Pendekatan belajar memandang
sikap sebagai kebiasaan, seperti hal-hal lain yang dipelajari, prinsip yang
diterapkan pada bentuk belajar lainnya juga menentukan pembentukan sikap. Teori
insentif menyatakan bahwa jika seseorang mengambil sikap yang memaksimalkan
keuntungan. Setiap sisi suatu masalah memiliki keuntungan dan kerugian dan individu
akan mengambil sisi yang memberikan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan
pendekatan kognitif menegaskan bahwa orang mencari keselarasan dan kesesuaian
dalam sikap mereka dan antara sikap dan perilaku, Hal ini terutama menekankan
penerimaan sikap yang sesuai dengan keseluruhan struktur kognitif seseorang
(dalam Sears, 1985:144-148).
(1)
Teori
Belajar dan Reinforcement
Sikap dipelajari dengan cara yang sama seperti kebiasaan
lainnya. Orang memperoleh informasi dan fakta-fakta, mereka juga mempelajari
perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang berkaitan dengan fakta tersebut.
Proses-proses dasar terjadinya belajar dapat diterapkan pada pembentukan sikap.
Individu dapat memperoleh informasi dan perasaan melalui proses asosiasi.
Asosiasi terbentuk bila stimulus muncul pada saat dan tempat yang sama.
Misalnya saja pengucapan, kata Nazi dengan nada yang penuh kebencian berarti
hal ini menunjukkan adanya asosiasi antara perasaan yang negatif dengan kata
Nazi tersebut. Proses asosiasi ini menimbulkan sikap terhadap benda seperti
juga terhadap manusia. Individu mempelajari karakteristik sebuah rumah, negara,
gagasan, program-program pemerintah atau yang lainnya. Sikap terdiri dan
pengetahuan ditambah dengan komponen evaluatif yang berkaitan. Jadi faktor yang
paling sederhana dalam pembentukan sikap adalah asosiasi yang dimiliki obyek.
Belajar juga dapat terjadi melalui peneguhan kembali. Misalnya, jika mahasiswa
mengambil mata kuliah psikologi sosial dan kemudian mendapatkan nilai A dan
merasa puas, maka mungkin selanjutnya is akan berpikir untuk mengambil mata
kuliah lain yang berkaitan dengan psikologi atau bahkan melanjutkan jenjang
pendidikannya ke strata dua bidang psikologi. Hal ini berrati menunjukkan
adanya peneguhan kembali atas pandangan tentang psikologi sebagai obyek dan
ketika hal ini semakin didorong oleh sikap teman-teman lain yang positif maka
hal ini akan memberikan dorongan. Sikap positif psikologi mendapatkan peneguhan
kembali.
Sikap dapat dipelajari melalui
imitasi. Orang meniru orang lain, terutama jika orang lain itu adalah merupakan
orang yang kuat dan penting. Salah satu sumber yang terpenting dari sikap
sosial dan politik dasar pada awal kehidupan adalah keluarga. Anak-anak suka
meniru sikap orang tuanya. Pada masa remaja mereka suka meniru sikap teman
sebayanya. Mereka sering menemukan kenyataan bahwa mereka telah mempelajari
nilai yang bertentangan dari orang yang berbeda dan berada dalam keadaan stress
untuk memecahkan konflik tersebut. Kemudian bayak mahasiswa menemukan kenyataan
bahwa teman-teman, pengajar mereka dan buku-buku di perguruan tinggi
menghadapkan mereka pada gagasan dan nilai yang berbeda dengan apa yang telah
mereka pelajari sebelumnya. Asosiasi, peneguhan kembali dan imitasi merupakan
mekanisme utama dalam mempelajari sikap. Akibatnya teori belajar mendominasi
penelitian tentang pencapaian sikap. Pentlekatan belajar terhadap sikap relatif
sederhana, pendekatan ini memandang manusia sebagai makhluk yang pasif. Mereka
dihadapkan pada stimulus, mereka belajar melalui suatu proses belajar atau
proses lainnya dan kegiatan belajar ini menentukan sikap seseorang. Sikap
terakhir terdiri dan seluruh asosiasi, nilai dan beberapa informasi lain yang
dikumpulkan individu. Penilaian terakhir seseorang tentang orang, obyek atau
gagasan tergantung pada jumlah dan kekuatan unsur-unsur positif dan negatif
yang dipelajari.
(2) Teori Insentif
Teori insentif
memandang pembentukan sikap sebagai proses menimbang baik buruknya berbagai
kemungkinan posisi dan kemudian mengambil altematif yang terbaik. Salah satu
versi terkenal dan pendekatan insentif terhadap sikap adalah teori respons
kognitif (cognitive response theory) dimana teori ini mengasumsikan bahwa
seseorang memberikan respons terhadap suatu komunikasi dengan beberapa pikiran
positif dan negatif (atau respons kognitif) dan bahwa pikiran ini sebaliknya
menentukan apakah orang akan mengubah sikapnya sebagai akibat komunikasi atau
tidak. Asumsi pokok dari sudut pandang respons kognitif adalah bahwa orang
merupakan pemroses informasi yang aktif yang membangkitkan respons kognitif
terhadap pesan, dan tidak sekedar menjadi penerima pasif dan pesan apapun yang
mereka terima. Pendekatan lainnya adalah pendekatan nilai ekspektansi
(expectancy-valuaes approach). Orang mengambil posisi yang akan membawanya pada
kemungkinan hasil yang terbaik dan menolak posisi yang akan membawanya pada
hasil yang buruk atau yang tidak mengarahkannya pada hasil yang baik.
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa dalam mengambil sikap orang berusaha
memaksimalkan nilai berbagai hasil/akibat yang diharapkan. Perbedaan kedua
versi pendekatan ini adalah bahwa teori insentif mengabaikan asal-usul sikap
dan hanya mempertimbangkan keseimbangan insentif yang terjadi. Selain itu teori
insentif menekankan keuntungan atau kerugian apa yang akan dialami seseorang
dengan mengambil posisi tertentu. Misalnya, apakah teman-tertian menyukai apa
yang dia lakukan, apakah pengalaman itu menyenangkan, dan lain-lain adalah
merupakan pertimbangan-pertimbangan yang cermat. Bila terdapat tujuan-tujuan yang
bertentangan orang akan mengambil posisi yang memaksimalkan keuntungan mereka.
Sehingga orang akan lebih berhati-hati, penuh perhitungan dan menjadi pengambil
keputusan yang aktif. Sebaliknya pendekatan belajar memperlakukan orang sebagai
reflektor lingkungan yang pasif dan karena itu orang menjadi kurang rasional
dan kurang hati-hati.
(3) Teori Konsistensi Kognitif
Kerangka utama lain untuk mempelajari sikap menekankan konsistensi kognitif.
Pendekatan konsistensi kognitif berkembang clan pandangan kognitif dimana
pendekatan ini menggambarkan orang sebagai makhluk yang menemukan makna dan
hubungan dalam struktur kognitifnya. Terdapat tiga pokok yang berbeda dalam
gagasan konsistensi kognitif. Pertama adalah teori keseimbangan yang meliputi
tekanan konsistensi diantara akibat-akibat dalam sistem kognitif yang
sederhana. Sistem seperti ini terdiri dari dua obyek, hubungan diantara kedua
obyek itu dan penilaian individu tentang obyek-obyek tersebut. Kedua adalah
pendekatan konsistensi kognitif-afektif Pendekatan ini menjelaskan bahwa orang
juga berusaha membuat kognisi mereka konsisten dengan afeksi mereka. Dengan
kata lain keyakinan kita, pengetahuan kita, pendirian kita tentang suatu fakta,
ditentukan oleh pilihan afeksi kita, demikian juga sebaliknya. Bagi kita cukup
jelas bahwa informasi menentukan perasaan kita. Misalnya, kita tahu bahwa kita
tidak menyukai diktator yang memenjarakan dan membunuh sebagaian besar lawan
politiknya. Versi konsistensi kognitif ini menjadi lebih menarik karena
penilaian kita mempengaruhi keyakinan kita. Ketiga adalah teori ketidaksesuaian
atau disonance theory. Sikap akan berubah demi mempertahankan konsistensi
perilaku dengan perilaku nyatanya. Hal ini pertama kali dikemukakan oleh Leon
Festinger (dalam Sears., 1985: 148). Teori ketidaksesuaian difokuskan pada dua
sumber pokok ketidakkonsistenan sikap perilaku akibat pengambilan keputusan dan
akibat perilaku yang sating bertentangan dengan sikap (counterattitudinal
behaviour). Biasanya keputusan menimbulkan berbagai ketidakkonsistenan karena
tindakan mengambil keputusan mempunyai arti bahwa kadangkala kita hams membuang
sesuatu yang justru kita inginkan (segala sesuatu yang kita putuskan untuk
tidak dilakukan) dan menerima sesuatu yang tidak begitu diinginkan (bahkan
pilihan yang terbaik pun biasanya memiliki beberapa kekurangan). Pada saat kita
melakukan perilaku yang bertentangan dengan sikapseperti misalnya bekerja pada
jabatan yang membosankan (karena kita membutuhkan uang) atau mengikuti
perkuliahan yang tidak menarik (mungkin karena diwajibkan), maka
ketidakkonsistenan timbul diantara sikap dan perilaku kita. Ketidakkonsistenan
semacam itu dilukiskan sebagai hasil ketidaksesuaian kognitif yang bisa
dikurangi dengan sejumlah cara. Salah satu cara yang sangat menarik adalah dengan
mengubah sikap sehingga konsisten dengan perilaku.
Teori atribusi (atribution
theory) juga telah diterapkan dalam ketidakkonsistenan sikap-perilaku. Bern
(dalam Sears., 1985:149) menyatakan bahwa orang mengetahui sikap mereka sendiri
bukan melalui peninjauan ke dalam diri mereka, tetapi dengan mengambil
kesimpulan dan perilaku mereka sendiri dan persepst mereka tentang situasi.
Implikasinya adalah bahwa perubahan perilaku yang dilakukan oleh seseorang
memungkinkan timbulnya kesimpulan pada orang itu bahwa sikapnya telah berubah.
Misalnya ketika kita setiap hari belajar psikologi maka lama kelamaan mungkin
kita akan menyukai pelajaran ini.
setuju
ReplyDelete