Sunday, 27 September 2015

Pada mulanya secara sederhana diasumsikan bahwa sikap seseorang menentukan perilakunya. Misalnya ketika kita tertarik pada kampanye salah satu partai politik maka kita mungkin akan memberikan suara pada pemilihan umum untuk partai politik tersebut. Wicker (1939) dalam Sears (1985:149-150) setelah melakukan serangkaian penelitian untuk menguji konsistensi sikap dan perilaku dalam masalah hubungan ras, kepuasan kerj a dan perilaku mencontek di kelas, mengemukakan kesimpulan bahwa lebih besar kemungkinan bahwa sikap lanAng atau hanya sedikit berhubungan dengan perilaku nyata daripada hubungannya dengan tindakan. Namun hal ini mendapatkan kritikan karena tidak sesuai dengan konsistensi sikap-perilaku.

Seperangkat kondisi penting yang mempengaruhi konsistensi sikap adalah apakah sikap itu merupakan sikap yang kuat dan jelas. Ketidakkonsistenan justru timbul dari sikap yang lemah dan ambivalen. Hal yang dapat memperkuat sikap adalah pengalaman langsung individu di masa lalu yang berkaitan dengan suatu masalah. Misalnya penelitian Manstead dan kawan-kawannya (dalam Sears, 1985:150) tentang prediksi terhadap para ibu yang memiliki anak, apakah mereka akan menyusui sendiri bayinya atau memberi bayinya susu botol. Para peneliti menemukan bahwa sikap ibu itu sendiri merupakan prediksi yang lebih baik tentang pilihan mereka jika mereka telah memiliki anak dan mempunyai pengalaman pribadi menyusui bayinya. Perilaku wanita yang barn menjadi ibu relatif lebih tergantung pada sikap mereka sendiri.
Sumber kekuatan sikap yang lain adalah adanya kepentingan tetap atau kepentingan diri sendiri dalam suatu masalah. Misalnya legalitas melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam konteks hukum yang berdasarkan ketetapan batas usia minimum (mendapatkan KTP, SIM, dan lain-lain). Kesimpulan umum dalam ahal ini adalah bahwa kekuatan hubungan sikap-perilaku sebagian bergantung pada sikap orang yang menjadi kuat itu sendiri. Kadang-kadang sikap menentukan perilaku dan kadang-dang tidak. Hal ini dikaji dalam teori tindakan yang masuk akal (theory of reasoned action) yang dilakukan oleh Azjen dan Fishbein (1980) dalam Sears (1985,154-155). Teori ini berusaha untuk menetapkan faktor-faktor apa yang menentukan konsistensi sikap-perilaku yang dimulai dengan asumsi bahwa orang berperilaku secara cult-up rasional.

Model Azjen-Fishbein memiliki tiga langkah:
a. Model ini memprediksi perilaku seseorang dan maksudnya. Misalnya jika seorang wanita mengatakan maksudnya untuk menggunakan alat kontrol kehamilan, maka dia lebih mungkin melakukannya daripada dia sama sekali tidak punya maksud untuk melakukan-nya.
b. Maksud perilaku dapat diprediksi dari dua variabel utama yaitu sikap seseorang terhadap perilaku (misalnya apakah menurut wanita diatas memakai alat kontrol kehamilan merupakan langkah yang baik dan diinginkannya?) dan persepsinya tentang apa yang seharusnya dilakukan menurut orang lain (misalnya apakah suaminya menginginkan dia melakukan hal tersebut? Bagaimana agama akan menilai juga keluarganya yang lain, misal ibunya?).
c. Sikap terhadap perilaku diprediksi dengan menggunakan kerangka nilai harapan yang telah diperkenalkan. Sikap merupakan fungsi dan seberapa baik hasil perilaku itu, dengan mempertimbangkan sejauhmana kemungkinan masing-masing hasil tersebut. Sikap juga merupakan alat prediksi "norma subjektif' dipandang dan segi keyakinan seseorang tentang pilihan orang lain dan motivasinya untuk mengikuti pilihan tersebut.

Sampai tahap tertentu manusia adalah penganut kebiasaan. Teori ini memiliki nilai dalam usaha memahami peranan sikap dalam menentukan perilaku. Pada umumnya kita mempercayai sejumlah bukti yang mendukung gagasan bahwa sikap mempengaruhi perilaku. Nampaknya benar bila dikatakan bahwa sikap selalu memberikan tekanan untuk melakukan perilaku yang konsisten dengan sikap itu meskipun tekanan-tekanan lain juga mempengaruhi perilaku. 
Pendekatan belajar memandang sikap sebagai kebiasaan, seperti hal-hal lain yang dipelajari, prinsip yang diterapkan pada bentuk belajar lainnya juga menentukan pembentukan sikap. Teori insentif menyatakan bahwa jika seseorang mengambil sikap yang memaksimalkan keuntungan. Setiap sisi suatu masalah memiliki keuntungan dan kerugian dan individu akan mengambil sisi yang memberikan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan pendekatan kognitif menegaskan bahwa orang mencari keselarasan dan kesesuaian dalam sikap mereka dan antara sikap dan perilaku, Hal ini terutama menekankan penerimaan sikap yang sesuai dengan keseluruhan struktur kognitif seseorang (dalam Sears, 1985:144-148).

(1)                Teori Belajar dan Reinforcement
Sikap dipelajari dengan cara yang sama seperti kebiasaan lainnya. Orang memperoleh informasi dan fakta-fakta, mereka juga mempelajari perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang berkaitan dengan fakta tersebut. Proses-proses dasar terjadinya belajar dapat diterapkan pada pembentukan sikap. Individu dapat memperoleh informasi dan perasaan melalui proses asosiasi. Asosiasi terbentuk bila stimulus muncul pada saat dan tempat yang sama. Misalnya saja pengucapan, kata Nazi dengan nada yang penuh kebencian berarti hal ini menunjukkan adanya asosiasi antara perasaan yang negatif dengan kata Nazi tersebut. Proses asosiasi ini menimbulkan sikap terhadap benda seperti juga terhadap manusia. Individu mempelajari karakteristik sebuah rumah, negara, gagasan, program-program pemerintah atau yang lainnya. Sikap terdiri dan pengetahuan ditambah dengan komponen evaluatif yang berkaitan. Jadi faktor yang paling sederhana dalam pembentukan sikap adalah asosiasi yang dimiliki obyek. Belajar juga dapat terjadi melalui peneguhan kembali. Misalnya, jika mahasiswa mengambil mata kuliah psikologi sosial dan kemudian mendapatkan nilai A dan merasa puas, maka mungkin selanjutnya is akan berpikir untuk mengambil mata kuliah lain yang berkaitan dengan psikologi atau bahkan melanjutkan jenjang pendidikannya ke strata dua bidang psikologi. Hal ini berrati menunjukkan adanya peneguhan kembali atas pandangan tentang psikologi sebagai obyek dan ketika hal ini semakin didorong oleh sikap teman-teman lain yang positif maka hal ini akan memberikan dorongan. Sikap positif psikologi mendapatkan peneguhan kembali.
Sikap dapat dipelajari melalui imitasi. Orang meniru orang lain, terutama jika orang lain itu adalah merupakan orang yang kuat dan penting. Salah satu sumber yang terpenting dari sikap sosial dan politik dasar pada awal kehidupan adalah keluarga. Anak-anak suka meniru sikap orang tuanya. Pada masa remaja mereka suka meniru sikap teman sebayanya. Mereka sering menemukan kenyataan bahwa mereka telah mempelajari nilai yang bertentangan dari orang yang berbeda dan berada dalam keadaan stress untuk memecahkan konflik tersebut. Kemudian bayak mahasiswa menemukan kenyataan bahwa teman-teman, pengajar mereka dan buku-buku di perguruan tinggi menghadapkan mereka pada gagasan dan nilai yang berbeda dengan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya. Asosiasi, peneguhan kembali dan imitasi merupakan mekanisme utama dalam mempelajari sikap. Akibatnya teori belajar mendominasi penelitian tentang pencapaian sikap. Pentlekatan belajar terhadap sikap relatif sederhana, pendekatan ini memandang manusia sebagai makhluk yang pasif. Mereka dihadapkan pada stimulus, mereka belajar melalui suatu proses belajar atau proses lainnya dan kegiatan belajar ini menentukan sikap seseorang. Sikap terakhir terdiri dan seluruh asosiasi, nilai dan beberapa informasi lain yang dikumpulkan individu. Penilaian terakhir seseorang tentang orang, obyek atau gagasan tergantung pada jumlah dan kekuatan unsur-unsur positif dan negatif yang dipelajari.

(2) Teori Insentif 
Teori insentif memandang pembentukan sikap sebagai proses menimbang baik buruknya berbagai kemungkinan posisi dan kemudian mengambil altematif yang terbaik. Salah satu versi terkenal dan pendekatan insentif terhadap sikap adalah teori respons kognitif (cognitive response theory) dimana teori ini mengasumsikan bahwa seseorang memberikan respons terhadap suatu komunikasi dengan beberapa pikiran positif dan negatif (atau respons kognitif) dan bahwa pikiran ini sebaliknya menentukan apakah orang akan mengubah sikapnya sebagai akibat komunikasi atau tidak. Asumsi pokok dari sudut pandang respons kognitif adalah bahwa orang merupakan pemroses informasi yang aktif yang membangkitkan respons kognitif terhadap pesan, dan tidak sekedar menjadi penerima pasif dan pesan apapun yang mereka terima. Pendekatan lainnya adalah pendekatan nilai ekspektansi (expectancy-valuaes approach). Orang mengambil posisi yang akan membawanya pada kemungkinan hasil yang terbaik dan menolak posisi yang akan membawanya pada hasil yang buruk atau yang tidak mengarahkannya pada hasil yang baik. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa dalam mengambil sikap orang berusaha memaksimalkan nilai berbagai hasil/akibat yang diharapkan. Perbedaan kedua versi pendekatan ini adalah bahwa teori insentif mengabaikan asal-usul sikap dan hanya mempertimbangkan keseimbangan insentif yang terjadi. Selain itu teori insentif menekankan keuntungan atau kerugian apa yang akan dialami seseorang dengan mengambil posisi tertentu. Misalnya, apakah teman-tertian menyukai apa yang dia lakukan, apakah pengalaman itu menyenangkan, dan lain-lain adalah merupakan pertimbangan-pertimbangan yang cermat. Bila terdapat tujuan-tujuan yang bertentangan orang akan mengambil posisi yang memaksimalkan keuntungan mereka. Sehingga orang akan lebih berhati-hati, penuh perhitungan dan menjadi pengambil keputusan yang aktif. Sebaliknya pendekatan belajar memperlakukan orang sebagai reflektor lingkungan yang pasif dan karena itu orang menjadi kurang rasional dan kurang hati-hati.

(3) Teori Konsistensi Kognitif 
Kerangka utama lain untuk mempelajari sikap menekankan konsistensi kognitif. Pendekatan konsistensi kognitif berkembang clan pandangan kognitif dimana pendekatan ini menggambarkan orang sebagai makhluk yang menemukan makna dan hubungan dalam struktur kognitifnya. Terdapat tiga pokok yang berbeda dalam gagasan konsistensi kognitif. Pertama adalah teori keseimbangan yang meliputi tekanan konsistensi diantara akibat-akibat dalam sistem kognitif yang sederhana. Sistem seperti ini terdiri dari dua obyek, hubungan diantara kedua obyek itu dan penilaian individu tentang obyek-obyek tersebut. Kedua adalah pendekatan konsistensi kognitif-afektif Pendekatan ini menjelaskan bahwa orang juga berusaha membuat kognisi mereka konsisten dengan afeksi mereka. Dengan kata lain keyakinan kita, pengetahuan kita, pendirian kita tentang suatu fakta, ditentukan oleh pilihan afeksi kita, demikian juga sebaliknya. Bagi kita cukup jelas bahwa informasi menentukan perasaan kita. Misalnya, kita tahu bahwa kita tidak menyukai diktator yang memenjarakan dan membunuh sebagaian besar lawan politiknya. Versi konsistensi kognitif ini menjadi lebih menarik karena penilaian kita mempengaruhi keyakinan kita. Ketiga adalah teori ketidaksesuaian atau disonance theory. Sikap akan berubah demi mempertahankan konsistensi perilaku dengan perilaku nyatanya. Hal ini pertama kali dikemukakan oleh Leon Festinger (dalam Sears., 1985: 148). Teori ketidaksesuaian difokuskan pada dua sumber pokok ketidakkonsistenan sikap perilaku akibat pengambilan keputusan dan akibat perilaku yang sating bertentangan dengan sikap (counterattitudinal behaviour). Biasanya keputusan menimbulkan berbagai ketidakkonsistenan karena tindakan mengambil keputusan mempunyai arti bahwa kadangkala kita hams membuang sesuatu yang justru kita inginkan (segala sesuatu yang kita putuskan untuk tidak dilakukan) dan menerima sesuatu yang tidak begitu diinginkan (bahkan pilihan yang terbaik pun biasanya memiliki beberapa kekurangan). Pada saat kita melakukan perilaku yang bertentangan dengan sikapseperti misalnya bekerja pada jabatan yang membosankan (karena kita membutuhkan uang) atau mengikuti perkuliahan yang tidak menarik (mungkin karena diwajibkan), maka ketidakkonsistenan timbul diantara sikap dan perilaku kita. Ketidakkonsistenan semacam itu dilukiskan sebagai hasil ketidaksesuaian kognitif yang bisa dikurangi dengan sejumlah cara. Salah satu cara yang sangat menarik adalah dengan mengubah sikap sehingga konsisten dengan perilaku. 
Teori atribusi (atribution theory) juga telah diterapkan dalam ketidakkonsistenan sikap-perilaku. Bern (dalam Sears., 1985:149) menyatakan bahwa orang mengetahui sikap mereka sendiri bukan melalui peninjauan ke dalam diri mereka, tetapi dengan mengambil kesimpulan dan perilaku mereka sendiri dan persepst mereka tentang situasi. Implikasinya adalah bahwa perubahan perilaku yang dilakukan oleh seseorang memungkinkan timbulnya kesimpulan pada orang itu bahwa sikapnya telah berubah. Misalnya ketika kita setiap hari belajar psikologi maka lama kelamaan mungkin kita akan menyukai pelajaran ini. 

