Pada mulanya secara sederhana
diasumsikan bahwa sikap seseorang menentukan perilakunya. Misalnya ketika kita
tertarik pada kampanye salah satu partai politik maka kita mungkin akan
memberikan suara pada pemilihan umum untuk partai politik tersebut. Wicker
(1939) dalam Sears (1985:149-150) setelah melakukan serangkaian penelitian
untuk menguji konsistensi sikap dan perilaku dalam masalah hubungan ras,
kepuasan kerj a dan perilaku mencontek di kelas, mengemukakan kesimpulan bahwa
lebih besar kemungkinan bahwa sikap lanAng atau hanya sedikit berhubungan
dengan perilaku nyata daripada hubungannya dengan tindakan. Namun hal ini
mendapatkan kritikan karena tidak sesuai dengan konsistensi sikap-perilaku.
Seperangkat kondisi penting yang mempengaruhi konsistensi sikap adalah apakah sikap itu merupakan sikap yang kuat dan jelas. Ketidakkonsistenan justru timbul dari sikap yang lemah dan ambivalen. Hal yang dapat memperkuat sikap adalah pengalaman langsung individu di masa lalu yang berkaitan dengan suatu masalah. Misalnya penelitian Manstead dan kawan-kawannya (dalam Sears, 1985:150) tentang prediksi terhadap para ibu yang memiliki anak, apakah mereka akan menyusui sendiri bayinya atau memberi bayinya susu botol. Para peneliti menemukan bahwa sikap ibu itu sendiri merupakan prediksi yang lebih baik tentang pilihan mereka jika mereka telah memiliki anak dan mempunyai pengalaman pribadi menyusui bayinya. Perilaku wanita yang barn menjadi ibu relatif lebih tergantung pada sikap mereka sendiri.
Sumber kekuatan sikap yang lain
adalah adanya kepentingan tetap atau kepentingan diri sendiri dalam suatu
masalah. Misalnya legalitas melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam konteks
hukum yang berdasarkan ketetapan batas usia minimum (mendapatkan KTP, SIM, dan
lain-lain). Kesimpulan umum dalam ahal ini adalah bahwa kekuatan hubungan
sikap-perilaku sebagian bergantung pada sikap orang yang menjadi kuat itu
sendiri. Kadang-kadang sikap menentukan perilaku dan kadang-dang tidak. Hal ini
dikaji dalam teori tindakan yang masuk akal (theory of reasoned action) yang
dilakukan oleh Azjen dan Fishbein (1980) dalam Sears (1985,154-155). Teori ini
berusaha untuk menetapkan faktor-faktor apa yang menentukan konsistensi
sikap-perilaku yang dimulai dengan asumsi bahwa orang berperilaku secara
cult-up rasional.
Model Azjen-Fishbein memiliki
tiga langkah:
a. Model ini memprediksi perilaku
seseorang dan maksudnya. Misalnya jika seorang wanita mengatakan maksudnya
untuk menggunakan alat kontrol kehamilan, maka dia lebih mungkin melakukannya
daripada dia sama sekali tidak punya maksud untuk melakukan-nya.
b. Maksud perilaku dapat
diprediksi dari dua variabel utama yaitu sikap seseorang terhadap perilaku
(misalnya apakah menurut wanita diatas memakai alat kontrol kehamilan merupakan
langkah yang baik dan diinginkannya?) dan persepsinya tentang apa yang
seharusnya dilakukan menurut orang lain (misalnya apakah suaminya menginginkan
dia melakukan hal tersebut? Bagaimana agama akan menilai juga keluarganya yang
lain, misal ibunya?).
c. Sikap terhadap perilaku
diprediksi dengan menggunakan kerangka nilai harapan yang telah diperkenalkan.
Sikap merupakan fungsi dan seberapa baik hasil perilaku itu, dengan
mempertimbangkan sejauhmana kemungkinan masing-masing hasil tersebut. Sikap
juga merupakan alat prediksi "norma subjektif' dipandang dan segi
keyakinan seseorang tentang pilihan orang lain dan motivasinya untuk mengikuti
pilihan tersebut.
Sampai tahap tertentu manusia
adalah penganut kebiasaan. Teori ini memiliki nilai dalam usaha memahami
peranan sikap dalam menentukan perilaku. Pada umumnya kita mempercayai sejumlah
bukti yang mendukung gagasan bahwa sikap mempengaruhi perilaku. Nampaknya benar
bila dikatakan bahwa sikap selalu memberikan tekanan untuk melakukan perilaku
yang konsisten dengan sikap itu meskipun tekanan-tekanan lain juga mempengaruhi
perilaku.
ijin copas pak
ReplyDeleteup
ReplyDeleteIjin publikasi
ReplyDelete