Psikologi Pendidikan (
Selayang Pandang )
Landasan Teori
Pendidikan bukan hanya soal kemampuan
untuk menguasai informasi teknologi , tetapi kemampuan untuk
menginternalisasikan nilai dalam kehidupan. Proses penginternalisasian nilai
ini perlu menyentuh analisir-analisir tidak sadar di dalam tiap pribadi ,
sehingga ia mampu secara bebas untuk memilih dan bertanggung jawab atas
pilihannya serta agar mengenal distorsi-distorsi kesadarannya.[1]
Menurut Naga (2003) pendidikan
melingkupi area yang luas di belantara kehidupan manusia. Salah satu elemennya
adalah pendidikan sekolah, sedangkan pendidikan diperguruan tinggi hanya
merupakan bagian dari pendidikan yang luas, ia memiliki karakteristik sendiri.
Apabila dikaitkan dengan kondisi saat ini yang terus menerus dilingkupi beragam
problematika di berbagai kehidupan, maka pendidikan tinggi memerlukan perubahan
guna mengatasi problematika tersebut. Menurut Daud Yusuf (dalam Naga,2003)
bahwa pendidikan sekolah pra Perguruan Tinggi adalah pusat kebudayaan ,
sedangkan pendidikan di Perguruan Tinggi merupakan masyarakat ilmiah ,
sekalipun pendidikan kebudayaan diletakkan di pendidikan sekolah pra pendidikan
tinggi, tidak berarti bahwa pusat pendidikan berhenti di sekolah. Melalui
dimensi yang berbeda, kebudayaan masih perlu menjadi bagian dari pendidikan
tinggi, walaupun titik berat pendidikan ini bertumpu kepada ilmu. Hal ini
menyiratkan makna bahwa di Perguruan Tinggi , mahasiswa tidak sekedar menggali
ilmu, tetapi juga menghayati hidup berbudaya (kampus sebagai basis moral).[2]
Para pakar berpendapat bahwa hasil pendidikan
minimal di Perguruan Tinggi adalah mampu membuahkan manusia yang tahu, bisa ,dan mau (Naga, 2003). Pendapat tersebut senada dengan ide Ruth Beard
(dalam Naga, 2003) yang menyatakan bahwa keluaran pendidikan tinggi harus
menguasai 3 hal, yakni :knowledge,
skill, dan attitudes. Sementara
itu Ramsden (dalam Naga, 2003) menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan tinggi
adalah terkait dengan kemampuan tingkat tinggi yang mencakup pengembangan
intelektual umum serta pengembangan abilitas khusus dibidang ilmu dan
profesi.Didalam konsep pendidikan, pengetahuan diraih melalui pembelajaran sehingga
mahasiswa menjadi terpelajar, keterampilan diraih melalui pelatihan sehingga
terlatih, sikap diraih melalui pendidikan sehingga terdidik.Terpelajar ,
terlatih , dan terdidik merupakan keunggulan pada pendidikan di Perguruan
Tinggi. Oleh karena itu , keunggulan di bidang pengetahuan, keterampilan, dan
sikap ii hendaknya dapat menelurkan temuan ilmiah serta intervensi atau
rekacipta (Naga,2003)[3].
Psikologi pendidikan dimaknai sebagai
subdisiplin psikologi yang menelaah masalah-masalah psikologis yang terjadi
dalam dunia pendidikan (terkait dengan proses belajar, mengajar, dan proses
belajar-mengajar), dapat digunakan sebagai pedoman praktis , disamping sebagai
kajian teoretik (Syah, 2001). Mengkaji
definisi tersebut maka sudah selayaknya bahwa bagi setiap guru/pendidik (apapun
bidang keilmuannya) diharapkan memiliki (lebih baik menguasai) pengetahuan
psikologi pendidikan yang memadai agar dapat mendidik para siswa melalui proses
belajar-mengajar yang berdaya guna dan berhasil guna, meskipun demikian psikologi
pendidikan jangan dipandang satu-satunya gudang penyimpanan segala jawaban yang
benar dan pasti atas problematika kependidikan yang dihadapi. Sebaliknya, guru
tetap perlu tahu bahwa dalam psikolgi pendidikan terdapat serangkaian stok
informasi mengenai teori-teori dan praktek belajar , mengajar, dan
belajar-mengajar yang bias dipilih. Dalam hal ini tentu pilihannya akan
diselaraskan dengan kebutuhan kontekstual sesuai tuntutan ruang dan zaman[4].
Analisis Teori
Akar
kata pendidikan adalah “didik” atau “mendidik” yang secara harfiah artinya
memelihara dan memberi latihan (Syah, 2010: 32)[5].
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997: 232), pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (proses; perbuatan;
cara mendidik). Senada dengan definisi ini adalah definisi yang disampaikan
oleh Ralph W. Tyler, yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses mengubah
pola perilaku manusia. Perilaku di sini dalam pengertian yang luas, yang
meliputi pemikiran dan perasaan. Pendidikan dipandang dengan cara ini adalah
ketika sebuah lembaga pendidikan menghendaki para peserta didik belajar secara
mandiri untuk mengidentifikasi perubahan yang diperlukan dalam pola perilaku
para peserta didik (Tyler, 1973: 6).
