Manusia terlihat termotivasi tidak hanya untuk merasakan
dirinya dalam cara-cara peningkatan diri namun juga untuk menampilkan diri
mereka yang disenangi oleh orang lain. Presentasi diri (self-presentation)
mengacu pada keinginan kita untuk menampilkan sebuah gambaran yang diinginkan,
yaitu terhadap penonton eksternal (orang lain) dan terhadap penonton internal
(diri sendiri). Self-presentation adalah sebuah tindakan dari mengekspresikan
diri dan berlaku dalam jalan-jalan yang dibuat untuk menciptakan kesan yang
menyenangkan atau sebuah kesan yang berhubungan dengan sesuatu yang ideal
menurut seseorang.
Dalam proses presentasi diri biasanya individu akan
melakukan impression management (pengelolaan kesan). Tujuannya adalah supaya
kita dapat mempengaruhi orang lain, supaya kita disukai orang lain, ingin
memperbaiki posisi, memelihara status dan sebagainya. Kita dapat
mengidentifikasikan dua komponen dalam pengelolaan kesan yaitu pertama,
impression-motivation (motivasi pengelolaan), yang menggambarkan bagaimana
motivasi yang kita miliki untuk mengendalikan orang lain yang melihat kita atau
untuk menciptakan kesan tertentu dalam pikiran orang lain dan yang kedua,
adalah impression-construction (konstruksi pengelolaan kesan) yang menyangkut
pemilihan image tertentu yang ingin diciptakan dan mengubah perilaku dalam
cara-cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan (Bringham, 1991 dalam
Dayakisni,2006:92).
Kita memberi alasan, pembenaran atau minta maaf sebagai
sesuatu yang perlu untuk mendukung harga diri dan menguji kebenarannya dari
citra-cira diri sendiri. Kita juga hams memastikan untuk tidak menyombongkan
din terlalu banyak dan resiko tidak disetujui orang lain. Interaksi sosial
adalah sebuah keseimbangan yang hati-hati dari terlihat baik sampai tidak
terlihat "terlalu" baik. Argyle (1994) dalam Dayakisni (2006:93)
mengemukakan tiga motivasi primer pengelolaan kesan yaitu keinginan untuk
mendapatkan imbalan materi atau sosial, untuk mempertahankan dan meningkatkan
harga diri, dan untuk mempermudah pengembangan identitaas diri (menciptakan
atau mengukuhkan identitas diri). Motivasi untuk mengelola kesan biasanya
terjadi dalam situasi yang melibatkan tujuan-tujuan penting (misalnya
persahabatan, persetujuan, imbalan materi dan sebagainya) dimana individu yang
melakukan merasa kurang puas dengan image yang diproyeksikan pada saat ini
(self-discrepancy). Motivasi mengelola kesan juga lebih kuat ketika seseorang
merasa tergantung pada orang yang berkuasa untuk mengendalikan sumber-sumber
penting bagi dirinya (misalnya atasan atau pimpinan) atau setelah seseorang
mengalami kegagalan atau kejadian yang meruntuhkan harga dirinya (misalnya
penyalahgunaan keuangan perusahaannya, namun masih bisa ditolerir oleh atasan atau
pimpinannya dengan sanksi peringatan keras).
Selanjutnya Goffman (dalam Dayakisni, 2006:94-95) mengajukan
syarat-syarat yang diperlukan agar dapat melakukan pengelolaan kesan dengan
baik yaitu:
a. Penampilan muka (proper front), yaitu perilaku tertentu
yang diekspresikan secara khusus agar orang lain mengetahui dengan jelas peran
kita. Front merupakan seperangkat peralatan lengkap yang kita gunakan untuk
menampilkan diri, mencakup tiga aspek yaitu setting (serarigkaian peralatan
dalam ruang dan Benda yang kita gunakan); appearance (penggunaan petunjuk
artifaktual, misal-nya pakaian, lencana, atribut dan lain-lain); manner (gaya
bertingkah laku, misal cara berjalan, duduk, berbicara, memandang dan
se-bagainya).
b. Keterlibatan dalam perannya, dimana ketika seseorang
memainkan menghayati perannya dengan baik. Misalnya seorang mahasiswa yang
memainkan peran sebagai agen perubahan yang peka terhadap isu-isu terkini,
bijaksana dalam bertindak karena dianggap lebih dewasa, berpikir kritis dengan
latar belakang pemahaman teoritis yang memadai dan sebagainya. Maka orang lain
akan melihat dia sebagai mahasiswa yang
baik, karena menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.
c. Mewujudkan idealisasi harapan orang lain tentang
perannya. Misalnya seorang polisi harus mengetahui tipe perilaku apa yang
diharapkan dari orang-orang pada umumnya mengenai perannya dan memanfaatkan
pengetahuan ini untuk diperhitungkan dalam penampilannya. Dalam pelaksanaan
tugasnya kadang polisi hams menunjukkan atribut lengkapnya, menunjukkan surat
tugas, membacakan dan menjelaskan pasal-pasal terkait pelanggaran hukum,
kemudian menjelaskan proses hukum yang hams dilalui kepada pelanggar aturan
lalu lintas. Proses panjang ini hams ditunjukkan karena masyarakat memiliki
harapan yang tinggi bahwa polisi akan menangani kasusnya dengan adil untuk
dirinya maupun orang lain yang sama-sama melakukan pelanggaran lalu lintas.
d. Mystification, yaitu adanya pemeliharaan jarak sosial
tertentu antara individu (aktor) dengan orang lain. Misalnya polisi yang
menjaga jarak dengan pelanggar lalu lintas, tidak boleh terlalu kenal atau
akrab, supaya tetap terjadi netralitas hubungan dan polisi tersebut tetap
menyadari perannya, berlaku adil dan transparan dalam proses tersebut.
Terdapat juga beberapa strategi dalam presentasi diri antara
lain (Dayakisni, 2006:95-100):
a. Mengambil muka atau menjilat (Ingratiation), dengan
tujuan supaya dipersepsi orang lain sebagai orang yang menarik atau
menyenangkan, dengan cara memuj i, mendengarkan, ramah, melakukan hal-hal yang
menguntungkan bagi orang lain dan menyesuaikan diri dengan apa yang dilakukan
orang lain. Namun penjilat biasanya memiliki tujuan tersembunyi (illicit).
b. Mengancam atau menakut-nakuti (intimidation), untuk
menimbulkan rasa takut dan meyakinkan pada orang lain bahwa dirinya adalah
orang yang berbahaya.
c. Promosi diri (self promotion), dengan menggambarkan
kekuatan-kekuatan dan prestasi yang dimiliki, melebih-lebihkan kompetensi yang
dipunyai, dan sebagainya supaya orang lain sampai pada ke-simpulan bahwa dia
memang memiliki kompetensi atau kemampuan. Resikonya adalah dia bisa dianggap
sebagai seseorang yang sombong dan tidak dapat dipercaya.
d. Pemberian contoh atau teladan dalam tindakan, prestasi dan
sebagainya (exemplification), yaitu mempresntasikan diri sebagai orang yang
jujur, disiplin, baik hati, tidak sombong dan dermawan, untuk memproyeksikan
penghargaannya pada kejujuran dan moralitas. Hal ini bisa jadi memang
penampilan sesuai keadaan yang sebenarnya, namun di sisi lain bisa saja keadaan
ini hanya untuk memanipulasi atau bukan keadaan yang sebenarnya.
e. Permohonan (supplification), dengan cara memperlihatkan kelemah-an
atau ketergantungan untuk mendapatkan pertolongan atau simpati. Strategi ini
merupakan strategi terakhir, ketika semua strategi sebagaimana disebutkan
diatas, tidak dapat dilakukan.
f. Hambatan din (self-handicapping), yang digunakan ketika individu
merasa egonya terancam karena terlihat tidak mampu. Misalnya, ketika orang
merasa khawatir jika kesuksesan yang diraih sebelumnya karena nasib baik,
mereka takut gagal dalam melaksanakan tugas. Sehingga mereka berpura-pura
mendapatkan hambatan sebelum atau selama kejadian-kejadian yang mengancam
egonya.
g. Aligning actions, yaitu usaha-usah individu untuk mendefinisikan
perilaku mereka yang nampaknya diragukan karena sebenarnya bertentangan norma
budaya. Strateginya antara lain dengan melakukan taktik disclaimers
(penyangkalan), misalnya "saya tahu ini melanggar aturan,
tetapi....", kemudian taktik accounts (alasan-alasan) yaitu
penjelasan-penjelasan untuk mengurangi tanggung jawab, dengan meminta maaf
(tidak dapat mengendalikan keadaan, terdapat tekanan internal dan eksternal,
dan lain-lain) misalnya "maaf seandainya wasitnya lebih fair, seharusnya
saya menang" dan lain- lain, serta dengan
justifikasi (tetap bertanggung jawab atas situasi, namun menunjukkan bahwa perilakunya cocok dengan situasi saat itu) misalnya "saya memang memukulnya tetapi dia yang memukul saya
terlebih dahulu".
h. Altercasting, yaitu menggunakan taktik
untuk memaksakan peran dan identitas pada orang
lain, dimana dalarn strategi ini kita mendapatkan keuntungan. Misalnya seorang pelatih yang sebenarnya "gagal atau tidak berhasil" membawa timnya sebagai juara namun menyampaikan kepada para atlet bahwa "kalian mampu melakukan lebih baik dari
ini" sebagai suatu identitas peran yang dibebankan
kepada para atletnya.
i. Dalam hal ini perlu juga dilakukan self-monitoring (pengawasan diri), dimana perilaku disesuaikan dalam
merespons situasi-situasi eksternal,
untuk menciptakan kesan yang diinginkan. Pengawasan diri yang tinggi dapat membantu kita untuk
menyesuaikan diri dalam setiap
situasi, sedangkan pengawasan diri yang rendah atau melakukan hanya sedikit penyesuaian sosial, akan membuat
kita terlihat sebagai seseorang yang
kurang sensitif.
0 comments:
Post a Comment