Sunday 27 September 2015

Pendekatan belajar memandang sikap sebagai kebiasaan, seperti hal-hal lain yang dipelajari, prinsip yang diterapkan pada bentuk belajar lainnya juga menentukan pembentukan sikap. Teori insentif menyatakan bahwa jika seseorang mengambil sikap yang memaksimalkan keuntungan. Setiap sisi suatu masalah memiliki keuntungan dan kerugian dan individu akan mengambil sisi yang memberikan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan pendekatan kognitif menegaskan bahwa orang mencari keselarasan dan kesesuaian dalam sikap mereka dan antara sikap dan perilaku, Hal ini terutama menekankan penerimaan sikap yang sesuai dengan keseluruhan struktur kognitif seseorang (dalam Sears, 1985:144-148).

(1)                Teori Belajar dan Reinforcement
Sikap dipelajari dengan cara yang sama seperti kebiasaan lainnya. Orang memperoleh informasi dan fakta-fakta, mereka juga mempelajari perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang berkaitan dengan fakta tersebut. Proses-proses dasar terjadinya belajar dapat diterapkan pada pembentukan sikap. Individu dapat memperoleh informasi dan perasaan melalui proses asosiasi. Asosiasi terbentuk bila stimulus muncul pada saat dan tempat yang sama. Misalnya saja pengucapan, kata Nazi dengan nada yang penuh kebencian berarti hal ini menunjukkan adanya asosiasi antara perasaan yang negatif dengan kata Nazi tersebut. Proses asosiasi ini menimbulkan sikap terhadap benda seperti juga terhadap manusia. Individu mempelajari karakteristik sebuah rumah, negara, gagasan, program-program pemerintah atau yang lainnya. Sikap terdiri dan pengetahuan ditambah dengan komponen evaluatif yang berkaitan. Jadi faktor yang paling sederhana dalam pembentukan sikap adalah asosiasi yang dimiliki obyek. Belajar juga dapat terjadi melalui peneguhan kembali. Misalnya, jika mahasiswa mengambil mata kuliah psikologi sosial dan kemudian mendapatkan nilai A dan merasa puas, maka mungkin selanjutnya is akan berpikir untuk mengambil mata kuliah lain yang berkaitan dengan psikologi atau bahkan melanjutkan jenjang pendidikannya ke strata dua bidang psikologi. Hal ini berrati menunjukkan adanya peneguhan kembali atas pandangan tentang psikologi sebagai obyek dan ketika hal ini semakin didorong oleh sikap teman-teman lain yang positif maka hal ini akan memberikan dorongan. Sikap positif psikologi mendapatkan peneguhan kembali.
Sikap dapat dipelajari melalui imitasi. Orang meniru orang lain, terutama jika orang lain itu adalah merupakan orang yang kuat dan penting. Salah satu sumber yang terpenting dari sikap sosial dan politik dasar pada awal kehidupan adalah keluarga. Anak-anak suka meniru sikap orang tuanya. Pada masa remaja mereka suka meniru sikap teman sebayanya. Mereka sering menemukan kenyataan bahwa mereka telah mempelajari nilai yang bertentangan dari orang yang berbeda dan berada dalam keadaan stress untuk memecahkan konflik tersebut. Kemudian bayak mahasiswa menemukan kenyataan bahwa teman-teman, pengajar mereka dan buku-buku di perguruan tinggi menghadapkan mereka pada gagasan dan nilai yang berbeda dengan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya. Asosiasi, peneguhan kembali dan imitasi merupakan mekanisme utama dalam mempelajari sikap. Akibatnya teori belajar mendominasi penelitian tentang pencapaian sikap. Pentlekatan belajar terhadap sikap relatif sederhana, pendekatan ini memandang manusia sebagai makhluk yang pasif. Mereka dihadapkan pada stimulus, mereka belajar melalui suatu proses belajar atau proses lainnya dan kegiatan belajar ini menentukan sikap seseorang. Sikap terakhir terdiri dan seluruh asosiasi, nilai dan beberapa informasi lain yang dikumpulkan individu. Penilaian terakhir seseorang tentang orang, obyek atau gagasan tergantung pada jumlah dan kekuatan unsur-unsur positif dan negatif yang dipelajari.