Pengajaran merupakan totalitas
aktivitas belajar mengajar yang diawali dengan perencanaan dan diakhiri dengan
evaluasi, yang kemudian diteruskan dengan follow up (tindak lanjut). Secara
lebih jelas dapat dikatakan, pengajaran adalah kegiatan yang mencakup
semua/meliputi seluruh kegiatan yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai
tujuan-tujuan khusus pengajaran (menentukan entry-behavior peserta didik, menyusun
rencana pelajaran, memberikan informasi, bertanya, menilai, dan seterusnya)
(Rohani, 2004: 68)
Berdasarkan uraian tersebut di atas
jelas sekali terdapat benang merah antara “pendidikan” dan “pengajaran”.
Pendidikan merupakan konsep idealnya, sedangkan pengajaran merupakan konsep
operasional dalam rangka pengembangan potensi atau kemampuan manusia dengan
melakukan kegiatan mendidik, melatih atau mengajar. Kata mengajar di sini
berarti memberi pelajaran.
Menurut Paul Suparno, sebagaimana
dikutip oleh Muliawan (2005: 132), mengajar adalah suatu proses membantu
seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer
pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (peserta
didik), melainkan membantu seseorang agar dapat mengonstruksi sendiri
pengetahuannya melalui kegiatannya terhadap fenomena dan obyek yang ingin
diketahui.
Pengertian yang lain menyebutkan bahwa
mengajar pada hakekatnya adalah suatu proses, yaitu proses mengatur,
mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar peserta didik, sehingga dapat
menumbuhkan dan mendorong peserta didik melakukan proses belajar. Pada tahap
berikutnya adalah proses memberikan bimbingan dan bantuan kepada peserta didik
dalam melakukan proses belajar (Fathurrohman & Sutikno, 2007: 9).
Berdasarkan arti-arti ini, maka
pengajaran dipahami sebagai proses perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan
(Syah, 2010:
33)[6].
Mengajar di sini bukan hanya memindahkan pengetahuan dengan hafalan. Mengajar
tidak direduksi menjadi mengajar saja, tetapi mengajar menjadi efektif jika
peserta didik “belajar untuk belajar” (learn to learn) (Freire, 2002 : 27).
Mendidik (pedagogy) yang
dikatakan oleh sebagian orang sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungi
sekaligus.Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk untuk memegang
peranan-peranan tertentu pada masa mendatang.Kedua, mentransfer pengetahuan,
sesuai dengan peranan yang diharapkan.Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam
rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan
hidup masyarakat dan peradaban. Butir kedua dan ketiga di atas memberikan
pengerian bahwa mendidik bukan hanya transfer of knowledge tetapi
juga transfer of value. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi
penolong bagi umat manusia.Sementara mengajar hanya pada tataran transfer
of knowledge.
Keteladanan adalah sikap terpuji yang
semestinya melekat pada semua guru.Jadi, dengan demikian, setiap guru
seharusnya menjadi model untuk mendorong pembentukan sikap terpuji peserta
didik.Disinilah tugas guru bukan sekadar mengajar yang sangat teknis, melainkan
mendidik untuk membentuk insan generasi muda yang berperilaku mulia, baik,
jujur serta mampu mengembangkan potensi yang dimiliki oleh siswa didiknya.
Status guru mempunyai
implikasi terhadap peran dan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya. Guru
memiliki satu kesatuan peran dan fungsi yang tidak terpisahkan, antara
kemampuan mendidik, membimbing, mengajar dan melatih. Keempat kemampuan
tersebut merupakan kemampuan integratif, antara satu dengan yang lain tidak
dapat dipisahkan.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa peran dan fungsi guru adalah sebagai pendidik, pengajar,
fasilitator, pembimbing, pelayan, perancang, pengelola, inovator, dan
penilai. Peran dan fungsi guru tersebut membutuhkan keahlian khusus yang
biasanya diperoleh oleh calon guru/ guru disaat mereka menempuh pendidikan
formal keguruan baik di SPG, D2, atau S1 Kependidikan.Namun banyak juga calon
guru/ guru yang belajar dari pengalaman mereka dalam pembelajaran di kelas,
belajar pada masalah-masalah yang mereka hadapi di kelas dan sharing dengan
rekan sejawat.Oleh karena itu seorang guru dituntut untuk selalu belajar dan
belajar.
[1]Indra Ratna, Psikologi Pendidikan (Selayang
Pandang), Yogyakarta: Fakultas Psikologi UNWAMA, 2007 hlm.1
[2]Indra Ratna, Psikologi Pendidikan (Selayang
Pandang), Yogyakarta: Fakultas Psikologi UNWAMA, 2007 hlm.2
[3]Indra Ratna, Psikologi Pendidikan (Selayang
Pandang), Yogyakarta: Fakultas Psikologi UNWAMA, 2007 hlm.4
[4]Indra Ratna, Psikologi Pendidikan (Selayang
Pandang), Yogyakarta: Fakultas Psikologi UNWAMA, 2007 hlm.7
Thanks mas
ReplyDeleteuniversitas psikologi di jogja terbaik jogja mana ya mas????
ReplyDeletemustafa@ sama2 mas
ReplyDeleterita@ Universitas Psikologi dengan akreditasi A di jogja UGM sama Universitas Mercu Buana Yogyakarta mbk, setau saya
ReplyDelete