Sunday, 20 September 2015

Sikap menurut GW Allport (dalam Sears, dkk., 1985:137) adalah keadaan mental dan sarafdari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarh terhadap respons individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya. Sikap terutama digambarkan sebagai kesiapan untuk menanggapi dengan cara tertentu dan menekankan implikasi perilakunya. Sedangkan Krech & Crutchfield (dalam Sears, dkk., 1985:137) yang sangat mendukung perspektif kognitif mendefinisikan sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dan proses motivasional, emosional, perceptual dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia individu.
Beberapa pendapat tentang sikap antara lain (dalam Dayakisni, 2006:113):
a. Sikap merupakan suatu tingkatan afek, baik itu bersifat positif maupun negatif dalam hubungannnya dengan obyek-obyek psikologis (Thurstone).
b. Sikap merupakan suatu prediposisi mental untuk melakukan suatu tindakan (Kimball Young, 1945).
c. Sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan obyek tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975).
d. Sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (Sherif & Sherif, 1956).

Karakteristik sikap adalah:
a. Sikap disimpulkan dari cara-card individu bertingkah laku.
b. Sikap ditujukan mengarah kepada obyek psikologis atau kategori dalam hal ini skema yang dimiliki orang menentukan bagaimana mereka mengkategorisasikan target obyek dimana sikap diarah-kan.
c. Sikap dipelajari.
d. Sikap mempengaruhi perilaku. Pengukuhan sikap yang mengarah pada satu obyek memberikan alasan untuk berperilaku mengarah pada obyek itu dengan suatu cara tertentu.

Sedangkan fungsi sikap Katz (1960) dalam Dayakisni (2006: 116) antara lain adalah:
a. Utilitarian Function dimana sikap memungkinkan untuk memperoleh atau memaksimalkan ganjaran (reward) atau persetujuan dan meminimalkan hukuman. Dengan kata lain sikap dapat berfungsi sebagai penyesuaian sosial, misalnya seseorang dapat memperbaiki ekspresi dan sikapnya terhadap sesuatu obyek tertentu untuk mendapatkan persetujuan atau dukungan.
b. Knowledge Function, yaitu bahwa sikap membantu dalam memahami lingkungan (sebagai skema) dengan melengkapi ringkasan evaluasi tentang obyek dan kelompok obyek atau segala sesuatu yang dijumpai di dunia ini.
c. Value-Expressive Function yaitu sikap kadang-
kadang mengkomunika-sikan nilai dan identitas yang dimiliki seseorang terhadap orang lain.
d. Ego-Defensive Function yaitu sikap melindungi diri, menutupi kesalahan, agresi dan sebagainya dalam rangka mempertahankan diri. Sikap ini mencerminkan kepribadian individu yang bersangkutan dan masalah-masalah yang belum mendapatkan penyelesaian secara tuntas, sehingga individu berusaha mempertahankan dirinya secara tidak wajar karena merasa takut kehilangan statusnya.
Sikap adalah suatu sistem yang terbentuk dari kognisi, perasaan dan kecenderungan perilaku yang saling berkaitan. Perilaku sosial seseorang — apakah perilaku yang melibatkan perilaku ,keagamaan, cara mencari nafkah, kegiatan politik atau jual beli barang — diarahkan oleh sikapnya.
Tindakan sosial individu mencerminkan sikapnya yakni sistem yang selalu ada mengenai evaluasi, perasaan emosional dan kecenderungan tindakan pro dan kontra dalam kaitannya dengan obyek sosial.

Komponen sikap terdiri atas (Sears, 1985:138-141):
1.       Komponen Kognitif dalam suatu sikap terdiri dan keyakinan seseorang mengenai obyek tersebut bersifat "evaluatif yang melibatkan diberikannya kualitas disukai atau tidak disukai, diperlukan atau tidak diperlukan, baik atau buruk terhadap obyek.
2.       Komponen Perasaan dalam suatu sikap berkenaan dengan emosi yang berkaitan dengan obyek tersebut. Obyek tersebut dirasakan sebagai hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. Beban emosional inilah yang memberikan watak tertentu terhadap sikap yaitu watak mantap, tergerak dan termotivasi.
3.       Komponen Kecenderungan Tindakan dalam suatu sikap mencakup semua kesiapan perilaku yang berkaitan dengan sikap. Jika seorang individu bersikap positif terhadap obyek tertentu, maka ia akan cenderung membantu atau memuji / mendukung obyek tersebut. Jika ia bersikap negatif maka ia akan cenderung untuk mengganggu/ menghukum / merusak obyek tersebut.