(2) Teori Insentif 
Teori insentif memandang pembentukan sikap sebagai proses menimbang baik buruknya berbagai kemungkinan posisi dan kemudian mengambil altematif yang terbaik. Salah satu versi terkenal dan pendekatan insentif terhadap sikap adalah teori respons kognitif (cognitive response theory) dimana teori ini mengasumsikan bahwa seseorang memberikan respons terhadap suatu komunikasi dengan beberapa pikiran positif dan negatif (atau respons kognitif) dan bahwa pikiran ini sebaliknya menentukan apakah orang akan mengubah sikapnya sebagai akibat komunikasi atau tidak. Asumsi pokok dari sudut pandang respons kognitif adalah bahwa orang merupakan pemroses informasi yang aktif yang membangkitkan respons kognitif terhadap pesan, dan tidak sekedar menjadi penerima pasif dan pesan apapun yang mereka terima. Pendekatan lainnya adalah pendekatan nilai ekspektansi (expectancy-valuaes approach). Orang mengambil posisi yang akan membawanya pada kemungkinan hasil yang terbaik dan menolak posisi yang akan membawanya pada hasil yang buruk atau yang tidak mengarahkannya pada hasil yang baik. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa dalam mengambil sikap orang berusaha memaksimalkan nilai berbagai hasil/akibat yang diharapkan. Perbedaan kedua versi pendekatan ini adalah bahwa teori insentif mengabaikan asal-usul sikap dan hanya mempertimbangkan keseimbangan insentif yang terjadi. Selain itu teori insentif menekankan keuntungan atau kerugian apa yang akan dialami seseorang dengan mengambil posisi tertentu. Misalnya, apakah teman-tertian menyukai apa yang dia lakukan, apakah pengalaman itu menyenangkan, dan lain-lain adalah merupakan pertimbangan-pertimbangan yang cermat. Bila terdapat tujuan-tujuan yang bertentangan orang akan mengambil posisi yang memaksimalkan keuntungan mereka. Sehingga orang akan lebih berhati-hati, penuh perhitungan dan menjadi pengambil keputusan yang aktif. Sebaliknya pendekatan belajar memperlakukan orang sebagai reflektor lingkungan yang pasif dan karena itu orang menjadi kurang rasional dan kurang hati-hati.

(3) Teori Konsistensi Kognitif 
Kerangka utama lain untuk mempelajari sikap menekankan konsistensi kognitif. Pendekatan konsistensi kognitif berkembang clan pandangan kognitif dimana pendekatan ini menggambarkan orang sebagai makhluk yang menemukan makna dan hubungan dalam struktur kognitifnya. Terdapat tiga pokok yang berbeda dalam gagasan konsistensi kognitif. Pertama adalah teori keseimbangan yang meliputi tekanan konsistensi diantara akibat-akibat dalam sistem kognitif yang sederhana. Sistem seperti ini terdiri dari dua obyek, hubungan diantara kedua obyek itu dan penilaian individu tentang obyek-obyek tersebut. Kedua adalah pendekatan konsistensi kognitif-afektif Pendekatan ini menjelaskan bahwa orang juga berusaha membuat kognisi mereka konsisten dengan afeksi mereka. Dengan kata lain keyakinan kita, pengetahuan kita, pendirian kita tentang suatu fakta, ditentukan oleh pilihan afeksi kita, demikian juga sebaliknya. Bagi kita cukup jelas bahwa informasi menentukan perasaan kita. Misalnya, kita tahu bahwa kita tidak menyukai diktator yang memenjarakan dan membunuh sebagaian besar lawan politiknya. Versi konsistensi kognitif ini menjadi lebih menarik karena penilaian kita mempengaruhi keyakinan kita. Ketiga adalah teori ketidaksesuaian atau disonance theory. Sikap akan berubah demi mempertahankan konsistensi perilaku dengan perilaku nyatanya. Hal ini pertama kali dikemukakan oleh Leon Festinger (dalam Sears., 1985: 148). Teori ketidaksesuaian difokuskan pada dua sumber pokok ketidakkonsistenan sikap perilaku akibat pengambilan keputusan dan akibat perilaku yang sating bertentangan dengan sikap (counterattitudinal behaviour). Biasanya keputusan menimbulkan berbagai ketidakkonsistenan karena tindakan mengambil keputusan mempunyai arti bahwa kadangkala kita hams membuang sesuatu yang justru kita inginkan (segala sesuatu yang kita putuskan untuk tidak dilakukan) dan menerima sesuatu yang tidak begitu diinginkan (bahkan pilihan yang terbaik pun biasanya memiliki beberapa kekurangan). Pada saat kita melakukan perilaku yang bertentangan dengan sikapseperti misalnya bekerja pada jabatan yang membosankan (karena kita membutuhkan uang) atau mengikuti perkuliahan yang tidak menarik (mungkin karena diwajibkan), maka ketidakkonsistenan timbul diantara sikap dan perilaku kita. Ketidakkonsistenan semacam itu dilukiskan sebagai hasil ketidaksesuaian kognitif yang bisa dikurangi dengan sejumlah cara. Salah satu cara yang sangat menarik adalah dengan mengubah sikap sehingga konsisten dengan perilaku. 
Teori atribusi (atribution theory) juga telah diterapkan dalam ketidakkonsistenan sikap-perilaku. Bern (dalam Sears., 1985:149) menyatakan bahwa orang mengetahui sikap mereka sendiri bukan melalui peninjauan ke dalam diri mereka, tetapi dengan mengambil kesimpulan dan perilaku mereka sendiri dan persepst mereka tentang situasi. Implikasinya adalah bahwa perubahan perilaku yang dilakukan oleh seseorang memungkinkan timbulnya kesimpulan pada orang itu bahwa sikapnya telah berubah. Misalnya ketika kita setiap hari belajar psikologi maka lama kelamaan mungkin kita akan menyukai pelajaran ini. 

1 comment:

Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget