HARGA DIRI
Evaluasi terhadap diri sendiri dikenal sebagai self-esteem
yaitu evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap seseorang terhadap
dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif (Baron &Byrne,
2004:173). Harga diri (self esteem) adalah evaluasi diri kita secara
keseluruhan atau rasa keberhargaan diri. Jennifer Crocker dan Cornie Wolf
(dalam Myers 2012:65) memberikan pernyataan bahwa kita akan memiliki harga diri
yang tinggi jika kita merasa senang dengan domain yang kita anggap penting bagi
harga diri kita sendiri (misalnya penampilan, kecerdasan, kekayaan dan
sebagainya). Orang dengan harga diri yang rendah seringkali memiliki
permasalahan dalam hidup –misalnya penghasilan yang rendah, lebih cenderung
tereekan, dan sebagainya—di mana peristiwa-peristiwa tersebut merupakan
pengalaman di waktu lampau (ketika masih kecil).
Terdapat tiga kemungkinan motif dalam evaluasi diri yaitu
self-assessment (untuk memperoleh pengetahuan yang akurat tentang dirinya
sendiri), self– enhancement (untuk memperoleh informasi positif tentang dirinya
sendiri atau self – verification (untuk mengkonfirmasi sesuatu yang sudah
mereka ketahui tentang diri mereka sendiri). Motif mana yang paling sering
aktif akan tergantung pada budaya dan kepribadian seseorang serta situasi yang
dihadapinya (Sedikides, 1993 dalam Baron & Byrne, 2004:173).
Gambar 1.1 Harga diri di masa tua |
Sumber-sumber
terpenting dalam pembentukan atau perkembangan harga diri adalah pengalaman
dalam keluarga, umpan balik terhadap performance dan perbandingan sosial. Orang
lain menjadi penting bagi kita untuk melakukan perbandingan sosial yang
dibedakan dalam dua konteks yaitu perbandingan sosial ke atas (upward social
comparison) dan perbandingan sosial ke bawah (downward social comparison).
Upward social comparison adalah membandingkan diri kita sendiri dengan orang
lain yang lebih baik dalam atribut-atribut tertentu. Sebagai contoh kita
membandingkan prestasi olahraga basket kita dengan pemain basket tingkat
nasional atau internasional. Hal ini tentunya tidak menjadi beban karena kita
menganggap atlet-atlet tersebut sebagai "role model" yang dapat
memotivasi kita untuk bermain lebih baik. Namun jika hal ini dilakukan terhadap
teman basket dalam satu tim dan kita melihat mereka bermain lebih baik, maka
ini menjadi beban bagi kita yang merasa depresi karena tidak sebaik teman-teman
yang lain. Sedangkan dalam konteks downward social comparison berarti kita
membandingkan diri dengan orang-orang yang lebih buruk dalam atribut-atribut
tertentu. Misalnya kita memiliki prestasi akademis yang cukup tinggi
dibandingkan dengan teman-teman sekelas. Hal ini tentunya akan menghadirkan
perasaan yang positif terhadap diri kita sendiri. Namun jika hal yang negatif
ini berkaitan dengan posisi kita sebagai anggota kelompok tertentu maka hal ini
juga akan membuat kita memiliki penilaian yang negatif juga terhadap diri kita.
Misalnya ketika tim sepakbola dimana kita menjadi anggota timnya kalah dalam
pertandingan maka kita merasa sama buruknya dengan seluruh anggota tim yang
lain yang menunjukkan hasil pertandingan yang buruk.
Coopersmith (dalam Dayakisni, 2006:83) menyimpulkan bahwa
terdapat 4 (empat) tipe perilaku orang tua yang dapat merugikan harga diri
yaitu :
(1) menunjukkan penerimaan, afeksi, minat dan keterlibatan pada
kejadian-kejadian atau kegiatan yang dialami anak,
(2) menerapkan
batasan-batasan jelas pada perilaku anak secara teguh dan konsisten,
(3)
memberikan kebebasan dalam batas-batas menghargai inisiatif,
(4) bentuk
disiplin yang tak memaksa (menghindari hak-hak istimewa dan mendiskusikan
alasan-alasannya daripada memberikan hukuman fisik. Harga diri yang tinggi
memang memiliki beberapa manfaat seperti memperkuat inisiatif, daya tahan dan
perasaan senang (Baumeister, 2003 dalam Myers, 2012:67).
Harga diri yang tinggi
menjadi masalah saat berubah menjadi narsisme atau atau memiliki rasa bahwa
harga dirinya tinggi. Sebagian besar orang dengan harga diri yang tinggi
memiliki nilai dan akan prestasi individual dan hubungan dengan orang lain.
Narsisis biasanya memiliki harga dIri yang tinggi, tetapi mereka kehilangan
bagian yang lain yaitu kepedulian terhadap orang lain (Campbell, dkk, 2002
dalam Myers, 2010:68). Meskipun narsisis seringkali ramah dan mempesona pada
awalnya, lama kelamaan keberpusatan pada dirnya seringkali menyebabkan masalah hubungan dengan orang
lain. Delroy Paulhus dan Kevin Williams (2002) memasukkan narsisme kedalam
"The Dark Triad" yaitu machiavellianisme (manipulatif), narsisme dan
psikopat anti sosial.
Harga diri berkaitan dengan cara penting bagaimana orang
mendekati kehidupan mereka sehari-hari. Mereka yang memiliki harga diri yang
positif cenderung untuk bahagia, sehat, berhasil dan mampu menyesuaikan diri.
Sedangkan orang yang menilai dirinya negatif, secara relatif menjadi tidak
sehat, cemas, tertekan dan pesimis terhadap masa depannya serta mudah atau
cenderung mengalami kegagalan.
0 comments:
Post a Comment