Sebagai contoh dapat diilustrasikan sikap mahasiswa terhadap senjata nuklir. Misalnya komponen kognitif dapat meliputi beberapa informasi tentang ukurannya, cara pelepasannya, jumlah kepala nuklir pada setiap rudal dan beberapa keyakinan tentang negara-negara yang mungkin memilikinya, daya hancurnya dan kemungkinan penggunaannya. Komponen afektif meliputi perasaan seseortng yang dalam hal ini mungkin didominasi oleh penilaian negatif yang kuat yang mungkin disertai kekhawatiran atau ketakutan akan terjadinya penghancuran oleh nuklir. Komponen perilaku menunjukkan kecenderungan mahasiswa untuk menandatangani petisi dan mengadakan demonstrasi untuk menentang penyebaran rudal berkepala nuklir dan menentang orang-orang yang menggunakan rudal.
Kompleksitas kognitif adalah banyaknya pikiran dan keyakinan yang dimiliki oleh individu tentang sebuah obyek untuk disikapi. Setiap kognisi bisa berbeda dalam tingkat kepentingan. Sikap dapat berupa hal yang cukup rumit dan melibatkan sejumlah kognisi yang mempunyai perbedaan dalam hubungannya dengan inti masalah dalam komponen penilaiannya. Gambaran ini merupakan penyederhanaan yang berlebihan dari berbagai sikap dalam kehidupan nyata. Kesan kita tentang orang lain cenderung menjadi konsisten secara evaluatif. Sebagian besar sikap menjadi cenderung sederhana secara evaluatif. Tidak peduli sejauhmana kita mengenalnya secara umum kita cenderung menyukai atau tidak menyukainya. Bahkan pada tingkat lebih lanjut sikap tentang hubungan masyarakat dimana orang sering tidak memiliki informasi yang memadai sikap mereka cukup konsisten stidaknya bila menghadapi persoalan yang amat genting. Komponen evaluatif yang relatif sederhana dari sikap merupakan faktor penentu perilaku yang utama. Sikap memiliki komponen emosional atau komponen evaluatif yang tidak dimiliki oleh keyakinan akan fakta. Sikap bila telah ditentukan jauh lebih sulit berubah dibandingkan dengan keyakinan akan fakta.
Komponen ketiga dari sikap menyangkut kecenderungan ber-perilaku. Banyak penelitian dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa perilaku nyata sering tidak sesuai dengan sikap dan nampaknya orang dapat hidup cukup nyaman dengan ketidaksesuaian tersebut. Misalnya, banyak perokok percaya bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan dan banyak yang tidak menyukai rasa nikotin. Tetapi sulit bagi mereka untuk melepaskan diri dan kebiasaan tersebut. Perilaku merokok mereka tidak dikendalikan oleh kognisi dan penilaian negatif mereka tentang merokok. Jadi komponen perilaku dan sikap tidak selalu sesuai dengan komponen kognitif dan afelctifnya. Perilaku nyata (overt behaviour) dapat mengontrol komponen evaluatif dan komponen kognitif sikap. Orang dapat berperilaku dalam cam tertentu dan sikap mereka mungkin sejalan. Misalnya saja sekalipun seorang wanita gemar merokok namun ketika ia sedang hamil atau mengandung .maka ia memutuskan untuk berhenti merokok demi kesehatan janinnya. Selama sembilan bulan masa kehamilan maka wanita tersebut akan berhenti merokok. Secara bertahap mungkin ia akan percaya bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan (baik bagi ibu maupun bayinya). Mungkin ia akan belajar untuk tidak menyukai bau dan rasa nikotin dan mungkin ia juga akan mempelajari fakta-fakta tentang bahaya merokok dengan mencari informasi tentang hal itu melalui internet misalnya. Pada waktu bayinya lahir mungkin ia memiliki sejumlah kognisi mengenai keburukan merokok dan penilaian negatif tentang merokok (komponen kognitif dan komponen evaluatif). Jadi hubungan antara komponen kognitif dan afektif sikap di satu pihak dan perilaku nyata di pihak lainnya dapat berlangsung dalam satu arah. 
Menurut Harvey & Smith (dalam Wibowo, 1988:2.10) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi sosial yaitu:
a. Variabel Obyek — Stimulus.
b. Variabel Latar dan Suasana yang mengiringi kehadiran obyek —stimulus.
c. Variabel Perseptornya sendiri.
Dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Variabel Obyek - Stimulus
Karakteristik atau ciri-ciri yang melekat pada obyek persepsi dapat mempengaruhi persepsi kita terhadap obyek itu sendiri. Misalnya kita menangkap obyek-stimulus melalui indera penglihatan, ini disebut sebagai persepsi visual. Sedangkan persepsi auditif adalah jika obyek-stimuli-nya adalah melalui indera pendengaran.
Persepsi sosial menjangkau lebih jauh yakni emosi, sifat dan juga motif yang melandasi perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, kepribadian serta watak seseorang. Dalam persepsi ini apa yang akan dipersepsikan adalah tergantung pada petunjuk-petunjuk yang tertangkap oleh penginderaan kita seperti gerak-gerik, ekspresi wajah, cara duduk dan lain-lainnya. Melalui berbagai petunjuk yang didapat kita mengkonstruksikan hal-hal apa saja yang masuk dalam penginderaan kita sehingga kita dapat menarik kesimpulan seperti misalnya si A sedang sedih, si B adalah orang yang berhati jahat, si C adalah orang yang berwatak dingin dan sebagainya.
Tetapi apa yang kita inderai dapat mengecoh kita. Salah satu kesulitan yang dapat ditemui adalah kenyataan bahwa obyek dalam persepsi sosial khususnya orang-orang bukanlah obyek yang pasif atau statis. Mereka mampu menyembunyikan perasaan, pikiran, niatnya dan sebagainya atau lazim disebut dengan pengelolaan kesan (impressions management), yang kadangkala menipu kita. Orang dapat mengendalikan sikap dan respons orang lain atau lingkungan terhadap dirinya. Pengendalian kesan ini juga mempunyai hubungan yang erat dengan harapan-harapan sosial (social expectation) yang dilekatkan pada suatu peran (role) tertentu. Seorang atasan yang selalu dianggap baik sekali waktu perlu memarahi bawahannya di hadapan banyak orang untuk menunjukkan bahwa dia menghargai adanya kedisiplinan waktu di tempat kerja dan juga bahwa dia perlu menunjukkan kewibawaannya, misalnya. Hal ini bisa menimbulkan adanya rasa penghargaan dari para pegawainya meskipun kelihatarmya sikap atasan yang biasanya diam dan tiba-tiba marah besar menimbulkan adanya persepsi bahwa dia tidak konsisten dalam perilakunya. 


b. Variabel Latar dan Suasana pengiring kehadiran obyek-stimulus
Latar dan suasana atau situasi yang mengiringi kehadiran obyek-stimulus mempunyai pengaruh tertentu terhadap persepsi sosial karena berhubungan erat dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu kelompok, organisasi dan masyarakat. Selaras atau tidaknya perilaku yang diperagakan seseorang dengan hal-hal yang sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat akan dengan cepat mempengaruhi corak persepsi kita terhadap orang lain.
c. Variabel Diri Perseptor
Terdapat beberapa faktor dalam hal ini yaitu:
(a) Faktor Pengalaman. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang mengenai obyek-stimulusnya (sebagai hasil dan seringnya terjadi kontak antara perseptor dengan obyeknya, terutama obyek yang serupa) maka semakin tinggi pula veridikalitasnya.
(b) Faktor Intelegensia, dimana semakin tinggi intelegensinya semakin obyektif penilaiannya terhadap apa raja yang dipersepsi, akan cenderung lebih berhati-hati dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya sebelum menyimpulkan sesuatu serta tidak mudah terpengaruh.
(c)Faktor Kemampuan Menghayati Stimuli.
Adanya kemampuan berempati atau turut menghayati perasaan orang lain sebagaimana yang dialaminya sendiri. Semakin besar kemampuan ini semakin besar pula kemampuan untuk dapat menangkap stimuli sosial sesuai kenyataan yang sesungguhnya.
d ) Faktor Ingatan (Memory) yang akan menghindarkan adanya distorsi atau penyimpangan dalam persepsi. Pengalaman-pengalaman atau kejadian-kejadian masa lampau yang tersimpan dalam ingatan, akan menentukan veridikalitas persepsinya.
(e) Faktor Disposisi Kepribadian,
artinya kecenderungan kepribadian yang relatif menetap pada din seseorang akan turut pula menentukan persepsinya atas sesuatu. Seseorang yang memiliki kepribadian yang otoriter misalnya, akan cenderung bersikap kaku, berpandangan sempit dan merasa dirinya selalu benar.
(f)Faktor Sikap terhadap Obyek-Stimulus.
Sikap secara umum dapat dinyatakan sebagai suatu kecenderungan yang ada pada diri seseorang untuk berpikir atau berpandangan, berperasaan dan berkehendak serta berbuat secara tertentu terhadap obyek. Pengaruh sikap ini seringkali dinyatakan sebagai halo effect yang menyebabkan persepsi seseorang menjadi berat sebelah dan mengalami distorsi.
g) Faktor Kecemasan.
Seseorang yang dihinggapi kecemasan karena berkaitan dengan obyek-stimulinya akan mudah dihadapkan pada hambatan-hambatan dalam mempersepsikan obyek tersebut.
h) Faktor Pengharapan (Expectations).

Merupakan kumpulan dari beberapa bentuk pengharapan yang bersumber dari adanya asumsi-asumsi tertentu mengenai manusia, perilaku dan ciri-cirinya, sampai pada taraf tertentu yang diyakini kebenarannya. Pertama, hal ini berkaitan erat dengan pandangan hidup atau nilai-nilai utama yang dianut seseorang. Misalnya seseorang yang berperilaku altruistik atau suka menolong dan menjaga keharmonisan dalam hidupnya, akan cenderung dipersepsikan secara positif. Kedua, adanya hubungan yang kuat antara ciri-ciri seseorang dengan kelompok dari mana is berasal. Ciri-ciri tersebut dapat merupakan ciri-ciri yang dianggap negatif maupun positif, yang secara keseluruhan merupakan generalisasi mengenai orang-orang yang berasal dan kelompok yang sama. Hasil dari generalisasi ini biasanya disebut- sebagai stereotip sosial. Misalnya, adanya anggapan bahwa orang Batak itu adalah kasar, agresif, berwatak keras dan lain-lain. Sementara orang Jawa loyal, penurut, kurang tegas, percaya hal-hal gaib dan lain-lain. 

Friday, 18 September 2015

Pengertian
Pengetahuan kita tentang seseorang serta harapan kita atas orang-orang lain pertama kali ditentukan oleh kesan yang kita bentuk dan mereka. Pandangan sepintas pada potret seseorang atau pada seseorang yang lewat selintas di hadapan kita akan memberikan gambaran tentang manusia yang bagaimana orang itu, atau mendengar nama saja kita cenderung untuk menggambarkan atau membayangkan seperti apakah pemilik nama itu. Jika dua orang bertemu walau hanya sekejap, mereka saling membentuk kesan satu sama lain. Dalam hubungan selanjutnya, mereka akan membentuk kesan yang lebih mendalam yang menentukan perilaku mereka satu sama lain, apakah mereka akan sering bekerja sama dan sebagainya. Sebagai makhluk sosial kehadiran orang lain memiliki peran dalam kehidupan kita, sehingga kadang kita memerlukan waktu untuk memahami apa yang mereka inginkan, apa yang mereka lakukan, apa yang mereka sukai atau tidak mereka sukai, bagaimana perilaku mereka sekarang dan nanti, dan sebagainya. Kadang penilaian kita benar, namun penilaian kita juga bisa salah atau keliru.
Individu akan menggunakan informasi apa saja yang dapat diperoleh guna membentuk kesan terhadap orang lain, misalnya untuk menilai kepribadiannya serta hipotesis mereka tentang orang yang bagaimanakah mereka itu. Proses ini dinamakan dengan persepsi, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai penglihatan, pengamatan, pemahaman atau tanggapan. Persepsi sosial adalah proses yang kita gunakan untuk mencoba memahami dan mengetahui oranng lain.

Beberapa definisi lain tentang persepsi sosial adalah:
1. Persepsi adalah suatu proses membuat penilaian (judgement) atau membangun kesan (impression) mengenai berbagai macam hal yang yang terdapat dalam lapangan penginderaan seseorang. Penilaian atau pembentukan kesan ini adalah dalam upaya pemberian makna kepada hal-hal tersebut (Menurut Harvey & Smith; Wrigthsman & Deaux dalam Wibowo, 1988:2.3).
2. Suatu proses melekatkan atau memberikan makna kepada informasi sensori yang diterima seseorang (Verderber & Verderber dalam Wibowo,1988:2.3). Persepsi memang bermula dan penginderaan. Proses ini dirangsang oleh kehadiran sesuatu atau sekumpulan obyek yang tertangkap oleh alat-alat indera manusia. Informasi yang disalurkan ke dalam alam pikiran kemudian mengalami tahap pengolahan mulai dari seleksi/evaluasi dan organisasi dari rangsang-rangsang yang diterima dan berakhir pada penafsiran atau interpretasi. Aspek kesan pertama yang paling penting dan kuat adalah evaluasi. Manusia pertama-tama berpikir sesuai dengan rasa suka atau tidak suka jika melihat orang lain. Persepsi berlangsung lebih cepat dari proses pengenalan atau berpikir. Oleh karenanya kadangkala persepsi berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya. Taraf ketepatan atau kesesuaian antara persepsi dengan kenyataan yang sesungguhnya biasa disebut dengan "veridikalitas". Proses yang terjadi dalam persepsi adalah proses asosiasi dimana informasi yang didapatkan melalui pengideraan dikaitkan dengan hal-hal yang ada dan pengalaman-pengalaman orang yang bersangkutan (perseptor) dimasa lampau, dimana asosiasi ini terutama bekerja pada tahap penafsiran.

Dalam Psikologi Sosial dipelajari bagaimana orang merespons rangsang-rangsang sosial dimana rangsang-rangsang sosial ini mencakup:
a. Orang atau sekelompok orang berikut ciri-ciri, kualitas, sikap dan perilakunya.
b. Peristiwa-peristiwa sosial dalam pengertian peristiwa-peristiwa yang melibatkan orang-orang, baik secara langsung maupun tidak langsung, norma-norma dan sebagainya (Wibowo, 1988:2.5). Baron & Byrne (2004:38-46) menunjukkan bahwa dalam persepsi sosial difokuskan pada empat aspek Pertama, komunikasi nonverbal (nonverbal communications) yaitu komunikasi antara individu tanpa melibatkan isi bahasa lisan, namun mengandalkan bahasa non lisan dari ekspresi wajah, kontak mata gerak tubuh dan postur. 
Beberapa yang mempengaruhi adalah perubahan mood, emosi, kelelahan (fatigue), penyakit, obat-obatan, yang mempengaruhi cara individu berpikir dan bertindak. Individu cenderung menampilkan perilaku yang berbeda-beda dalam berbagai keadaan emosional. Informasi keadaan psikologis individu sendiri sering kali tampil dalam lima saluran dasar seperti ekspresi wajah (facial expression), kontak mata (eye contact), gerak tubuh (body movement), postur (posture) dan sentuhan (touching). 
Ekspresi wajah sebagai petunjuk menghadirkan enam emosi dasar manusia dengan jelas seperti marah, takut, bahagia, sedih, terkejut dan jijik. Cara menatap atau memandang juga memberikan isyarat bagaimana perasaan seseorang terhadap kita, apakah suka, apakah tidak menyukai kita atau pemalu. Bahasa tubuh menunjukkan keadaan emosional misalnya karena ketegangan emosional, gugup, marah dan sebagainya. Sentuhan dapat ditafsirkan sebagai afeksi, minat seksual, perhatian dan bahkan agresi. Kedua, adalah atribusi (attribution) yaitu proses kompleks dimana kita berusaha memahami alasan-alasan dibalik perilaku orang lain. 
Menurut Kelley (dalam Baron & Byrne, 2004:52) terdapat tiga sumber penting untuk diperhatikan yaitu konsensus, konsistensi dan distingsi. Consensus adalah derajat kesamaan reaksi orang lain terhadap stimulus atau peristiwa tertentu dengan orang yang sedang kita observasi.
Consistency adalah derajat kesamaan reaksi seseorang terhadap suatu stimulus atau suatu peristiwa yang sama pada waktu yang berbeda. 
Distinctiveness adalah derajat perbedaan reaksi seseorang terhadap. berbagai stimulus atau peristiwa yang berbeda-beda. 
Ketiga, karakteristik pembentukan kesan (impression formation) serta mengelola kesan (impression management). Pembentukan kesan adalah proses dimana kita menyusun kesan tentang seseorang. Manajemen kesan adalah usaha seseorang untuk menampilkan kesan pertama yang disukai orang lain. Keempat, sejauhmana ketepatan persepsi sosial tersebut. Akurasi persepsi sosial ini dapat dilihat dalam proses berpikir kompleks yang biasa kita lakukan berkontribusi terhadap hal ini. Misalnya betapa karakteristik fisik tertentu dapat membuat orang untuk mengembangkan sifat tertentu. Misalnya orang yang sangat menarik diperlakukan ramah oleh orang lain, sehingga rasa percaya dirinya lebih besar dan keyakinan akan kemampuan dirinya juga lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang kurang menarik.


Fungsi Persepsi Sosial 
1. Membantu kita menghadapi berbagai macam orang dan situasi yang kita temui sehari-hari, persepsi membantu kita untuk tahu dan mengerti hal-hal yang kita hadapi. 
2. Pada diri manusia terdapat kebutuhan yang kuat untuk mengenali dan memperoleh kepastian tentang hal-hal yang ditemuinya, sebagaimana adanya safety needs dalam hirarki kebutuhan Maslow, dan persepsi membuat kita siaga menghadapi kemungkinan yang terjadi. 
3. Dalam interaksi sosial kita tidak hanya sekedar mengerti siapa yang kita hadapi, tetapi perlu juga untuk meramalkan atau mengantisipasikan sikap dan perilaku orang lain, dengan siapa kita berinteraksi, agar  interaksi tersebut berjalan dengan lancar. Untuk pengambilan keputusan yang harus cepat dan tidak ada waktu untuk menganalisis situasi atau peristiwa yang kita temui, setidaknya persepsi dapat kita jadikan pegangan untuk sementara waktu. 

Sunday, 13 September 2015

1. BIAS NEGATIVITAS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan informasi negative akan menonjol dalam ingatan kita dan karenanya debandingkan dengan informasi yang positif, satu informasi yang negative akan memberikan pengaruh yang lebih kuat. Hal inilah yang disebut sebagai bias negativitas (negativity bias) yaitu hal yang mengacu pada fakta bahwa kita menunjukkan sensitivitas yang lebih besar pada informasi negatif daripada informasi positif (Kunda, 1999 dalam Baron & Byrne, 2004:91). Sebagai contoh ketika sedang tertarik dengan seseorang, maka Anda memperoleh informasi bahwa orang tersebut menyenangkan, baik, pintar, ramah, sangat menarik secara fisik dan seterusnya. Namun ada sate informasi negatif yaitu bahwa dia sangat pemilih dalam berteman. Maka kemungkinan informasi inilah yang melekat dalam ingatan, membayangkan betapa orang tersebut sombong, hanya mau berteman dengan orang kaya, dan lain-lainnya. Mengapa hal ini dapat terjadi? Hal ini dapat dipahami dan perspektif evolusi bahwa kita memiliki sensitivitas terhadap perubahan di lingkungan sekitar kita yang dapat mengancam keselamatan atau kesejahteraan kita, sehingga kita memberikan respons yang cepat terhadap hal ini. Misalnya kemampuan mengenali ekspresi wajah orang lain, dimana kita cepat mendeteksi ekspresi wajah yang negative (misalnya yang menunjukkan kemarahan dan permusuhan) daripada ekspresi wajah yang positif (misalnya yang menunjukkan keramahan).


2. BIAS OPTIMISTIK (OPTIMISTIC BIAS)
Bias optimistik adalah predisposisi kita untuk mengharapkan agar segala sesuatu berjalan dengan baik (Baron&Byrne, 2004:93). Sebagai contohnya kebanyakan orang percaya bahwa mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar dari orang lain untuk mengalami peristiwa yang positif dan kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami . peristiwa negatif. Misalnya kebanyakan orang percaya bahwa mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar dari orang lain untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, memiliki keluarga yang bahagia, hidup hingga usia tua dan seterusnya. Di sisi lain terdapat hal yang disebut sebagai kesalahan perencanaan (planning fallacy) yaitu kecenderungan untuk membuat prediksi optimistik berkaitan dengan berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu tugas, kecenderungan kita untuk percaya bahwa kita dapat melakukan lebih banyak hal atau pekerjaan, dalam satu periode waktu daripada yang sebenarnya bisa kita lakukan. Misalnya kita seringkali merasa dapat menyelesaikan tugas-tugas dan beberapa mata kuliah dalam waktu satu minggu, sehingga kita menunda penyelesaian tugas ketika waktunya masih lebih dari seminggu. Temyata tugas-tugas tersebut tidak dapat selesai dalam waktu seminggu dan kita tidak mengantisipasi kalau misalnya buku-buku untuk penyelesaian tugas tidak bisa kita peroleh, komputer kita mengalami kerusakan, printer kita tidak berfungsi, dan seterusnya. Akibatnya tugas tidak terselesaikan dan kita memperoleh nilai yang kurang baik di mata kuliah tersebut.
Suatu pengecualian terhadap aturan optimistik ini adalah ketika hal ini terjadi secara berlawanan dan terjadi pesimisme. Ketika individu memperkirakan akan menerima umpan balik atau informasi yang mungkin negative dan yang memiliki konsekuensi penting, maka tampaknya is akan bersiap untuk menghadapi hal yang buruk atau bahkan terburuk 1 bracing for loss) dan menunjukkan kebalikan dari pola optimistik yang biasanya, yaitu cenderung menjadi pesimistis, menunjukkan meningkatnya kecenderungan untuk mengantisipasi hal yang negatif. Contohnya ketika semakin banyak jenis beasiswa yang ditawarkan kepada para mahasiswa (hal positif) maka para mahasiswa menjadi optimis untuk memperolehnya. Disisi lain jumlah mahasiswa yang ingin mendapatkan beasiswa juga bertambah (hal negatif) sehingga persaingan semakin ketat. Maka beberapa mahasiswa menunjukkan pesimisme yang hanya terjadi pada diri mereka dan tidak terhadap temannya, dalam arti bahwa mahasiswa yang bersangkutan mempersiapkan dirinya untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk bahwa dia tidak mendapatkan beasiswa.


3. PEMIKIRAN KONTERFAKTUAL (COUNTERFACTUAL THINKING)
Pemikiran tentang apa yang akan terjadi seandainya-dikenal dalam psikologi sosial sebagai pemikiran konterfaktual (counterfactual thinking)- muncul dalam berbagai situasi, tidak hanya pada situasi yang mengecewakan. Pemikiran konterfaktual adalah kecenderungan untuk membayangkan hasil yang lain daripada yang sesungguhnya terjadi dalam suatu situasi- berpikir tentang "apa yang terjadi seandainya...". Misalnya kita sakit flu, padahal seharusnya ada banyak tugas yang hams kita kerjakan, ada acara reuni dengan teman, menonton sepakbola dengan teman-teman, dan seterusnya. Maka kita akan berpikir "seandainya tidak sakit flu maka saya bisa menyelesaikan seluruh tugas, menghadiri acara reuni yang menyenangkan dan menonton acara sepakbola yang sera bersama teman-teman". Kemudian karena pengalaman ini kita menjadi lebih menjaga kesehatan kita di kemudian hari dengan menjaga pola makan, beristirahat yang cukup, dan lain-lain supaya tidak gampang sakit.
Berpikir dengan meninjau kembali bisa melibatkan bayangan mengenai kemungkinan yang lebih baik (upward counterfactuals) atau kemungkinan yang lebih buruk (downward counterfactuals). Misalnya kita mengalami kecelakaan namun lukanya tidak terlalu parah meskipun mobil kita rusak berat. Maka kita membayangkan seandainya kita tidak beruntung, mungkin saja luka kita lebih parah atau terjadi hal terburuk lainnya. Ketika memikirkan kemungkinan yang lebih baik daripada yang sebenarnya terjadi, hal ini berdekatan dengan penyesalan. Penyesalan semacam itu tampaknya lebih kuat intensitasnya ketika melibatkan hal-hal yang kita lakukan tetapi berharap kita telah melakukannya, dibandingkan dengan hal-hal yang sebenarnya telah kita lakukan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kita. Misalnya saja kita mengalami kecelakaan mobil akibat kesalahan sendiri (kecelakaan tunggal), padahal kita sudah mengantisipasi dengan berbagai persiapan misalnya pergi ke bengkel untuk mengecek kondisi mobil, namun karena kita kurang berhati-hati karena menelepon sambil mengemudi mengakibatkan terjadinya kecelakaan tersebut. Maka kita sangat menyesal mengapa tidak menunda menelepon atau meminggirkan mobil dan berhenti ,sementara untuk menelepon. Penyesalan itu semakin lama bertahan di benak kita karena menyebabkan orang lain terluka dan hal ini bisa menghantui kita seumur hidup. Dapat terlihat bahwa pemikiran konterfaktual ini dapat berpengaruh kuat terhadap kondisi afek kita.
Sebagai tambahan kita sering berpikir untuk mengurangi kepahitan dan kekecewaan. Setelah peristiwa tragis seperti kematian orang yang Etta cintai, orang seringkali menemukan ketenangan berpikir dengan menyatakan bahwa "tidak ada yang bisa dilakukan lagi, kematian tersebut memang tidak bisa dihindari". Dengan kata lain kita menyesuaikan pandangan bahwa kematian memang hal yang tidak bisa dihindari dan lebih pasti. Sebaliknya ada pemikiran yang berbeda dengan kenyataan yang terjadi "jika saja penyakitnya didiagnosis lebih awal..." atau "jika lebih cepat membawanya ke rumah sakit...", kekecewaan atau penderitaan yang dirasakan mungkin justru meningkat. Jadi dengan berasumsi bahwa peristiwa negatif atau kekecewaan datang tanpa bisa dihindar, kita cenderung membuat peristiwa ini bisa diterima.


4. PEMIKIRAN MAGIS (MAGICAL THINKING)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai manusia kita cukup rentan terhadap pemikiran magis (magical thinking). Pemikiran seperti itu menimbulkan asumsi yang tidak berpegang pada rasionalitas namun terasa kuat pengaruhnya. Pemikiran magis adalah berpikir dengan melibatkan asumsi yang tidak berdasarkan alasan yang rasional, misalnya keyakinan bahwa sesuatu yang mirip satu sama lainnya berasal dan sumber yang sama (Rozin & Nemeroff, 1990 dalam Baron & Byrne, 2004:99-100). Salah satu prinsip dalam pemikiran magis adalah hukum penularan (law of contagion) yang menyatakan bahwa ketika dua obyek bersentuhan, masing-masing memberikan miliknya, dan pengaruh sentuhan tersebut terasa jauh lebih lama walaupun prosesnya telah lama berakhir. Prinsip lainnya adalah hukum kesamaan (law of similarity) yang menyatakan bahwa hal-hal yang saling menyerupai akan memiliki dasar ciri yang sama. Prinsip ketiga adalah pemikiran seseorang yang akan mempengaruhi lingkungan fisik tanpa menggunakan hukum-hukum fisika.

5. MENEKAN PIKIRAN (THOUGHT SUPPRESSION) 
Pada waktu tertentu, setiap orang pemah mencoba untuk menekan pikiran tertentu —untuk mencegahnya masuk dalam kesadaran. Misalnya orang yang sedang diet mungkin mencoba menghindari berbagai pikiran tentang makanan lezat, orang yang sedang ingin berhenti merokok menghindari pikiran tentang kenikmatan merokok, dan sebagainya. Hal ini disebut sebagai menekan pikiran (thought suppression) yaitu usaha untuk mencegah pikiran tertentu memasuki alam kesadaran. Menurut Daniel Wegner (dalam Baron & Byrne, 2004:100-102) usaha-usaha untuk menyimpan pikiran tertentu di luar kesadaranmelibatkan dua komponen. Pertama adanya sebuah proses pemantauan yang otomatis mencari tanda-tanda adanya pemikiran yang tidak diinginkan yang memaksa untuk muncul ke alam kesadarannya. Ketika proses tersebut terdeteksi oleh proses pertama, maka proses kedua yang menuntut lebih banyak usaha dan tidak seotomatis proses pertama (lebih terkontrol), mulai bekerja. Secara umum orang menekan pikiran guna mempengaruhi pikiran dan perilaku mereka sendiri. Contohnya, jika kita tidak ingin merasa marah, yang terbaik adalah tidak berpikir tentang peristiwa yang menyebabkan kita merasa marah kepada orang lain. Contoh lainnya, jika kita tidak ingin bersedih maka hindari berpikir tentang peristiwa atau pengalaman yang membuat kita bersedih. Namun kadangkala, orang menekan pikiran karena diminta oleh orang lain, misalnya seorang terapis yang mencoba membantu mengatasi masalah pribadi.

PENGARUH AFEK PADA KOGNISI
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perasaan sangat berpengaruh pada kesan pertama, dengan kata lain suasana hati saat ini dapat secara kuat mempengaruhi reaksi kita terhadap rangsang yang baru pertama kali kita temui. Misalnya pada proses berlangsungnya wawancara pekerjaan, maka pewawancara yang sedang berada dalam suasana hati yang menyenangkan cenderung memberikan nilai yang balk terhadap orang yang diwawancarainya, sebaliknya jika suasana hatinya buruk maka bisa jadi nilainya menjadi rendah (Bower, 1991; Moyer & Hanson,1985; Clare Shaz & Conway, 1993; dalam Baron & Byrne, 2004:105-106).


Pengaruh afek lainnya pada kognisi adalah pada ingatan. Antara lain adanya ingatan yang bergantung pada suasana hati (mood dependent memory) yaitu fakta bahwa apa yang kita ingat dalam suatu suasana hati tertentu dapat ditentukan, sebagiannya oleh apa yang kita pelajari sebelumnya dalam suasana hati tersebut. Misalnya, ketika kita menyimpan peristiwa yang menyenangkan dalam jangka panjang ketika sedang berada dalam suasana hati yang baik, maka kita akan cenderung mengingat peristiwa tersebut ketika berada dalam suatu situasi yang serupa. Pengaruh kedua adalah efek kesesuaian hati (mood congruence effects) yaitu kecenderungan untuk menyimpan atau mengingat informasi yang positif ketika berada dalam suasana hati yang positif dan informasi yang negatif ketika berada dalam suasana hati yang negatif. Dengan kata lain, kita memperhatikan atau mengingat informasi yang sesuai dengan suasana hati kita saat itu.
HEURISTIK
Kognisi kita memiliki keterbatasan. Ketika terlalu banyak informasi yang masuk maka dalam kondisi tersebut bisa terjadi kejenuhan informasi (information overload) dimana tuntutan pada sistem kognitif lebih besar daripada yang bisa diolah. Kejenuhan informasi adalah suatu keadaan dimana pengolahan informasi kita telah berada di luar kapasitas kemampuan yang sesungguhnya (Baron & Byrne, 2004:85). Strategi yang digunakan untuk melebarkan kapasitas kognitif ini harus memenuhi dua persyaratan, yaitu harus menyediakan cara yang cepat dan sederhana untuk dapat mengolah informasi sosial dalam jumlah yang banyak dan hams dapat digunakan-harus berhasil. 
Salah satunya adalah melakukan heuristik (heuristic) yaitu aturan sederhana untuk membuat keputusan kompleks atau untuk menarik kesimpulan secara cepat dan seakan tanpa usaha yang berarti. Cara lain untuk mengatasi fakta bahwa dunia sosial bersifat kompleks, sementara kapasitas pemrosesan informasi kita terbatas adalah dengan melakukan banyak aktivitas-mencakup beberapa aspek pemikiran sosial dan perilaku sosial- secara otomatis (pemrosesan otomatis atau automatic processing). 

Heuristik terdiri dari dua macam yaitu (Baron & Byrne, 2004: 86-87):
a) Heuristik keterwakilan (heuristic representativeness) yaitu sebuah strategi untuk membuat penilaian berdasarkan pada sejauhmana stimuli atau peristiwa tersebut mempunyai kemiripan dengan stimuli atau kategori yang lain. Dengan kata lain kita akan membuat penilaian berdasarkan pada aturan yang relatif sederhana yaitu semakin mirip seseorang dengan ciri-ciri khan orang-orang dan suatu kelompok, semakin mungkin bahwa dia merupakan bagian dari kelompok tersebut.
b) Heuristik ketersediaan (availability heuristics) adalah sebuah strategi untuk membuat keputusan berdasarkan seberapa mudah suatu informasi yang spesifik dapat dimunculkan dalam pikiran kita. Semakin mudah suatu informasi masuk ke pikiran, semakin besar pengaruhnya terhadap penilaian atau keputusan yang akan dibuat. Heuristik ini juga masuk akal, kenyataan bahwa kita dapat secara mudah memikirkan suatu informasi memberikan kesan bahwa informasi tersebut pastilah penting dan harusnya berpengaruh terhadap penilaian atau keputusan yang akan dibuat. 
Heuristik ketersediaan telah terbukti berperan dalam berbagai aspek kognisi sosial. Heuristik ini berhubungan dengan proses lain yang sangat penting yaitu pemaparan awal (priming) yaitu meningkatnya ketersediaan informasi dalam memori atau kesadaran, yang berasal dan hadirnya suatu stimuli atau peristiwa tertentu. Efek pemaparan awal ini antara lain berupa ketakutan yang dibesar-besarkan setelah menonton film horror atau perasaan romantis yang meningkat setelah menonton adegan film romantis.


Kesimpulannya, ternyata pemaparan awal merupakan fakta dasar dalam kognisi sosial. Peristiwa dan kondisi ekstemal bahkan pikiran kita sendiri, dapat meningkatkan ketersediaan informasi-informasi tertentu. Dengan meningkatnya ketersediaan pada gilirannya akan mempengaruhi penilaian kita yang berhubungan dengan informasi tersebut. Dalam pikiran kita "ketika kita memikirkan sesuatu" maka "hal tersebut pastilah hal penting atau sering terjadi atau benar adanya" dan seringkali kita mencapai kesimpulan seperti ini bahkan tanpa didukung oleh realitas sosial.

PEMROSESAN OTOMATIS (AUTOMATIC PROCESSING)
Cara lain untuk mengatur proses kognisi kita yaitu melalui pemrosesan otomatis. Hal ini dapat terjadi setelah pengalaman yang berulang-ulang dengan tugas atau pemaparan terhadap j enis informasi tertentu, kita sampai pada suatu tahap dimana kita dapat melakukan tugas atau informasi tertentu yang seakan tanpa perlu usaha yang benar secara otomatis dan tidak disadari. Sebagai contoh dari pemrosesan otomatis ini adalah ketika kita melakukan dua hal pada satu waktu, misalnya ketika kita belajar mengemudi awalnya kita akan memusatkan perhatian dan sangat serius untuk mengikuti perintah dari instruktur supaya tidak terjadi tabrakan. Namun seiring berjalannya waktu dan pengalaman kita mengemudi yang berulang terjadi, maka kita kemudian dapat mengemudi sambil mengerjakan hal yang lain misalnya sambil mendengarkan musik, mengobrol dan sebagainya. Pada saat inilah terjadi pergantian dari pemrosesan yang terkontrol (controlled processing-yang penuh dengan usaha dan kesadaran) ke pemrosesan otomatis, dimana proses ini dapat menghemat banyak usaha. 
Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget