1. BIAS NEGATIVITAS
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kemungkinan informasi negative akan menonjol dalam ingatan
kita dan karenanya debandingkan dengan informasi yang positif, satu informasi
yang negative akan memberikan pengaruh yang lebih kuat. Hal inilah yang disebut
sebagai bias negativitas (negativity bias) yaitu hal yang mengacu pada fakta
bahwa kita menunjukkan sensitivitas yang lebih besar pada informasi negatif
daripada informasi positif (Kunda, 1999 dalam Baron & Byrne, 2004:91).
Sebagai contoh ketika sedang tertarik dengan seseorang, maka Anda memperoleh
informasi bahwa orang tersebut menyenangkan, baik, pintar, ramah, sangat
menarik secara fisik dan seterusnya. Namun ada sate informasi negatif yaitu
bahwa dia sangat pemilih dalam berteman. Maka kemungkinan informasi inilah yang
melekat dalam ingatan, membayangkan betapa orang tersebut sombong, hanya mau
berteman dengan orang kaya, dan lain-lainnya. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Hal ini dapat dipahami dan perspektif evolusi bahwa kita memiliki sensitivitas
terhadap perubahan di lingkungan sekitar kita yang dapat mengancam keselamatan atau
kesejahteraan kita, sehingga kita memberikan respons yang cepat terhadap hal
ini. Misalnya kemampuan mengenali ekspresi wajah orang lain, dimana kita cepat
mendeteksi ekspresi wajah yang negative (misalnya yang menunjukkan kemarahan
dan permusuhan) daripada ekspresi wajah yang positif (misalnya yang menunjukkan
keramahan).
2. BIAS OPTIMISTIK (OPTIMISTIC BIAS)
Bias optimistik
adalah predisposisi kita untuk mengharapkan agar segala sesuatu berjalan dengan
baik (Baron&Byrne, 2004:93). Sebagai contohnya kebanyakan orang percaya
bahwa mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar dari orang lain untuk
mengalami peristiwa yang positif dan kemungkinan yang lebih kecil untuk
mengalami . peristiwa negatif. Misalnya kebanyakan orang percaya bahwa mereka
memiliki kemungkinan yang lebih besar dari orang lain untuk mendapatkan
pekerjaan yang baik, memiliki keluarga yang bahagia, hidup hingga usia tua dan
seterusnya. Di sisi lain terdapat hal yang disebut sebagai kesalahan
perencanaan (planning fallacy) yaitu kecenderungan untuk membuat prediksi
optimistik berkaitan dengan berapa lama waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan suatu tugas, kecenderungan kita untuk percaya bahwa kita dapat
melakukan lebih banyak hal atau pekerjaan, dalam satu periode waktu daripada yang
sebenarnya bisa kita lakukan. Misalnya kita seringkali merasa dapat
menyelesaikan tugas-tugas dan beberapa mata kuliah dalam waktu satu minggu,
sehingga kita menunda penyelesaian tugas ketika waktunya masih lebih dari
seminggu. Temyata tugas-tugas tersebut tidak dapat selesai dalam waktu seminggu
dan kita tidak mengantisipasi kalau misalnya buku-buku untuk penyelesaian tugas
tidak bisa kita peroleh, komputer kita mengalami kerusakan, printer kita tidak
berfungsi, dan seterusnya. Akibatnya tugas tidak terselesaikan dan kita
memperoleh nilai yang kurang baik di mata kuliah tersebut.
Suatu
pengecualian terhadap aturan optimistik ini adalah ketika hal ini terjadi
secara berlawanan dan terjadi pesimisme. Ketika individu memperkirakan akan
menerima umpan balik atau informasi yang mungkin negative dan yang memiliki
konsekuensi penting, maka tampaknya is akan bersiap untuk menghadapi hal yang
buruk atau bahkan terburuk 1 bracing for loss) dan menunjukkan kebalikan dari
pola optimistik yang biasanya, yaitu cenderung menjadi pesimistis, menunjukkan
meningkatnya kecenderungan untuk mengantisipasi hal yang negatif. Contohnya
ketika semakin banyak jenis beasiswa yang ditawarkan kepada para mahasiswa (hal
positif) maka para mahasiswa menjadi optimis untuk memperolehnya. Disisi lain
jumlah mahasiswa yang ingin mendapatkan beasiswa juga bertambah (hal negatif)
sehingga persaingan semakin ketat. Maka beberapa mahasiswa menunjukkan
pesimisme yang hanya terjadi pada diri mereka dan tidak terhadap temannya,
dalam arti bahwa mahasiswa yang bersangkutan mempersiapkan dirinya untuk
mengantisipasi kemungkinan terburuk bahwa dia tidak mendapatkan beasiswa.
3. PEMIKIRAN KONTERFAKTUAL (COUNTERFACTUAL
THINKING)
Pemikiran
tentang apa yang akan terjadi seandainya-dikenal dalam psikologi sosial sebagai
pemikiran konterfaktual (counterfactual thinking)- muncul dalam berbagai
situasi, tidak hanya pada situasi yang mengecewakan. Pemikiran konterfaktual
adalah kecenderungan untuk membayangkan hasil yang lain daripada yang sesungguhnya
terjadi dalam suatu situasi- berpikir tentang "apa yang terjadi
seandainya...". Misalnya kita sakit flu, padahal seharusnya ada banyak
tugas yang hams kita kerjakan, ada acara reuni dengan teman, menonton sepakbola
dengan teman-teman, dan seterusnya. Maka kita akan berpikir "seandainya
tidak sakit flu maka saya bisa menyelesaikan seluruh tugas, menghadiri acara
reuni yang menyenangkan dan menonton acara sepakbola yang sera bersama
teman-teman". Kemudian karena pengalaman ini kita menjadi lebih menjaga
kesehatan kita di kemudian hari dengan menjaga pola makan, beristirahat yang
cukup, dan lain-lain supaya tidak gampang sakit.
Berpikir dengan
meninjau kembali bisa melibatkan bayangan mengenai kemungkinan yang lebih baik
(upward counterfactuals) atau kemungkinan yang lebih buruk (downward
counterfactuals). Misalnya kita mengalami kecelakaan namun lukanya tidak
terlalu parah meskipun mobil kita rusak berat. Maka kita membayangkan
seandainya kita tidak beruntung, mungkin saja luka kita lebih parah atau terjadi
hal terburuk lainnya. Ketika memikirkan kemungkinan yang lebih baik daripada
yang sebenarnya terjadi, hal ini berdekatan dengan penyesalan. Penyesalan
semacam itu tampaknya lebih kuat intensitasnya ketika melibatkan hal-hal yang
kita lakukan tetapi berharap kita telah melakukannya, dibandingkan dengan
hal-hal yang sebenarnya telah kita lakukan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan
keinginan kita. Misalnya saja kita mengalami kecelakaan mobil akibat kesalahan
sendiri (kecelakaan tunggal), padahal kita sudah mengantisipasi dengan berbagai
persiapan misalnya pergi ke bengkel untuk mengecek kondisi mobil, namun karena
kita kurang berhati-hati karena menelepon sambil mengemudi mengakibatkan
terjadinya kecelakaan tersebut. Maka kita sangat menyesal mengapa tidak menunda
menelepon atau meminggirkan mobil dan berhenti ,sementara untuk menelepon.
Penyesalan itu semakin lama bertahan di benak kita karena menyebabkan orang
lain terluka dan hal ini bisa menghantui kita seumur hidup. Dapat terlihat
bahwa pemikiran konterfaktual ini dapat berpengaruh kuat terhadap kondisi afek
kita.
Sebagai tambahan
kita sering berpikir untuk mengurangi kepahitan dan kekecewaan. Setelah
peristiwa tragis seperti kematian orang yang Etta cintai, orang seringkali
menemukan ketenangan berpikir dengan menyatakan bahwa "tidak ada yang bisa
dilakukan lagi, kematian tersebut memang tidak bisa dihindari". Dengan
kata lain kita menyesuaikan pandangan bahwa kematian memang hal yang tidak bisa
dihindari dan lebih pasti. Sebaliknya ada pemikiran yang berbeda dengan
kenyataan yang terjadi "jika saja penyakitnya didiagnosis lebih
awal..." atau "jika lebih cepat membawanya ke rumah sakit...",
kekecewaan atau penderitaan yang dirasakan mungkin justru meningkat. Jadi
dengan berasumsi bahwa peristiwa negatif atau kekecewaan datang tanpa bisa
dihindar, kita cenderung membuat peristiwa ini bisa diterima.
4. PEMIKIRAN MAGIS (MAGICAL THINKING)
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagai manusia kita cukup rentan terhadap pemikiran magis
(magical thinking). Pemikiran seperti itu menimbulkan asumsi yang tidak
berpegang pada rasionalitas namun terasa kuat pengaruhnya. Pemikiran magis
adalah berpikir dengan melibatkan asumsi yang tidak berdasarkan alasan yang
rasional, misalnya keyakinan bahwa sesuatu yang mirip satu sama lainnya berasal
dan sumber yang sama (Rozin & Nemeroff, 1990 dalam Baron & Byrne,
2004:99-100). Salah satu prinsip dalam pemikiran magis adalah hukum penularan
(law of contagion) yang menyatakan bahwa ketika dua obyek bersentuhan,
masing-masing memberikan miliknya, dan pengaruh sentuhan tersebut terasa jauh
lebih lama walaupun prosesnya telah lama berakhir. Prinsip lainnya adalah hukum
kesamaan (law of similarity) yang menyatakan bahwa hal-hal yang saling
menyerupai akan memiliki dasar ciri yang sama. Prinsip ketiga adalah pemikiran
seseorang yang akan mempengaruhi lingkungan fisik tanpa menggunakan hukum-hukum
fisika.
5. MENEKAN
PIKIRAN (THOUGHT SUPPRESSION)
Pada waktu tertentu, setiap orang pemah mencoba
untuk menekan pikiran tertentu —untuk mencegahnya masuk dalam kesadaran.
Misalnya orang yang sedang diet mungkin mencoba menghindari berbagai pikiran
tentang makanan lezat, orang yang sedang ingin berhenti merokok menghindari
pikiran tentang kenikmatan merokok, dan sebagainya. Hal ini disebut sebagai menekan
pikiran (thought suppression) yaitu usaha untuk mencegah pikiran tertentu
memasuki alam kesadaran. Menurut Daniel Wegner (dalam Baron & Byrne,
2004:100-102) usaha-usaha untuk menyimpan pikiran tertentu di luar
kesadaranmelibatkan dua komponen. Pertama adanya sebuah proses pemantauan yang
otomatis mencari tanda-tanda adanya pemikiran yang tidak diinginkan yang
memaksa untuk muncul ke alam kesadarannya. Ketika proses tersebut terdeteksi
oleh proses pertama, maka proses kedua yang menuntut lebih banyak usaha dan
tidak seotomatis proses pertama (lebih terkontrol), mulai bekerja. Secara umum
orang menekan pikiran guna mempengaruhi pikiran dan perilaku mereka sendiri.
Contohnya, jika kita tidak ingin merasa marah, yang terbaik adalah tidak
berpikir tentang peristiwa yang menyebabkan kita merasa marah kepada orang
lain. Contoh lainnya, jika kita tidak ingin bersedih maka hindari berpikir
tentang peristiwa atau pengalaman yang membuat kita bersedih. Namun kadangkala,
orang menekan pikiran karena diminta oleh orang lain, misalnya seorang terapis
yang mencoba membantu mengatasi masalah pribadi.
PENGARUH
AFEK PADA KOGNISI
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kondisi perasaan sangat berpengaruh pada kesan pertama,
dengan kata lain suasana hati saat ini dapat secara kuat mempengaruhi reaksi
kita terhadap rangsang yang baru pertama kali kita temui. Misalnya pada proses
berlangsungnya wawancara pekerjaan, maka pewawancara yang sedang berada dalam
suasana hati yang menyenangkan cenderung memberikan nilai yang balk terhadap
orang yang diwawancarainya, sebaliknya jika suasana hatinya buruk maka bisa
jadi nilainya menjadi rendah (Bower, 1991; Moyer & Hanson,1985; Clare Shaz
& Conway, 1993; dalam Baron & Byrne, 2004:105-106).
Pengaruh afek
lainnya pada kognisi adalah pada ingatan. Antara lain adanya ingatan yang
bergantung pada suasana hati (mood dependent memory) yaitu fakta bahwa apa yang
kita ingat dalam suatu suasana hati tertentu dapat ditentukan, sebagiannya oleh
apa yang kita pelajari sebelumnya dalam suasana hati tersebut. Misalnya, ketika
kita menyimpan peristiwa yang menyenangkan dalam jangka panjang ketika sedang
berada dalam suasana hati yang baik, maka kita akan cenderung mengingat
peristiwa tersebut ketika berada dalam suatu situasi yang serupa. Pengaruh kedua
adalah efek kesesuaian hati (mood congruence effects) yaitu kecenderungan untuk
menyimpan atau mengingat informasi yang positif ketika berada dalam suasana
hati yang positif dan informasi yang negatif ketika berada dalam suasana hati
yang negatif. Dengan kata lain, kita memperhatikan atau mengingat informasi
yang sesuai dengan suasana hati kita saat itu.