara mobil lainnya yang justru mempercepat laju kendaraannya dan ia terhindar dari lampu merah. Maka pada kesempatan lain, jika ada lampu kuning menyala A akan mempercepat laju kendaraannya.
Terdapat beberapa ciri khusus dalam pendekatan belajar yaitu (Sears., 1985:14):
a. Sebab-sebab perilaku diduga terletak terutama pada pengalaman belajar individu di masa lampau. Para ahli teori belajar mengaitkan diri pada pengalaman masa lalu dan kurang memperdulikan seluk beluk situasi yang sedang terjadi.
b. Pendekatan belajar cenderung menempatkan penyebab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengartian subjektif individu terhadap apa yang terjadi. Pendekatan ini menekankan kejadian eksternal yang telah diasosiasikan dengan stimulus atau reinforcement yang telah dikaitkan dengan timbulnya tanggapan atau model peran yang pernah diternui. Semua ini bersifat eksternal bagi individu. Sebagai sebab-sebab terjadinya perilaku pendekatan belajar tidak menekankan keadaan subjektif misalnya persepsi terhadap situasi dan emosi.
c. Biasanya diarahkan untuk menjelaskan perilaku yang nyata dan bukan pada keadaan subjektif atau psikologis.

5. TEORI PSIKOANALISA
Tokoh dan teori ini adalah Freud. Alasan teori ini dipakai untuk menelaah tingkah laku sosial adalah adanya pendapat dan Freud bahwa terdapat pertentangan yang mendasar antara pemuasan keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan individual dengan kesiapan masyarakat dalam memenuhi semua kebutuhan tersebut. Menurut teori ini pula perkembangan individu menuju kedewasaan adalah melalui serangkaian tahapan yaitu tahap oral, anal, phallic dan genital. (dalam Wibowo, 1.14-1.15) Secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Tahap Oral: Bayi barn lahir s/d 1 atau 1,5 tahun. Pengalamannya hanya kenikmatan, kesakitan dan perubahan-perubahan ketegangan.
b. Tahap Anal: Berlangsung dari usia 1 atau 1,5 tahun — 4 tahun. Perkembangan ego ditandai dengan kemampuan untuk menguasai obyek, mengantisipasi hal-hal yang terjadi dengan imaginasi; sadar dan
toleransi terhadap kecemasan; perkembangan kemampuan berbicara dan berpikir; tumbuhnya kemampuan untuk menunda respons.
c. Tahap Phallic: Mulai terjadi setelah usia 3 — 4 tahun. Perkembangan yang penting adalah meningkatnya minat pada seks (dalam keluarga berupa kompleks oedipus, jika anak laki-laki dengan ayahnya dan anak perempuan dengan ibunya; serta dalam dirinya berupa fantasi-fantasi tertentu), proses pertunibuhan super ego, serta makin banyak menggunakan mekanisme pertahanan diri. Ditandai dengan meningkatnya keinginan untuk bermasturbasi; meningkatnya keinginan untuk bersentuhan tubuh dengan anggota keluarga yang berlawanan jenis; meningkatnya kecenderungan ekshibisionis (menunjukkan alat kelamin kepada orang lain).
d. Tahap Laten: Merupakan masa konsolidasi dalam perkembangan, menyesuaikan did dengan lingkungan di luar keluarga. Hasrat seksual kepada orang tua disublimasikan menjadi rasa menghormati dan menghargai. Merupakan masa persiapan untuk remaja (pubertas).
e. Tahap Genital: Secara psikologis ditandai dengan ciri-ciri antara lain hasrat untuk mandiri, lebih menghargai aturan-aturan dari teman sebaya, pemberontakan melawan orang tua, pikiran-pikiran bingung dan lain-lain.
Menurut konsep Freud ada 3 (tiga) sistem yang membentuk struktur kepribadian:
a. Id adalah cumber energi psikis, merupakan sub sistem dan kepribadian. Id seringkali dilukiskan sebagai pengharapan-pengharapan yang berasal dari insting-insting psikologi yang dipunyai setiap orang sejak lahir. Id adalah sesuatu yang tidak disadari maka semua ketidaksadaran berlaku bagi id misalnya amoral, tidak terpengaruh oleh waktu, tidak mempedulikan realitas, bekerja atas dasar kesenangan, tidak terbelenggu moral, etik, alasan dan logika. Id secara tetap merupakan upaya untuk mendapatkan kesenangan, penghargaan dan pemuasan. Upaya ini secara pokok diwujudkan lewat libido dan agresi (dalam Gerungan, 2004). Libido mengarah pada hubungannya dengan keinginan seksual, kesenangan-kesenangan termasuk di dalamnya kehangatan, makanan dan kenyamanan (comfortable). Agresi mendorong Id ke arah kerusakan termasuk diantaranya keinginan perang, berkelahi, berkuasa dan semua tindakan-tindakan yang bersifat merusak. Walaupun demikian Id tetap diakui sebagai kekuatan yang mendorong sepanjang kehidupan ini dan merupakan sumber yang amat penting dari daya berpikir dan upaya bertindak. Id pada akhirnya hams dihubungkan dengan realitas yang tidak bisa diabaikan begitu saja, oleh karena itu sebagai penghubung timbul sistem "ego".
b. Ego berfungsi untuk menghadapi realitas dan menerjemahkan untuk id. Ego beroperasi berdasarkan proses berpikir. Ego merupakan sumber rasa sadar. Ia mewakili loglka dan yang dihubungkan dengan prinsip-prinsip realitas. Ego merupakan sub sistem yang berfungsi ganda yaitu melayani dan sekaligus mengendalikan dua sistem lainnya (Id dan Super-Ego) dengan cara berinteraksi dengan dunia luar atau lingkungan luar (external environment). Ego dapat mengembangkan suatu fasilitas penalaran untuk menimbang dan belajar guna menyesuaikan dan bertindak sesuai dengan lingkungannya. Namun pada gilirannya situasi konflik antara Id dan Ego tidak dapat dihindarkan, dimana di satu pihak Id menuntut dipenuhinya kesenangan dengan cepat dan di pihak lain Ego berusaha menekan, menolak atau menundanya untuk mencarikan waktu dan tempat yang lebih sesuai untuk memenuhi kesenangan tersebut. Agar Ego dapat mengatasi konflik dengan Id maka is banyak mendapat bantuan dari Super-Ego.
c. Super-Ego: adalah sistem moral dan kepribadian atau kekuatan moral dari personalitas. Sistem ini berisi norma-norma budaya, nilai-nilai sosial dan tata cara yang sudah diserap ke dalam jiwa. Super ego berprinsip mencari kesempurnaan. Ia adalah sumber norma yang memungkinkan Ego memutuskan apakah sesuatu benar atau salah. Teori psikoanalisa juga memperkenalkan konsep ketidaksadaran sebagai bagian kepribadian, dimana terletak keinginan-keinginan, impuls-impuls dan konflik-konflik yang dapat mempunyai pengaruh langsung terhadap tingkah laku. Pada dasarnya tingkah laku individu dipengaruhi atau dimotivasi oleh determinan kesadaran maupun ketidaksadaran (Dayakisni, 2006:19). Contoh dalam proses-proses ketidaksadaran misal-nya tingkah laku agresi dipandang sebagai suatu manifestasi pembawa-an sejak lahir, yaitu yang disebut sebagai insting mati dalam ketidak-sadaran.

6. TEORI PERAN
Pengertian Peran (Role) biasanya didefinisikan sebagai serangkaian tingkah laku atau fungsi-fungsi yang dikaitkan dengan posisi khusus dalam hubungan tertentu. Menurut Bidle & Thomas (Wibowo, 1988:1.21) ada 4 (empat) istilah tentang perilaku dalam kaitannya dengan peran:
a. Harapan (expectation).
b. Norma (norm).
c. Wujud Perilaku (performance).
d. Penilaian (evaluation) dan Sanksi (sanction).
Dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
a. Harapan tentang Peran, adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas yang seyogyanya ditunjukkan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.
Contoh harapan dari masyarakat umum terhadap public servant yang bersih dan bebas KKN.

b. Norma, merupakan salah satu bentuk harapan. Menurut Secord & Backman (Wibowo, 1988:L21-L22) jenis jenisharapan adalah:
• Harapan yang bersifat meramalkan (predicted role expectation) yaitu harapan tentang suatu perilaku yang akan terjadi. 
• Harapan Normatif (prescribed role expectation) adalah keharusan-keharusan yang menyertai suatu peran. Ada 2 jenis yaitu pertama harapan yang terselubung (covert) adalah harapan-harapan yang ada tanpa harus diucapkan misalnya dokter hams menyembuhkan pasiennya. Kedua yaitu harapan terbuka (overt) adalah harapan- harapan yang diucapkan (role demand). Misalnya orang tua yang meminta agar anaknya rajin belajar dan bertanggung jawab atas tugas-tugasnya.

c. Wujud Perilaku dalam Peran Peran diwujudkan dalam perilaku nyata, bukan sekedar harapan. Misalnya peran ayah adalah mendisiplinkan anaknya, maka ada ayah yang menggunakan hukuman-hukuman fisik sedangkan ayah lainnya hanya memberi nasehat raja. Kapan peran perlu ditunjukkan/ menjadi penting? Perwujudan peran bisa bermacam-macam. Misalnya pendapat Sarbin (dalam Wibowo, 1988:1.23) dimana perwujudan peran terdiri dan tingkatan intensitas dan yang terendah sampai yang tertinggi. Contoh seorang pemain musik di kafe yang menjadi tugasnya setiap malam maka karena terlalu biasa ia bisa bermusik sambil mengobrol dengan temannya. Sementara ada seorang pianis yang hams menggelar konser tunggalnya maka ia akan mempersiapkan din dan performanya dengan penuh konsentrasi. Goffman (dalam Wibowo, 1988:1.23) meninjau dan sudut lain yaitu dari permukaan (front), yaitu untuk menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus agar orang mengetahui secara jelas peran si pelaku. Contoh seorang profesor akan memajang rak penuh buku-buku ilmiah di ruang tamu, sehingga tamunya akan mendapat kesan tentang apa dan bagaimana peran profesor tersebut. Inilah yang dimaksud dengan "front". Namun ada juga hal yang disukai profesor misalnya tetapi tidak ditunjukkan yaitu kegemarannya membaca komik dimana komik-komik tersebut disimpannya dengan rapi di kamar pribadinya.


d. Penilaian dan Sanksi.
 Menurut Biddle & Thomas (dalam Wibowo, 1988:1.24) penilaian peran adalah pemberian kesan positif atau negatif yang didasarkan pada harapan masyarakat terhadap peran dimaksud. Sanksi adalah usaha orang untuk mempertahankan suatu nilai positif atau agar perwujudan peran diubah sedemikian rupa sehingga yang tadinya dinilai negatif menjadi positif. Menurut Merton & Kitt (dalam Wibowo, 1988:1.25) setiap orang memerlukan kelompok rujukan (reference group) tertentu yang mempunyai fungsi, pertama fungsi normatif, dimana kelompok mendesakkan suatu standar tertentu bagi perilaku dan keyakinan atau kepercayaan anggotanya. Terlepas benar atau salahnya standar itu, kelompok mempunyai cukup kekuatan atas individu sehingga individu mau tidak mau mengikuti standar tersebut. Misalnya aturan-aturan yang dibuat orang tua hams diikuti anaknya karena anak adalah anggota keluarga. Jika norma ini diserap (diinternalisasikan) maka terbentuklah nilai dalam diri individu itu yang selanjutnya menjadi pedoman bagi tingkah laku dan kepercayaannya. Kedua adalah fungsi komparatif /perbandingan dimana kelompok hanya dijadikan alat pembanding bagi individu untuk mengetahui apakah perilaku atau kepercayaannya sudah benar atau masih salah. Perbandingan ini bisa dilakukan dengan melibatkan diri atu tidak terhadap kelompok tersebut. Kelompok hanya dijadikan alat untuk tujuan informatif saja.


7 comments:

  1. sangat bermanfaat sekali
    http://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Fbabeyudi.wordpress.com

    ReplyDelete
  2. Terimakasih artikelnya sangat membantu saya

    ReplyDelete
  3. makasih
    http://http%3A%2F%2Fhttp%253A%252F%252F.blog.binadarma.ac.id%252Fariezaki%252F.wordpress.com.wordpress.com

    ReplyDelete
  4. Terimakasih atas artikel anda sangat bermanfaat

    ReplyDelete
  5. terimakasih sangat bermanfaat

    ReplyDelete
  6. sangat membantu
    http://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Fimamsolikin.wordpress.com

    ReplyDelete
  7. Terimakasih sangat bermanfaat

    ReplyDelete

Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget