Tuesday, 24 November 2015

KEPRIBADIAN PADA MASA USIA SETENGAH TUA
Meskipun batas-batas usia pada masa ini sulit ditentukan dan dapat saja disebut sebagai "akhir masa dewasa", namun dapat dianggap bahwa masa ini berlang-sung mulai dari saat di mana status perkawinan, pekerjaan, dan sosial individu telah menjadi tetap dan sampai ke masa klimakterik* atau menopause. Pada tahap kehidupan ini akan terjadi banyak sekali penyakit mental dan emosional. Tetapi, gangguan-gangguan muncul pada masa usia setengah tua tidak dapat dikatakan bahwa penyebabnya adalah faktor biologis atau psikologis yang terjadi pada masa usia setengah tua itu. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa usia setengah tua itu hanya memungkinkan timbulnya atau mempercepat gangguan-gangguan yang sudah ada.
Bidang-bidang penyesuaian diri utama yang hams dihadapi pada masa usia setengah tua adalah menurunnya kekuatan fisik, perubahan susunan ke-luarga, terbatasnya kemungkinan perubahan pada masa yang akan datang, dan klimakterik atau menopause.
Menurunnya Kekuatan Fisik
Selama masa usia setengah tua, sering muncul penyakit fisik, daya tahan dan toleransi dalam menghadapi tekanan fisik tidak begitu besar lagi, dan potensi seksual berkurang. Individu mulai menyadari kemerosotan fisik sedikit demi sedikit. Bagaimana reaksinya terhadap perubahan-perubahan itu tergantung pada kemampuan menyesuaikan diri secara psikologis pada masa sebelumnya, dan reaksi itu mungkin lebih mengganggu daripada perubahan-perubahan itu sendiri.
Perubahan Susunan Keluarga
Pada waktu mencapai usia setengah tua, orang tua atau saudara-saudara kan-dung yang lebih tua mungkin sudah meninggal. Anak-anak biasanya sudah menikah dan meninggalkan rumah serta mungkin juga tinggal di tempat yang jauh. Perubahan-perubahan seperti itu mengganggu akar-akar kekeluargaan. Individu yang tidak pernah memperoleh perasaan aman dalam penyesuaian diri pada waktu dewasa mungkin akan mengalami gangguan emosional dalam menghadapi perubahan-perubahan itu.
Terbatasnya Kemungkinan Perubahan pada Masa yang Akan Datang
Pada masa ini pola hidup biasanya sudah tetap sehingga sedikit sekali kesem-patan untuk berubah. Orang yang berusia setengah tua sadar bahwa dia harus menerima cara hidup tertentu itu. Jika dia tidak puas dengan nasibnya itu, maka biasanya dia merasa bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Apa pun harapan-harapannya mengenai masa depan mungkin tidak dapat menutup ke-tidakbahagiaan yang dialaminya sekarang. Sikap-sikap yang diutarakan di atas akan mempercepat gangguan emosionalnya.
Menopause dan Klimakterik
Masa menopause dan klimaterik biasanya diacu sebagai "perubahan hidup". Pada bagian terakhir usia setengah tua, individu tidak mampu memiliki ketu-runan sebagai akibat perubahan-perubahan tertentu pada kelenjar-kelenjar seks. Dorongan seksual dan kemampuan untuk mengadakan hubungan seks yang memuaskan tetap ada, tetapi kekuatannya sudah mulai berkurang. Perubahan-perubahan ini yang disertai dengan perubahan dalam sistem endokrin, lebih dramatis pada perempuan karena kegiatan menstruasi sedikit demi sedikit ber-henti. Pada beberapa wanita, reaksinya sangat hebat dan mungkin akan meng-alami depresi berat dengan guncangan serta kecemasan, perasaan bersalah dan tidak berharga, dan juga percobaan bunuh diri. Reaksi semacam ini disebut "melankolia involusi" (involutional melancholia). Di samping itu, orang akan mengalami kehilangan harga diri, perasaan tidak berguna dan pesimistik, kehi-langan tenaga, dan keluhan-keluhan psikosomatik. Tetapi pada beberapa indi-vidu, reaksi-reaksi yang khusus terhadap perubahan-perubahan involusi itu hanya sementara dan tidak dramatis. Tidak adanya pemahaman dan pihak ke-luarga mengenai perubahan-perubahan tingkah laku orang yang mengalami penderitaan itu mungkin akan memperberat masalahnya dan menyebabkan retaknya hubungan keluarga yang sebelumnya terbina dengan baik.

KEPRIBADIAN PADA MASA USIA LANJUT
Masa usia lanjut tidak dapat digambarkan dengan jelas karena setiap individu berbeda-beda. Sikap-sikap sebelumnya, situasi kehidupan, dan kekuatan fisik mempengaruhi penyesuaian diri pada tahap terakhir kehidupan ini. Masalah-masalah utama dan penyebab gangguan kepribadian pada usia lanjut adalah keterbatasan fisik yang sangat ketat, ketergantungan, perasaan semakin kurang berguna, dan perasaan terisolasi.
Keterbatasan Fisik
Proses penuaan mungkin mengakibatkan berkurangnya ketajaman pancaindra, khususnya penglihatan dan pendengaran, dan berkurangnya mobilitas. Keterbatasan fungsi psikologis, misalnya melemahnya ingatan dan berkurang-nya kemampuan belajar, mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan pada jaringan otak. Perubahan-perubahan itu menyerang perasaan aman individu dan memperkuat perasaan-perasaan tidak adekuat. Berkurangnya ketajaman pancaindra, yang membatasi kesadaran individu akan lingkungannya mungkin menimbulkan perasaan curiga dan terkucil. Perubahan-perubahan yang berat pada otak mungkin menyebabkan tingkah laku psikotik.
Ketergantungan
Pada masa ini, sering kali ada keadaan terpaksa, yakni ketergantungan fisik, sosial, dan ekonomis, yang mungkin dipersulit lagi oleh perasaan ditolak. Dalam situasi seperti ini individu akan menggunakan pola-pola kekanak-kanakan: bersungut-sungut, mencari perhatian, dan suka membantah.
Perasaan Makin Kurang Berguna
Baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan, masa ini mengurangi bidang-bidang kehidupan di mana individu merasa mampu memberikan sumbangan yang berguna kepada orang-orang lain. Tanggung jawab keluarga dan pekerjaan sudah tidak ada lagi, dan jika tidak diberi kegiatan-kegiatan lain dalam bentuk hobi atau tanggung jawab kecil (misalnya mengasuh bayi) mungkin dia akan mengalami perasaan kosong dan tidak berguna. Orang itu mungkin akan "me-ninggal" secara psikologis dan fisik, sebab tidak ada lagi yang akan dilakukan.
Perasaan Terisolasi

Kehilangan kawan-kawan seumur hidup, mobilitas yang terbatas, dan penda-patan terbatas menyebabkan orang yang berusia lanjut terisolasi dan hubungan sosial. Jika hidupnya kosong dan tidak ada kegiatan yang hams dikerjakan, misalnya membaca atau melaksanakan hobi tertentu, maka sangat sulit sekali baginya untuk mencapai penyesuaian diri secara emosional.
 Dengan berakhirnya masa remaja maka proses perkembangan individu di-anggap selesai, dan masyarakat memandangnya sebagai orang dewasa. Tetapi kadang-kadang terjadi ketergantungan anak remaja diperpanjang dan melam-paui usia belasan tahun karena tetap mempertahankan ikatan emosional dengan keluarga dan karena pendidikan bertahun-tahun diperlukan bagi karier usaha dan profesional. Pada umumnya, individu dianggap dewasa jika dia mulai bertanggung jawab untuk membentuk keluarga sendiri dan mampu memeliharanya secara otonom. Kriteria lain yang penting adalah mampu menyesuaikan diri secara memuaskan dengan pekerjaan.
Meskipun orang dewasa muda menghadapi sejumlah krisis yang mem-pengaruhi .perkembangan kepribadiannya dan beberapa di antara krisis-krisis tersebut menjadi penyebab utama tingkah laku abnormal, namun krisis-krisis itu lebih sering menjadi penyebab sekunder atau penyebab yang mempercepat gangguan-gangguan kepribadian yang terjadi kemudian. Individu yang menca-pai masa dewasa dengan perasaan aman dan percaya akan kemampuan-kemam-puannya sendiri mungkin akan mengalami kecemasan dan gangguan di tengah suatu krisis, tetapi dia akan menghadapinya secara realistik dan mengadakan penyesuaian din yang adekuat. Sebaliknya, orang dewasa muda yang memiliki perasaan tidak aman pada masa kanak-kanak atau remaja, atau ketidakmampuan menyesuaikan diri yang lain apabila menghadapi krisis yang sama mungkin cepat terkena oleh satu gangguan kepribadian, misalnya depresi, kecemasan yang berkepanjangan, atau gangguan psikosomatik.
Pacaran, Perkawinan, dan Menjadi Orang Tua
Penyesuaian diri dengan masalah-masalah pacaran dan perkawinan sebagian besar tergantung pada hubungan antarpribadi individu sebelumnya. Hal yang sangat penting adalah hubungan dengan orang tua. Cara dan keberhasilan indi-vidu dalam melaksanakan peran seksnya dalam hubungan dengan lawan seks lain adalah perkembangan langsung dari identifikasinya dengan orang tua sejenis dan orang tua tidak sejenis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor yang sangat diandalkan bagi keberhasilan dalam pacaran dan perkawinan adalah perkawinan bahagia dari pasangan suami-istri yang baru. Perkawinan sesungguhnya merupakan ujian kestabilan dan kematangan emosi. Dalam perkawinan yang bahagia, dua orang berbagi cinta dan kasih sayang dengan perasaan aman dan kreatif serta menghadapi masalah-masalah biasa dalam penyesuaian din yang akrab dengan cara yang realistik, fleksibel, dan saling memahami satu sama lain. Perkawinan yang tidak bahagia hams dipandang sebagai simtom kelemahan pribadi dalam masing-masing partner. Perkawinan yang tidak bahagia dapat memperkuat dan menyingkapkan gang-guan-gangguan kepribadian yang laten. Faktor-faktor utama yang mendasari ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam perkawinan adalah kekurangan emosional pada masa kanak-kanak, keluarga retak, persiapan perkawinan yang  tidak matang untuk memenuhi tuntutan-tuntutan perkawinan secara fisik dan emosional, dan juga tanggung jawab sosio-ekonomis — banyak ibu yang bekerja (wanita karier) dan sebagainya.
Ketidakbahagiaan perkawinan terungkap pada ketidakmampuan menye-suaikan diri lebih lanjut, misalnya perkembangan penyakit psikosomatik, de-presi, kecemasan, ketidaksetiaan, alkoholisme, perlakuan yang kejam terhadap anak-anak. Faktor-faktor lain yang mungkin menambah rumit perkawinan dan menambah kesulitan emosional adalah ketidakmampuan untuk memperoleh anak (mandul), ketakutan dan perasaan bersalah mengenai hubungan seks da-lam perkawinan, kehamilan dan tanggung jawab sebagai orang tua, perbedaan harapan mengenai peran dalam perkawinan, campur tangan mertua, serta ke-tidakpastian mengenai keuangan. Perkawinan bahagia meningkatkan perasaan pemenuhan diri dan keamanan, memungkinkan suami-istri menangani masalah-masalah sehari-hari secara lebih efektif dan meningkatkan kesatuan keluarga yang menjamin perkembangan kebahagiaan bagi anak-anak.
Penyesuaian Diri dalam Pekerjaan
Sifat masyarakat yang sangat kompleks, berubah-ubah, dan yang berorientasi pada teknologi menimbulkan kesulitan bagi anak-anak muda dewasa dalam memilih pekerjaan. Pada umumnya, motivasi pemilihan pekerjaan dalam ma-syarakat kita dapat dijelaskan dalam beberapa cara. Individu yang telah menye-lesaikan pendidikan Perguruan Tinggi atau pendidikan Sekolah Menengah (atau tidak sempat menyelesaikannya) mencari pekerjaan sebagai sarana penunjang ekonomi dan dalam hal ini dia mencari pekerjaan tertentu yang mungkin di-pilihnya secara kebetulan. Dia tidak mau mencari kesempatan untuk berganti pekerjaan karena meningkatnya tanggung jawab di bidang keuangan (perka-winan terlalu cepat, masih tergantung pada orang tua, dan sebagainya), maka hasilnya mungkin tidak memuaskan, tidak dapat menggunakan kemampuan dengan sepenuhnya, mengalami perasaan rendah diri dan bersalah. Ketidak-puasan terus-menerus terhadap pekerjaan seperti itu menjadi penyebab sejum-lah gangguan kepribadian. Apabila pencari pekerjaan mau mengadakan perco-baan dan berganti-ganti pekerjaan serta tidak dibebani oleh tanggung jawab keuangan keluarga sampai dia menemukan pekerjaan yang cocok dengan minat dan kemampuannya, maka penyesuaian diri dapat benar-benar memuaskan.

Apabila individu pandai memilih pekerjaan dan beranggapan bahwa ada kesempatan-kesempatan yang baik baginya di bidang pekerjaan tersebut, maka dia mungkin mendapatkan kepuasan dan pemenuhan diri pribadi. Pemilihan pekerjaan seperti itu kerap kali dibantu dengan menjalani tes psikologi dan wawancara konseling. Tetapi jika pemilihan itu dipaksakan kepada individu oleh tuntutan orang tua atau jika berdasarkan mekanisme kompensasi yang neurotik, maka penyesuaian diri dengan pekerjaan mungkin berkurang dan bisa menimbulkan gangguan-gangguan kepribadian. Penyesuaian diri yang memuaskan dalam pekerjaan dapat menjadi sumber perasaan aman dan ke-kuatan. Penyesuaian diri yang kurang memuaskan dalam pekerjaan dapat menjadi sumber frustrasi yang berkepanjangan dan menjadi penyebab dari gangguan kepribadian yang lebih berat. 

Monday, 23 November 2015

Istilah masa remaja digunakan untuk menunjukkan masa peralihan dan keter-gantungan dan perlindungan orang dewasa pada ketergantungan terhadap diri sendiri dan penentuan diri sendiri. Inilah masa yang sangat penting dalam mempelajari teknik-teknik kehidupan yang sehat. Masa ini mulai pada usia 12 tahun dan berakhir sekitar usia 17 atau 18 tahun. Masa remaja ditandai dengan munculnya serangkaian perubahan fisiologis yang kritis, yang membawa indi-vidu pada kematangan fisik dan biologis. Perubahan-perubahan ini lebih cepat terjadi pada anak perempuan (kadang-kadang terjadi pada usia 9 atau 10 tahun), sedangkan pada anak laki-laki perubahan itu mungkin baru terjadi pada usia 12 tahun. Sejalan dengan perubahan-perubahan biologis yang mendasar itu, tampaklah beberapa perubahan psikologis, misalnya anak makin tidak ter-gantung pada ikatan-ikatan keluarga, perhatian terhadap hubungan hetero-seksual meningkat, perasaan frustrasi pada ambang kematangan, pematangan minat dan ambisi yang berhubungan dengan pekerjaan.
Perubahan Biologis
Secara umum orang mengatakan bahwa gejala-gejala perubahan fisik pada remaja merupakan tanda-tanda pubertas. Istilah pubertas itu sendiri berasal dari kata "pubes" (bahasa Latin) yang berarti hal yang berhubungan dengan rambut. Jadi, pubertas sebenarnya memiliki arti yang terbatas karena pada masa ini terjadi pertumbuhan rambut pada bagian-bagian tertentu dari tubuh anak. Rambut itu tumbuh pada daerah kemaluan, ketiak, betis; di samping itu juga kumis, cambang, jenggot, mulai tumbuh pada anak laki-laki.
Tanda-tanda pubertas ini menunjukkan juga aktivitas dari kelenjar hormon yang makin giat. Peningkatan aktivitas hormon ini memberikan dampak tidak hanya dalam rambut saja, tetapi juga dalam perubahan-perubahan bentuk tubuh. Itulah sebabnya kata pubertas digeneralisasikan sebagai tanda kedewasaan, dan tidak hanya terbatas pada pertumbuhan rambut di daerah tertentu. Istilah lain yang sering digunakan untuk menunjukkan kedewasaan seseorang adalah menarche, misalnya menstruasi awal (bagi perempuan) dan kematangan seksual.
Selain tumbuhnya rambut pada bagian-bagian badan tertentu dan mens-truasi pada perempuan, dalam proses pematangan fisik terdapat juga hal-hal lain, misalnya kelenjar keringat pada daerah ketiak akan mengalami perkem-bangan kematangan sejalan dengan pubertas (pertumbuhan rambut pada ketiak). Kelenjar keringat ini tidak akan mencapai kematangan penuh sebelum puber-tas juga mencapai kematangan.
Perubahan buah dada yang menunjukkan perkembangan merupakan segi yang penting dalam perubahan tubuh ke arah kedewasaan pada seorang perem-puan. Sulit untuk menentukan mana yang lebih dulu menunjukkan perubahan: apakah buah dada atau menstruasi pertama. Pada beberapa orang, menstruasi mengawali perkembangan seksual dan kemudian barn diikuti oleh perkembang-an dan pertumbuhan buah dada, sedangkan pada beberapa orang lain justru sebaliknya. Perubahan pada anak laki-laki ialah pertumbuhan penis dan buah zakar. Pertumbuhan buah zakar biasanya berlangsung lebih awal daripada per-tumbuhan penis. Kecepatan perbedaan pertumbuhan penis yang sangat men-colok adalah antara usia 14 dan 15 tahun.
Selain perubahan-perubahan fisik yang telah diutarakan di atas, masih ada perubahan-perubahan fisik secara umum yang juga ikut berkembang, misalnya tihggi badan, perubahan-perubahan pada wajah, perut, pinggul, otot, dan suara makin dalam pada anak laki-laki.
Penyebab gangguan kepribadian pada anak remaja terletak pada waktu terjadinya, urutannya, dan reaksi anak terhadapnya dan bukan pada perubahan-perubahan itu sendiri. Anak yang terlalu cepat matang kadang-kadang kaget, malu, atau merasa bersalah karena munculnya perubahan itu, terutama kalau dia belum siap untuk memahami arti dari perubahan tersebut. Sebaliknya, anak yang kematangannya terlambat merasa tidak adekuat karena dia merasa keting-galan dari teman-teman sebayanya. Adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh remaja ini tidak begitu saja dapat diterima. Dia merasakan adanya sesuatu pada dirinya. Dia akan bertanya kepada orang tuanya atau kepada orang lain yang dianggapnya dapat memberikan penjelasan yang bisa memuaskan. Orang tua yang kurang memahami atau tidak bersedia membicarakan perubahan-perubahan ini secara bijaksana dan objektif (apalagi kebanyakan orang tua merasa tabu kalau membicarakan masalah-masalah seks) dengan anak akan menambah kesulitan anak.
Fisik yang memadai dan penampilan tubuh sangat diperhatikan oleh se-orang remaja dan merupakan faktor yang penting dalam perkembangan dan dalam mempertahankan harga dirinya serta hubungan-hubungan sosial. Penanganan yang salah terhadap perubahan-perubahan tubuh pada masa ini dapat menyebabkan pOla-pola kompensasi yang berlebihan atau penyesuaian diri yang tidak adekuat dalam bidang sosial dan seks kalau dia mencapai masa dewasa.

Perubahan Psikologis
Masa remaja adalah masa untuk menguji kemampuan individu dalam melak-sanakan perannya sebagai laki-laki atau sebagai perempuan dan untuk me-ngembangkan keterampilan-keterampilannya dalam peran yang cocok. Seba-gian dari kapasitas itu terletak pada perubahan-perubahan fisik yang telah dijelaskan di atas, tetapi bagian yang lebih besar terletak pada penyesuaian diri secara psikologis yang dicapai. Perubahan-perubahan psikologis dapat diutarakan sebagai berikut.
Emosi yang Tidak Stabil
Ketidakseimbangan dalam diri remaja terutama disebabkan oleh keadaan emosi yang selalu berubah-ubah. Hal ini menyebabkan orang sulit memahami diri remaja dan remaja sendiri sering tidak mengerti dirinya sendiri. Suasana hati yang demikian membuat remaja merasa berada dalam jurang atau menghadapi jalan buntu. Uluran tangan orang lain sangat diperlukan supaya remaja tidak jatuh lebih dalam untuk melakukan perbuatan yang nekat atau perbuatan yang merusak diri sendiri. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus diajar bagaimana dia dapat menyalurkan emosi dan suasana hatinya ke dalam bidang- bidang yang konstruktif dan ke dalam respons-respons yang secara sosial dapat diterima terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat serta memikul tanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya tanpa menyalahkan orang lain.

Perasaan Kosong
Perombakan pandangan hidup yang diperoleh pada masa sebelumnya mening-galkan perasaan kosong di dalam diri remaja. Remaja tidak mengetahui pera-saan kosong tersebut. Ini tidak berarti bahwa remaja tidak dapat mengisi dirinya. Remaja dengan kekosongannya itu justru terbuka bagi pengaruh lain. Karena keterbukaan ini, remaja bisa menjadi umpan dan mangsa bagi orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain.
Masalah Otonomi dan Disiplin
Masalah remaja menjadi rumit pada masa ini karena ketika dia mendekati kematangan dengan berbagai tanggung jawab, dia diharapkan mengembangkan otonomi, tetapi dia masih di bawah kontrol orang tua dan tergantung pada mereka dan keluarganya untuk mendapatkan dukungan. Setiap pembatasan kegiatan atau hukuman dianggap sebagai ancaman terhadap kesadaran otonomi dan perasaan bahwa dirinya penting yang mengakibatkan anak menentang dan memberontak. Keadaan ini menyebabkan rusaknya hubungan baik dengan keluarga dan menghambat kelancaran komunikasi antara orang tua dan remaja. Kalau hal ini berlangsung lama dan tidak bisa diatasi, maka muncullah masalah-masalah penyesuaian diri yang mungkin akan berpengaruh terhadap kepriba-dian dewasa pada masa yang akan datang.
Mementingkan Diri Sendiri
Perhatian remaja terhadap pengujian kemampuannya menyebabkan dia me-mentingkan diri sendiri dan perhatian mementingkan diri sendiri ini kerap kali terungkap pada tingkah laku egosentrik, mengisolasikan diri, atau introvert. Apabila ada sikap pemahaman dari pihak keluarga dan diberikan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman sosial dengan kawan-kawan sebayanya maka anak remaja tadi dapat menghilangkan semangatnya yang terlampau mementingkan diri sendiri. Apabila lingkungan yang menguntungkan itu tidak ada, maka penyesuaian diri yang egosentrik mungkin akan tetap ber-tahan dan menjadi inti dan kepribadian dewasa.
Canggung Bergaul dan Gerak Kaku
 Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan sebagai akibat dari perkembangan fisik menyebabkan munculnya perasaan rendah diri dalam remaja. Perasaan rendah din ini makin bertambah kalau remaja kurang mampu bergaul, berolah raga, dan melakukan keterampilan lainnya. Tetapi sering juga tingkah laku remaj a sangat berlebihan (overacting) untuk menutupi perasaan rendah diri tersebut dan memenuhi kebutuhan bergaul.
Cita-Cita Tinggi
Banyak hal yang diinginkan, tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya. Cita-cita dan angan-angannya mungkin sampai setinggi langit dan tentu saja tidak mungkin tercapai semuanya. Cita-cita dan angan-angan yang muluk-muluk ini sering mengakibatkan perasaan gelisah dalam diri remaja. Untuk menutupi kegelisahan itu, remaja sering mengadakan mekanisme pelarian diri dengan berfantasi dan membual. Remaja menutupi prestasi belajar yang tidak memuaskan dirinya dengan membual tentang keberhasilan yang dilebih-le-b i hkan.
Membentuk Kelompok dan Budaya Kelompok.
Sering terlihat bahwa pembasmian kelompok (gank) sulit. Kebersamaan dan kegiatan kelompok memberikan dorongan moral pada sesama remaja. Dia mendapat kekuatan dari keadaan bersama tersebut. Budaya teman sebaya me-rupakan masa peralihan sebelum sampai pada status orang dewasa dalam masyarakat. Perkembangan rasa tanggung jawab sangat tergantung pada kepuasan-kepuasan yang diperolehnya dalam kelompoknya. Kegagalan dalam bidang ini menyebabkan remaja tadi memiliki perasaan-perasaan tidak adekuat dan tidak peduli akan tanggung jawabnya.
Hubungan Heteroseksual
Penerangan mengenai masalah seks yang tidak benar atau tidak memadai mungkin menjadi faktor dalam perkembangan kesulitan-kesulitan emosional selama masa remaja, lebih-lebih jika pembicaraan-pembicaraan yang berhu-bungan dengan masalah seks dilarang keras. Banyak remaja merasa bahwa segala pertanyaan mengenai seks itu tidak pantas dan memalukan. Kasih sayang orang tua yang berlebih-lebihan biasanya merintangi remaja untuk mengadakan penyesuaian heteroseksual yang memuaskan karena menyulitkan dia untuk mempertimbangkan gagasan meninggalkan rumah. Apabila dia merasa tertarik kepada orang-orang yang tidak sejenis, remaja seperti itu mungkin akan men-cari sifat-sifat yang mirip dengan yang dimiliki orang tuanya.
Memiliki Keinginan Besar untuk Eksplorasi
Keinginan menjelajahi lingkungan alam sekitar sering disalurkan melalui pen-jelajahan alam, pendakian gunung dan juga dalam petualangan-petualangan. Eksplorasi yang dipersiapkan dengan bekal pengetahuan dan untuk memper-luaskannya perlu dikanbangkan. Eksplorasi dan petualangan yang tidak diper-siapkan dengan baik sering membawa malapetaka. Banyak anak remaja terjebak dan mati di pegunungan karena tidak mengetahui dengan baik daerah pegu-nungan tersebut.
Eksperimentasi
Remaja memiliki dorongan yang kuat untuk mencoba dan melakukan kegiatan serta perbuatan orang dewasa. Eksperimentasi yang terbimbing secara kons-truktif bisa menghasilkan pendalaman ilmu dan penemuan pengetahuan baru.
Pilihan Pekerjaan

Banyak remaja kurang mempersiapkan diri untuk pekerjaan. Mereka mengikuti pelajaran-pelajaran di sekolah, tetapi tidak bernilai praktis untuk kehidupan kemudian. Penyesuaian diri dalam bidang pekerjaan mungkin terhambat oleh pengalaman pendidikan atau kerja yang terbatas, campur tangan orang tua, tidak ada minat pada anak remaja atau tidak ada dorongan orang tua, atau remaja itu sendiri tidak mau memikul tanggung jawab pada masa dewasa. 
Akhir masa kanak-kanak biasanya mulai pada usia 5 atau 6 tahun dan tepat pada waktu anak mulai sekolah. Ini adalah masa yang ditandai dengan pertum-buhan fisik yang kuat dan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual yang sangat penting. Pada akhir masa kanak-kanak, anak memperluas lingkungan kegiatan sosialnya di luar kalangan keluarga.
Pada masa ini anak menghadapi pengalaman bersaing. Kegagalan-kega-galan dan penolakan-penolakan sangat berarti baginya. Dengan bertambahnya perhatian terhadap tingkah laku etis dan moral, maka anak didorong oleh pera-saan akan kewajiban dan prestasi. Minatnya beraneka ragam dan pada masa ini bakat-bakatnya yang laten dapat ditemukah. Anak sering hidup dalam dunia khayalan, tetapi dia sering menguji khayalannya ini dengan bekerja dan ber-main. Dia meniru hidup orang dewasa dengan tujuan supaya dia dapat meng-ungkapkan dan memahami peran-peran orang dewasa dalam masyarakat. Bidang-bidang penyesuaian diri yang kritis dibagi menjadi tiga kategori: perkembangan fisik, penyesuaian diri di sekolah; dan sosialisasi.

Perkembangan Fisik
Rintangan, cacat, atau kelainan fisik yang mencolok dalam pertumbuhan dapat menyebabkan masalah penyesuaian diri yang berat bagi anak pada masa ini. Kekurangan-kekurangan ini tidak menguntungkan anak dalam berpartisipasi secara normal dengan kelompok, terutama pada tahap perkembangan ini pe-mahaman dan dukungan dan keluarga makin berkurang ketika dia bergerak menuju masyarakat. Anak-anak terkenal kejam karena mereka cenderung me-manfaatkan kekurangan-kekurangan fisik dari anak-anak lain. Oleh karena itu, kapasitas anak untuk menyesuaikan din terhadap masalah ini sangat tergan-tung pada perasaan aman yang diperolehnya dalam lingkungan keluarga.
Tetapi rintangan, cacat, dan masalah-masalah pertumbuhan itu tidak de-ngan sendirinya menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri secara emosional. Ketidakmampuan menyesuaikan din ini muncul dari sikap anak dan penilaiannya terhadap gambaran tubuhnya yang keduanya sangat dipe-ngaruhi oleh reaksi orang-orang lain di lingkungannya. Salah satu penyesuaian diri yang sangat umum terhadap cacat fisik ini ialah kompensasi yang dapat diungkapkan dengan mengembangkan secara berlebih-lebihan kemampuan khusus, mengembangkan sikap keberanian yang dibuat-boat, atau bahkan lari pada kenakalan atau tingkah laku lain yang menyimpang.

Penyesuaian Diri di Sekolah
Pergi ke sekolah berarti berpisah dengan orang tua, tunduk pada sejumlah norma yang ditetapkan oleh kelompok yang bukan keluarga, dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kelompok, yang semuanya mungkin merupakan sum-ber stres bagi anak. Penanganan tuntutan-tuntutan itu oleh orang tua dan guru dapat membuat pengalaman di sekolah menjadi pengalaman yang sehat dan positif atau juga dapat menjadi rintangan bagi perkembangan kepribadian anak. Pengalaman-pengalaman biasa yang penuh risiko bagi perkembangan anak yang sehat di lingkungan sekolah adalah tekanan-tekanan yang sangat berat untuk mengatasi resistensinya terhadap perpisahan dari rumah, meletakkan ukuran-ukuran prestasi yang melampaui kemampuannya, kebiasaan meng-ancam dan menggertak anak untuk mengikuti tingkah laku model, kritik, dan omelan mengenai penampilan tingkah laku sosialnya, dan perlindungan orang tua secara berlebihan yang membatasi otonomi anak yang sedang tumbuh.
Beberapa masalah penyesuaian diri di sekolah merupakan akibat dari situasi sekolah saja. Tetapi lain halnya dengan masalah-masalah penyesuaian diri yang dasarnya telah diletakkan pada masa prasekolah dan dipercepat oleh stres-stres dari lingkungan sekolah. Masalah yang patut diperhatikan (oleh karena dampaknya dalam jangka panjang mempengaruhi potensi orang dewasa) adalah ketidakmampuan berhitung dan membaca. Ini kadang-kadang merupa-kan perkembangan dan ungkapan simtomatik dari gangguan-gangguan kepriba-dian yang mendasar. Dalam kasus-kasus lain, kegagalan-kegagalan di sekolah dapat menyebabkan gangguan kepribadian karena tekanan pada anak makin meningkat selama masa sekolah.

Sosialisasi
Ketika anak memasuki tahun-tahun akhir masa kanak-kanak biasanya dia mulai bergabung dengan kelompok dan dia menemukan tempatnya sendiri di antara eman-teman sebayanya. Melalui proses sosialisasi ini, dia mulai membedakan peran laki-laki dan wanita, menguji kemampuan-kemampuannya sendiri dalam nubungannya dengan kemampuan dari kawan-kawannya dan mempelajari :vberapa keterampilan social dasar. Apa saja yang mengganggu proses tersebut dapat menimbulkan stres dan gangguan kepribadian. Misalnya, tuntutan yang ierlalu berat bagi anak untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari di rumah, togas pekerjaan rumah yang diberikan sekolah yang membutuhkan waktu lama, dan tugas-tugas lain yang membatasi tingkah laku kelompoknya bisa sangat mengganggu perkembangan sosialnya, dan menimbulkan perasaan dendam yang berlangsung lama dalam dirinya. Kondisi-kondisi lain yang dapat merusak perkembangan anak adalah bila anak dikekang dan tingkah lakunya dibatasi sedemikian rupa agar anak turut serta dalam kegiatan-kegiatan yang lebih me-nyenangkan orang tua daripada menyenangkan dirinya sendiri.
Anak yang memasuki masa kehidupan ini dengan perasaan malu, ter-kekang, atau tidak adekuat, mengalami masalah-masalah sulit dalam penye-suaian diri sama seperti anak yang terlalu dimanjakan dan menjadi egosentrik. Pengalaman-pengalaman kelompok yang berhasil dan memuaskan dapat menghilangkan perasaan malu dan terkekang dalam diri anak dan juga dapat menekan sifat yang terlalu banyak menuntut dan egosentrik. Tetapi, semua pengalaman kelompok anak tidak dapat direncanakan atau diawasi, serta sering kali masalah-masalah yang dibawanya ke dalam kelompok menjadi lebih parah karena diolok-olok, dikucilkan, dan dipetmainkan oleh kawan-kawannya.
Dalam seluruh perkembangan anak selama masa kanak-kanak, Thorpe (Thorpe, 1960:321) mengemukakan beberapa kondisi yang membantu menjaga kestabilan emosi dalam kehidupan selanjutnya sebagai berikut.
1. Fasilitas-fasilitas material yang memadai. Anak yang makanan bergizinya cukup dan yang diperbolehkan tidur menurut kebutuhan dan usia, serta kesehatannya dijaga dengan baik akan membentuk inti dasar bagi kes-tabilan emosi.
2. Kehidupan rumah tangga yang aman. Anak yang kebutuhan akan afeksi dan statusnya dipuaskan di rumah akan mengembangkan pandangan hidup yang pasti dan stabil.
3. Kesempatan-kesempatan untuk mengungkapkan diri. Anak yang diberi kesempatan cukup untuk mengungkapkan dirinya misalnya memilih kawan-kawannya sendiri, memilih pakaiannya, bekerja sama dalam meng-atur rumah tangga — akan membantu mengembangkan keseimbangan dan pengontrolan emosi.
4. Perlindungan terhadap tegangan emosi yang tinggi. Anak-anak kecil membutuhkan perlindungan terhadap pengalaman-pengalaman traumatis yang berat atau situasi-situasi menakutkan yang tidak dapat dipahami dan dinilainya, dan hendaknya selalu diusahakan agar anak-anak tidak menyaksikan orang tua mereka bertengkar terus-menerus.
5. Kesempatan-kesempatan untuk hidup sosial. Melalui hubungan sosial. emosi-emosi dikembangkan dengan cara-cara yang dianggap baik (diakui). Pengalaman seperti itu mengajarkan anak-anak untuk mengekang dan juga mengungkapkan emosi-emosi dengan cara yang dapat diterima oleh orang-orang yang menjadi kawan pergaulan mereka. Anak-anak yang ber-orientasi sosial belajar memikirkan kesejahteraan kawan-kawan seper-mainan dan dengan demikian membangun dasar bagi perkembangan sosial yang bercirikan kestabilan emosi.

Ketika anak memasuki masa praremaja, dia mengalami suatu perubahan yang jelas dalam minat-minat sosialnya dan kesadaran akan jenis kelamin. Pemben-tukan gang-gang dan klik-klik merupakan ciri khas dan kelompok usia ini. Loyalitas kepada gang atau klik menjadi lebih kuat daripada loyalitas kepada orang tua dan kakak-kakaknya. Kemampuan sosial anak diuji, tetapi banyak anak merasa malu ketika mereka mulai sadar akan munculnya masa remaja dan tuntutan sosialnya. 

Friday, 20 November 2015

Inilah masa di mana usaha-usaha sosialisasi benar-benar dilakukan. Masa ini dimulai pada anak yang berusia 2-5 tahun. Pada masa ini, anak mulai menyadari individualitasnya, dan dia dihadapkan dengan masalah kekuasaan dan disiplin. Pada awal masa kanak-kanak dia sudah mulai memperlihatkan bahwa dia tidak begitu tergantung lagi seperti pada masa sebelumnya, sebaliknya dia memper-lihatkan sikap otonominya dalam hal gerak, bisa mengurusi dirinya sendiri da-lam kebutuhan-kebutuhan yang sederhana, dan perkembangan tingkah laku sosial.
Selama masa ini keluarga merupakan lingkungan tempat anak itu me-ngembangkan keterampilan-keterampilan sosial dan mulai belajar mengontrol tingkah lakunya sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan baginya. Perse-tujuan dan celaan orang tua menjadi pedoman utama untuk bertingkah laku, dan cara orang tua memakai norma-norma tersebut merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perkembangan kepribadian. Beberapa faktor penyebab dan tingkah laku abnormal kemudian yang dapat dianggap berasal dari masa awal kanak-kanak adalah hubungan orang tua-anak, kekuasaan dan disiplin, pembiasaan kebersihan (toilet training), perkembangan seksual, agresi dan permusuhan, hubungan dengan saudara-saudara kandung, frustrasi yang ekstrem, dan pengalaman traumatis lain.
Hubungan Orang Tua—Anak
Tingkah laku yang ekstrem antara orang tua dan anak dapat menjadi sumber zangguan emosional dan tingkah laku abnormal. Penyimpangan-penyimpangan dari hubungan orang tua-anak yang sangat penting adalah penolakan, per-lindungan yang berlebihan, pertentangan dalam perkawinan atau keluarga retak.
Penolakan
Karena anak itu tergantung pada orang tuanya dalam hal menilai dirinya sendiri dan dunia luar, maka setiap penolakan dari orang tua akan menimbulkan reaksi negatif pada pihak anak. Penolakan yang kejam dan ekstrem serta berlangsung lama merupakan sumber dari perasaan tidak aman dan ketidakmampuan menye-suaikan diri pada masa-masa yang akan datang. Penolakan orang tua dapat dilakukan dengan berbagai cara: penolakan secara terbuka (terang-terangan), atau secara halus dan tidak disadari. Mungkin juga penolakan itu menjadi suatu pola yang tetap dari tingkah laku orang tua, atau secara tidak tetap yang diperlihatkan oleh salah satu orang tua atau kedua orang tua. Penolakan itu mungkin diungkapkan dengan cara: mengingkari, atau menghalang-halangi, mengomel, mengkritik, atau tetap mempertahankan norma-norma yang tidak mungkin dicapai oleh anak, pilih kasih di antara saudara-saudara kandung, atau mengabaikannya.
Reaksi anak terhadap penolakan itu sendiri tergantung tidak hanya pada kenyataan bahwa dia ditolak, tetapi juga pada cara dan tingkat pengungkapan-nya dan tentu saja pada temperamen anak itu sendiri. Dia mungkin menerima penolakan itu atau memberontak, menarik diri atau menyerang. Tingkah laku abnormal yang muncul dari penolakan orang tua berkisar dari simtom-simtom psikologis yang ringan sampai pada gangguan-gangguan kepribadian yang berat.
Perlindungan yang Berlebihan
Apabila orang tua secara sadar atau tidak sadar mencegah anak mengembang-kan otonomi yang normal dalam interaksinya dengan lingkungan, maka dapat dikatakan orang tua terlalu melindungi anak. Ini mungkin terungkap dalam bentuk kasih sayang yang berlebihan dengan cara memanjakan anak, atau me-ngontrol anak dengan bersikap dingin (kaku) atau menguasainya. Orang tua yang terlalu melindungi anak akan bersikap tunduk kepada semua tuntutan anak itu, atau juga selalu memaksa nilai-nilai, ambisi-ambisi, dan keinginan-keinginan mereka sendiri kepada anak itu. Sering kali perlindungan yang berle-bihan itu juga disebabkan oleh kecemasan-kecemasan orang tua karena pera-saan-perasaan yang tidak adekuat, kesulitan-kesulitan dalam memahami anak, kematian anak-anak lain, atau anak menderita penyakit yang berat. Atau juga perlindungan yang berlebihan itu digunakan oleh orang tua sebagai mekanisme untuk menutupi perasaan bersalah yang muncul dari penolakan anak yang tidak disadari. Perlindungan yang berlebihan mengganggu usaha anak untuk menguji kemampuannya dalam menghadapi tekanan-tekanan dari lingkungan yang menyebabkan dia kurang siap menghadapi kenyataan-kenyataan hidup di luar rumah dan keluarga. Anak yang terlalu dilindungi akan menjadi orang yang penurut atau terlalu banyak menuntut, cemas, dan rasa tidak aman.
Perlindungan berlebihan yang berlangsung lama akan menyebabkan emosi yang tidak stabil dan tidak matang. Anak yang terlalu dilindungi sering kali menggunakan hubungan-hubungan manusia untuk kepentingan dirinya sendiri dan dengan demikian dia kurang siap untuk menikah dan menjadi orang tua.
Pertentangan dalam Perkawinan dan Keluarga Retak
Hal yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak adalah peranan orang tua dalam memberikan kepadanya lingkungan penuh kasih sayang, ke-sempatan untuk mengalami kekuasaan dan disiplin dalam cara yang dapat diterima, sistem nilai dan identifikasi yang sehat mengenai laki-laki dan perem-puan. Bukti selalu memperlihatkan bahwa perkembangan kepribadian anak terjadi dengan baik jika ayah dan ibu ada di rumah. Dalam kondisi ini anak akan (1) mencapai kemampuan menyesuaikan din yang matang dan sehat di mana dia menerima norma-norma masyarakat tanpa dikuasai oleh norma-norma itu, (2) berhubungan hangat dengan orang-orang lain tanpa terlalu tergantung pada mereka, (3) memperoleh kepuasan dalam bekerj a dan bermain, (4) belajar memuaskan dorongan-dorongannya dalam cara yang dapat diterima. Melalui hubungan yang memuaskan dengan kedua orang tua di rumah, dia dapat mencapai kehangatan dan martabat pribadinya sendiri.
Pertentangan dalam perkawinan yang menyebabkan terjadinya perpisahan dan perceraian mungkin sekali merupakan kondisi yang merusak dan meng-hambat, serta mengancam pertumbuhan kepribadian yang sehat. Permusuhan dan kekacauan emosi yang dihadapi anak dalam kondisi perkawinan orang ma yang demikian menyebabkan anak merasa sulit dan kadang-kadang anak tidak mungkin mengembangkan hubungan antarpribadi yang normal. Dia dibuat merasa cemas dan tidak aman, dan dengan demikian menjadi dasar bagi gangguan kepribadian dan tingkah laku.
Tetapi pertentangan dalam perkawinan bukan satu-satunya faktor yang mengacaukan struktur keluarga. Keadaan-keadaan yang tidak dapat dikuasai individu mungkin menghambat perkembangan yang sehat, antara lain adalah kematian salah satu orang tua, atau kedua-duanya lama tidak ada di rumah karena tugas atau pekerjaan. Luasnya kerusakan yang menimpa anak akan tergantung pada kemampuan anak itu menyesuaikan diri sebelum kedua orang tuanya mengalami keretakan (gangguan) perkawinan atau kedua orang tuanya tidak ada di rumah dan pada hubungan-hubungan lain yang diperolehnya di dalam atau di luar rumah.
Kekuasaan dan Disiplin
Kemampuan untuk menyesuaikan diri secara adekuat terhadap situasi-situasi kenyataan dalam kebudayaan kita ntenuntut agar anak belajar menerima kekuasaan. Pada usia 2 atau 3 tahun, anak sering kali menjadi keras kepala terhadap saran-saran dan keinginan-keinginan orang lain yang masuk akal. Penolakan terhadap kekuasaan orang tua atau orang dewasa merupakan tanda otonomi yang sedang tumbuh. Ini adalah usaha anak untuk menonjolkan dirinya dan membuat supaya dunia menyesuaikan diri dengan keinginan-keinginannya. Selain itu, dia tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyatakan keinginan-keinginannya itu secara verbal. Penolakan untuk berbuat hanya me-rupakan pertahanan diri terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat yang tidak be-gitu dipahaminya.
Cara bagaimana kekuasaan orang tua itu diterima tergantung pada hu-bungan anak dengan ayah dan ibunya. Kekecewaan-kekecewaan yang pertama kali dialami adalah akibat dan pembatasan-pembatasan yang dikenakan kepa-danya oleh berbagai faktor kenyataan (misalnya kadang-kadang perlu menunda pemberian makanan dan kepuasan). Ketika pertumbuhannya berlangsung terus berkat bimbingan orang tuanya, dia belajar dari pengalaman bahwa dia mengungkapkan kesulitan-kesulitannya secara lebih rasional daripada hanya dengan tingkah laku yang menolak saja. Sedikit demi sedikit dia tidak lagi menggunakan cara-cara yang negatif. Di samping itu, dia mulai belajar bahwa sumber kekecewaannya adalah dirinya sendiri yang sangat egosentrik dan hanya peka terhadap kebutuhan dan keinginannya sendiri yang bertentangan atau tidak sesuai dengan kemauan orang tuanya. Dia mulai menyadari bahwa kebu-tuhan fisiknya tidak selalu hams dipenuhi oleh orang tuanya. Kesadaran ini merupakan hubungan kekuasaan yang pertama dan awal sosialisasi anak, dan dengan proses tersebut sedikit demi sedikit dia dapat memahami norma-norma masyarakat.
Apabila orang tua menetapkan norma-norma yang sesuai dengan kema-tangan anak dan mengendalikan anak menurut norma-norma tersebut secara tegas dan ramah, biasanya anak akan menerima tuntutan-tuntutan masyarakat yang dikenakan kepadanya. Tetapi sebaliknya, bila orang tua mengenakan norma-norma yang tidak dapat dipenuhi anak atau dipaksakan secara semena-mena dan secara dogmatis, maka anak akan mengadakan respons dengan memberontak atau juga menjadi orang yang sangat penurut. Apabila anak sama sekali tidak diberikan norma atau diberikan secara paksa dan tidak konsisten, maka anak akan menjadi bingung dan dia tidak dapat mengembangkan kemam-puannya yang adekuat untuk menangani frustrasi, dan akhirnya dia tidak dapat menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan-tuntutan untuk menjadi orang yang matang.
Pembiasaan akan Kebersihan (Toilet Training)
Fase yang khusus dan sangat penting dalam proses sosialisasi anak adalah perkembangan dalam mengendalikan buang air besar dan kecil. Usaha-usaha untuk mengenakan norma-norma pengendalian kebersihan pada anak sebelum dia siap untuk pembiasaan itu secara fisik atau emosional sering kali menjadi penyebab awal perasaan tidak adekuat dan takut. Stres yang terjadi terus-me-nerus pada segi tingkah laku ini dapat menimbulkan masalah-masalah kepri-badian pada masa yang akan datang. Para psikoanalis sangat menitikberatkan segi ini dalam hubungan orang tua-anak dan berpendapat bahwa sifat-sifat seperti kenakalan, keras kepala, dan dorongan yang terpaksa untuk memper-hatikan kebersihan dan kerapian adalah akibat dari pembiasaan akan kebersihan yang tidak memuaskan. Usaha-usaha untuk membiasakan anak dalam kebersihan yang memuaskan sering merupakan hubungan kekuasaan antara orang tua dan anak yang sangat menentukan perkembangan anak kemudian. Thu yang selalu menekankan pembiasaan akan kebersihan sering kali men-ceiminkan kecemasan ibu sendiri akan kebersihan atau perasaan yang tidak adekuat dalam menjalankan peranannya sebagai ibu.
Perkembangan Seksual
Pada masa ini anak telah bergerak menuju diferensiasi kepribadian yang lebih lanjut. Dia telah menjadi aktif dan sangat imajinatif Pengetahuannya bahwa seseorang adalah terpisah dari orang lain, bahwa seseorang memiliki tubuhnya sendiri, bahwa seseorang dapat memandang dirinya sendiri terlepas dari lingkungannya, atau dia adalah seorang yang mempunyai hak-haknya sendiri merupakan suatu prestasi besar bagi anak yang sedang tumbuh.
Sejalan dengan perkembangan ini, pengetahuan anak tentang seks mulai dengan kesadaran dan penyelidikannya tentang tubuhnya sendiri. Perkembang-an selanjutnya terjadi ketika dia menyadari perbedaan anatomis antara jenis kelamin. Reaksi-reaksi orang tua terhadap pengalaman belajar ini akan menen-tukan sikap dasar anak terhadap seks. Pendekatan yang sehat dari orang tua meliputi kesediaan orang tua untuk manjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak dengan segera, terus terang, objektif dan sesuai dengan taraf pe-mahaman anak. Jadi, orang tua hams memberikan kesempatan bagi anak untuk mengintegrasikan pengetahuannya tentang seks sebagai bagian yang wajar dari selumh pengalaman belajarnya. Reaksi-reaksi orang tua yang menimbulkan perasaan malu, bersalah, dan melihat seks itu sebagai sesuatu yang kotor atau sebagai sesuatu yang tabu pada anak dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam menerima fungsi seks dalam hidup. Orang tua yang terlalu sering mem-belai-belai anak mungkin akan merangsang daerah-daerah erotik pada tubuh, dan dengan demikian mengondisikan anak bagi bentuk kepuasan ini. Sebalik-nya, orang tua yang terlalu lama tidak memperlihatkan kasih sayang mungkin menyebabkan anak merangsang dirinya sendiri untuk mencari kepuasan.
Selama awal masa kanak-kanak, ikatan emosional antara anak dengan orang tua yang tidak sejenis mungkin sangat kuat. Ikatan ini yang digambarkan oleh Freud sebagai hubungan Oedipus (atau situasi Oedipus) terjadi tidak hanya hubungan anak dengan orang tua yang tidak sejenis, tetapi juga perasaan iri dan bersaing dengan orang tua yang sejenis. Apabila hubungan yang kuat ini ada, maka akan menimbulkan kesulitan bagi perkembangan emosional pada masa yang akan datang. Hubungan seksual yang dilakukan oleh orang tua yang dilihat anak mungkin membawa pengaruh traumatis dalam diri anak ka-rena dia dapat menafsirkan situasi tersebut sebagai cara memperlihatkan agre-sivitas dan bukan kasih sayang. Kadang-kadang terjadi anak yang melihat orang tuanya tanpa pakaian akan menyebabkan kesulitan emosional pada anak.
Sikap terhadap seks yang ditanamkan pada masa kanak-kanak meletakkan dasar bagi bidang-bidang penting kepribadian orang dewasa, misalnya hubung-an-hubungan dengan lawan jenis, kapasitas untuk saling mencintai dan menya-yangi, dan kapasitas untuk memegang peran yang memadai dalam kehidupan sebagai pria atau wanita. Sikap-sikap yang salah memberikan berbagai kesulitan kepribadian pada masa yang akan datang.
Agresi dan Permusuhan
Ketika anak berkembang dan belajar menguasai tata susunan otot kerangka tubuhnya, dia menemukan kapasitasnya untuk mengadakan respons terhadap lingkungan dengan tindakan agresif. Perasaan-perasaan bermusuhan yang disebabkan oleh frustrasi, penghinaan, atau ancaman dapat menyebabkan anak memperlihatkan kemampuannya untuk menyerang secara langsung dan terbuka. Akibat dan ungkapan agresinya itu, reaksinya sendiri terhadap pengalaman itu dan reaksi dan orang lain merupakan pengaruh yang sangat penting dalam proses menguji dan belajar ini, dan akhirnya dalam seluruh perkembangan kepribadian. Perasaan bermusuhan yang dialami secara berulang-ulang dan diungkapkan dengan agresi turut menentukan pola-pola pengendalian din yang akan dibawa ke dalam kehidupan dewasa. Anak-anak hams dibimbing agar memahami bahwa permusuhan itu wajar dan dapat diterima, tetapi perwujudan perasaan itu dalam bentuk agresi hams dikendalikan. Tentu saja, tingkat pe-ngendalian impuls-impuls agresif itu hams dihubungkan dengan tingkat usia anak, dan juga dengan situasi yang menimbulkannya. Misalnya, agresi dapat diterima dalam tingkah laku anak yang berusia 3 tahun daripada yang berusia 7 tahun.
Bila reaksi orang tua terhadap agresi ini terlalu ekstrem, maka bisa menim-bulkan kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian diri. Jadi, anak yang dibuat cemas dan merasa bersalah terhadap semua perasaan bermusuhan dan setiap ungkapannya dalam bentuk agresi mungkin menyebabkan pola-pola pengen-dalian yang tidak sehat. Perasaan-perasaan bersalah dan ketakutannya terhadap agresi atau hukuman balasan mungkin akan menyebabkan anak mengekang perasaannya dan sangat takut. Tetapi, pengendalian yang terlalu ketat oleh orang tua juga akan menyebabkan anak memberontak. Sebaliknya, pola lain mungkin terjadi apabila orang tua sama sekali gagal dalam mengendalikan ungkapan agresif anak. Dengan demikian, mereka mungkin memupuk tingkah laku agresifnya sebagai cara menyesuaikan diri. Kesulitan-kesulitan dalam usaha mengendalikan agresi merupakan penyebab utama simtom-simtom yang melumpuhkan. Banyak ahli berpendapat bahwa agresi merupakan sumber yang sangat penting dalam menimbulkan perasaan bersalah. Lagi pula agresi dapat menjadi dasar bagi lingkaran setan dengan urutannya demikian: frustrasi —agresi — perasaan bersalah — kecemasan — frustrasi yang lebih berat.
Hubungan dengan Saudara-Saudara Kandung
Meskipun hubungan anak yang sangat penting adalah dengan orang tuanya, namun interaksi dengan saudara laki-laki dan saudara perempuannya memain-kan peranan yang penting dalam perkembangan kepribadian. Masalah utama dalam penyesuaian diri yang dialami anak adalah cinta kasih orang tua harus dibagi. Pembagian seperti itu dapat menimbulkan perasaan iri dan bermusuhan yang diketahui anak itu dan selanjutnya dapat mengancam perasaan-perasaan amannya. Penyesuaian diri anak dengan masalah saudara kandung ditentukan oleh jumlah anak dalam keluarga, urutan kelahiran anak itu sendiri, usia dan jenis kelamin anak-anak, dan perbedaan fisik, intelektual, atau emosional yang dapat membangkitkan perasaan rendah diri atau perasaan lebih unggul. Peran yang dimainkan anak dalam susunan keluarga juga menentukan pola penye-suaian diri dalam kehidupan sosial yang akan datang.
Selain faktor-faktor tersebut, cara orang tua menangani hubungan anak-anak kandung menentukan besarnya atau luasnya pengaruh pada kepribadian individu. Pilih kasih dapat memperkuat perasaan iri atau permusuhan terhadap anak yang sangat dicintai, dan mengadu domba antara anak dengan anak yang dilakukan secara sadar atau tak sadar dapat meningkatkan persaingan sehingga menimbulkan akibat yang tidak menyenangkan.
Dalam batas-batas yang wajar, persaingan di antara anak-anak kandung 1 hams diterima sebagai ciri yang normal dalam perjuangan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Tetapi kalau terus-menerus bersaing dan melampaui batas kewajaran dapat menjadi faktor yang menyebabkan tingkah laku abnormal pada masa kanak-kanak dan dapat berlanjut terns dalam kehidupan dewasa. Dengan demikian, perasaan-perasaan bermusuhan yang ditekan dan berakar dalam terhadap saudara laki-laki dan perempuan dapat menjadi titik tolak bagi prasangka patologik, tingkah laku kompensasi yang ekstrem, dan depresi yang mungkin diungkapkan dalam berbagai sindrom.
Frustrasi yang Ekstrem dan Pengalaman Traumatis
Ada pendapat yang mengemukakan bahwa tingkah laku abnormal disebabkan oleh hanya satu pengalaman traumatis saja. Pandangan ini terlalu sederhana dan mengabaikan pengaruh-pengaruh lain, misalnya film dan TV. Namun, penyelidikan mengenai sejarah kasus yang banyak jumlahnya menunjukkan bahwa dampak dari setiap pengalaman traumatis pada perkembangan seorang anak selalu dipengaruhi oleh perkembangan anak sampai pada saat itu. Trauma psikologis tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian; makin drastic pengalaman itu, makin kuat juga pengaruhnya dalam menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri. Tetapi, akibat ini pun tergantung pada interpretasi anak itu terhadap pengalaman traumatis yang berdasarkan perasaan-perasaan batinnya. Kematian salah satu orang tua, misalnya, menjadi lebih kritis apabila kematian itu terjadi pada waktu anak sedang mengalami permu-suhan yang hebaedengan orang tuanya yang meninggal itu. Secara tak sadar dia mungkin merasa bahwa dia menjadi penyebab dari kematian itu.

Cara orang-orang yang berarti bagi kehidupan anak menangani peng-alaman itu juga dapat menentukan pengaruh trauma itu. Jika anak itu secara bijaksana didukung dalam pengalaman yang demikian mungkin anak itu kurang mengalami trauma. Tetapi apabila anak itu dinasihati supaya jangan mengung-kapkan perasaannya dan hams menekannya, maka pengaruh dari trauma itu bisa berlangsung lama dan membahayakan.

Pengalaman-pengalaman traumatis umum yang penting dalam perkem-bangan ketidakmampuan menyesuaikan diri secara emosional adalah kematian orang tua atau saudara kandung, kecelakaan atau penyakit yang berat, berpisah dengan orang tua secara mendadak atau lama, frustrasi yang berat atau berke-panjangan, dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar biologis. Teori psikoanalitik juga memperhatikan secara khusus pengaruh pengalaman seksual yang trau-matis sebagai penyebab tingkah laku abnormal. 
Masa bayi adalah masa ketakberdayaan dan ketergantungan di mana pada waktu itu fungsi bayi hanya semata-mata tertuju kepada pemuasan kebutuhan fisiknya. Masa ini biasanya berlangsung dari kelahiran sampai usia 2 tahun, di mana pada waktu itu bayi mulai belajar berjalan dan berkomunikasi. Masa ini ditandai oleh perkembangan organisme yang sangat cepat dan sedikit demi sedikit dia dapat melihat perbedaan-perbedaan lingkungan yang terdekat, meskipun secara sangat sederhana. Segi-segi dasar respons sosialnya mulai tampak. Dia mulai menguasai kelompok-kelompok otot yang utama. Para psikolog pada umumnya (dan Para psikoanalis pada khususnya) menitikberatkan sifat kritis dari masa ini untuk perkembangan selanjutnya.
Masalah-masalah utama pada masa bayi berkisar sekitar perawatan ibu dan pemberian makanan. Meskipun masalah-masalah yang menyangkut pem-biasaan akan kebersihan (toilet training) sering kali dimasukkan sebagai masalah bayi, namun barn muncul kalau individu menjadi lebih sadar akan kekuasaan dan disiplin, dan dengan demikian selayaknya pembiasaan akan kebersihan dimasukkan sebagai masalah pada awal masa kanak-kanak, khususnya pada masa prasekolah.
Perawatan Ibu
Karena hubungan bayi yang pertama dan sangat penting dengan dunia di luar dirinya adalah hubungan dengan ibunya, maka luas dan kualitas dari hubungan ini merupakan landasan bagi pandangan pokok dan sikap-sikapnya terhadap dunia dan dirinya sendiri. Apakah respons anak nanti terhadap dunia di seki-tarnya adalah menerima dan memuaskan atau menolak dan mengecewakan tergantung pada sejauh mana hangatnya kontak antara ibu dan anak serta melimpahnya kasih sayang yang diberikan ibu kepada sang anak. Memegang, membelai, dan berbicara kepada bayi akan membantu menanamkan perasaan aman. Perawatan ibu dapat juga diperkaya dengan partisipasi khusus dari ayah atau anggota-anggota lain dalam keluarga. Kalau kontak itu tidak ada atau kurang, maka akan mengakibatkan gangguan yang berat terhadap perkem-bangan psikis dan hal ini telah ditemukan dalam sejarah hidup banyak pasien psikotik dan neurotik. Perasaan cemas dan gangguan emosional dari ibu terutama pada waktu hamil sangat merugikan dan menjadi cumber perasaan-perasaan tidak aman yang kelihatan kemudian dalam kehidupan individu.

Pemberian Makanan
Kebutuhan utama bayi adalah kebutuhan karena perasaan lapar. Maka, situasi pada waktu memberi makanan sangat penting bagi perkembangan kepriba-dian awal. Pemuasan kebutuhan dalam keadaan tenang dan santai serta sesuai dengan tuntutan bayi dan tidak diatur mengikuti jadwal yang kaku merupakan syarat lain yang sangat dibutuhkan bagi keamanan emosional bayi. Dalam situasi memberi makanan, bayi tidak hanya memuaskan kebutuhannya akan makanan, tetapi juga mendapat kenikmatan dari kegiatan-kegiatan mengisap, memasukkan ke dalam mulut, dan menelan makanan.
Masalah-masalah utama yang muncul adalah cara-cara memberi makanan yang tidak semestinya atau sikap-sikap orang tua yang tidak memuaskan anak dan menyapih sebelum waktunya atau secara mendadak. Masalah-masalah pemberian makanan itu berkembang apabila ibu tidak mengetahui bagaimana cara-cara memberi makanan atau dia sendiri mengalami rasa cemas dan takut pada waktu memberi makanan. Masalah-masalah yang muncul dari situasi memberi makanan itu mungkin akan berkembang dan dibawa terus sampai pada tahap-tahap perkembangan kemudian, dan mungkin menjadi penyebab utama dalam masalah tingkah laku yang lebih luas, lebih-lebih kalau ibunya terus-menerus cemas.
Tidak semua hal yang tidak beres dalam pola pemberian makanan di-anggap sebagai masalah karena pendekatan yang matang, luwes, dan aman dapat menghindari kesulitan-kesulitan itu. Beberapa hal yang tidak beres itu dapat muncul dari faktor-faktor fisik, seperti gangguan-gangguan pada sistem pencernaan atau reaksi-reaksi alergis. Apabila kondisi-kondisi ini tidak diketahui atau tidak ditangani dengan baik, maka akan muncul komplikasi-komplikasi psikologis lebih lanjut.
Alexander Schneiders, seorang pengarang yang ternama, menulis: "Kepri-badian adalah kunci untuk menyesuaikan diri dan kesehatan mental. Kepriba-dian sehat, yang berkembang dan terintegrasi dengan baik merupakan jaminan untuk penyesuaian diri yang efektif' (Schneiders, 1965:60).
Penyesuaian diri dan kesehatan mental Selalu dipengaruhi oleh macamnya kepribadian yang dimiliki individu. Jadi, cara individu menangani masalah-masalahnya ditentukan oleh kepribadiannya. Ia dianggap dapat menyesuaikan diri jika dapat memecahkan masalah-masalahnya secara normal, dan sebaliknya dianggap tidak dapat menyesuaikan din jika is bereaksi terhadap tekanan-tekanan dari kehidupan sehari-hari dengan suatu simtom khusus.
Hal yang diperhatikan secara khusus oleh para psikolog dalam penye-suaian din adalah sejarah kehidupan individu dalam hubungan antarpribadi di mana mungkin terdapat penyebab-penyebab bagi bermacam-macam gangguan kepribadian. Faktor-faktor penyebab psikologis itu tidak hanya mencerminkan struktur dasar kepribadian, tetapi juga mempengaruhi respons individu terhadap faktor-faktor fisik atau budaya. Misalnya, perubahan kepribadian sesudah luka kepala mungkin sangat dipengaruhi oleh kepribadian sebelum terjadinya luka karena telah diketahui bahwa luas dan lokasi kerusakan jaringan otak yang sama pada beberapa orang belum tentu mengakibatkan simtom-simtom psiko-logis yang sama. Faktor-faktor penyebab psikologis biasanya banyak dan ber-operasi secara kompleks dan tumpang tindih. Jarang sekali tingkah laku abnormal atau tingkah laku yang tidak dapat menyesuaikan diri dapat ditelusuri sampai pada satu faktor penyebab psikologis saja. 
Segi sejarah kehidupan yang sangat penting adalah pola hubungan antar-pribadi individu, dan pendekatan yang sangat mudah terhadap sejarah hubungan antarpribadi itu adalah pendekatan kronologis yang membagi rentang kehidup-an ke dalam tujuh masa (periode), yakni masa bayi, masa awal kanak-kanak,masa akhir kanak-kanak, masa remaja, masa awal dewasa, masa usia setengah tua, dan masa usia lanjut. Pembagian yang berdasarkan pendekatan kronologis ini tidak bermaksud untuk memecah-mecahkan kontinuitas sejarah hubungan antarpribadi karena perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu masa tertentu selalu terjalin dengan seluruh sejarah hubungan antarpribadi. Sudah barang tentu, usia kronologis adalah petunjuk yang tidak memadai bagi pematangan individu.
Perkembangan kepribadian mulai sejak lahir dan berjalan sedikit demi sedikit sampai mati. Bayi hanya memiliki organ-organ kepribadian yang sangat sederhana. Dia belum sepenuhnya diperlengkapi untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun ada potensi-potensi untuk tumbuh, namun potensi-potensi itu harus dikembangkan supaya ciri-ciri khas dari potensi-potensi tersebut tampak. Proses ini dikenal sebagai pematangan. Setiap ciri khas kepribadian tidak hanya dipengaruhi oleh hereditas, melainkan juga oleh kondisi-kondisi lingkungannya
Ada kualitas-kualitas yang dapat diketahui sejak awal kehidupan dan cenderung bertahan terus sehingga para pengamat dapat membuat ramalan-ramalan tentang sifat-sifat orang itu kemudian. Tetapi hams dipahami juga bahwa kepribadian tidak ditetapkan sekali untuk seterusnya selama tahun-tahun pertama kehidupan. Keadaan-keadaan kemudian seperti keadaan kesehatan yang buruk, perubahan-perubahan yang jelas dalam kondisi-kondisi di rumah atau pengalaman traumatis sangat mempengaruhi kepribadian.

ARTI KEPRIBADIAN
Bagi orang yang belum mempelajari psikologi, arti dari kata "kepribadian" mungkin agak kabur kalau kata tersebut disamakan dengan daya tank sosial. Apabila seseorang dikatakan berkepribadian, umumnya itu dianggap sebagai suatu pujian, yang berarti bahwa dia diterima dengan sangat baik oleh suatu kelompok tertentu. Arti yang tepat dari kata tersebut tidak begitu jelas bagi orang yang memakainya, tetapi j ika dipaksa untuk menerangkannya lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan kepribadian, maka dia mungkin menggambar-kannya sebagai daya tank, sopan santun, kefasihan berbicara.
Bagi psikolog ilmiah, interpretasi yang demikian sering disebut sebagai interpretasi orang awam. Kata Indonesia ini merupakan terjemahan dari kata Inggris, personality, dan kata Inggris ini diturunkan dari kata Latin, persona. Allport telah mengadakan penelitian yang barangkali paling saksama mengenai definisi-definisi kepribadian dan mulai dengan etimologi kata persona yang mula-mula berarti topeng panggung yang dipakai oleh orang-orang Roma dalam drama Yunani dan Latin.
Jadi, kata personality mungkin sekali berasal dari dua kata Latin, per dan sonare. Istilah personare secara harfiah berarti "berbunyi melalui". Kata persona rupanya berasal dari dua kata tersebut yang mula-mula berarti topeng pemain (drama), dan suara pemain dirancang berbunyi melalui topeng itu. Karena menurut tradisi, para pemain drama dari masa itu memakai topeng-topeng di panggung, maka mudah dipahami mengapa kata "persona" kemudian berarti bukan topeng itu sendiri, melainkan penampilan palsu yang diciptakan oleh topeng itu. Dan selanjutnya, persona berarti kualitas-kualitas dari pelaku dalam drama (Allport, 1961; Feist, J., & Feist, GJ., 1998).
Konsep persona diperluas lagi sehingga berarti penampilan lahiriah (bu-kan diri yang sebenarnya). Ide ini kemudian diwujudkan dalam teori-teori ke-pribadian yang lebih modern dari Carl Gustav Jung. Persona adalah topeng yang dipakai seseorang dalam respons terhadap tuntutan-tuntutan kebiasaan masyarakat dan terhadap kebutuhan arkhetipe dalam dirinya sendiri. Itulah peran yang diberikan masyarakat kepada seseorang, bagian yang diharapkan oleh masyarakat supaya dimainkan seseorang dalam hidup. Persona adalah kepribadian publik, segi-segi yang diperlihatkan seseorang kepada dunia atau pendapat publik yang mengait pada individu, sebagai yang berbeda dengan kepribadianprivat yang ada di belakang tampilan sosial. Inti dari mana persona itu berkembang adalah arkhetipe. Arkhetipe ini, seperti semua arkhetipe lain, berasal dari pengalaman-pengalaman yang terjadi dari interaksi-interaksi sosial di mana diandaikan bahwa peranan sosial merupakan tujuan yang berguna bagi manusia sepanjang sejarahnya sebagai binatang-binatang sosial.
Penting untuk diperhatikan bahwa kata persona seperti yang diutarakan oleh Jung berlawanan dengan arti kepribadian yang sekarang. Psikolog seka-rang memakai kata "kepribadian" untuk menunjukkan sesuatu yang nyata dan dapat dipercayai mengenai individu. Beraneka ragam definisi yang diajukan oleh para psikolog dengan judul-judul segi pandangan omnibus, integratif, hierarkis, keunikan, penyesuaian diri (Allport & Vernon, hlm. 681-687) dan hakikat.

Definisi Omnibus
Pendiri Behaviorisme, John Watson, mengemukakan suatu interpretasi me-ngenai kepribadian yang tergolong dalam kelompok pertama ini. Istilah kepriba-dian yang digunakan di sini untuk memasukkan segala sesuatu mengenai individu. Dia menganggap kepribadian sebagai jumlah keseluruhan dan tingkah laku seseorang. Gambaran seperti itu hanya menjumlahkan saja semua respons yang ada. Apabila dijadikan satu, maka respons-respons ini merupakan kepri-badian seseorang. Ahli teori biasanya mendaftarkan secara berurut konsep-konsep yang dianggap sangat penting dalam menggambarkan individu dan mengemukakan bahwa kepribadian terdiri dari konsep-konsep ini.

Definisi Integratif
Definisi ini meml;eri tekanan utama pada fungsi kepribadian yang integratif atau terorganisasi. Kepribadian tidak terbentuk secara kebetulan, tetapi memi-liki suatu inti atau prinsip-prinsip yang mempersatukan. Definisi tersebut me-ngemukakan bahwa kepribadian merupakan organisasi atau pola yang diberikan pada berbagai respons yang berbeda dalam individu. Kepribadian adalah sesuatu yang memberi tata tertib dan keharmonisan terhadap segala macam tingkah laku yang dilakukan oleh individu. Atau, secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebagai makhluk yang terkoordinasi, kita mengatur tingkah laku kita dan tidak beroperasi sebagai refleks-refleks yang terpisah-pisah.

Definisi Hierarkis
Definisi ini adalah sama dengan membatasi fungsi-fungsi atau lapisan-lapisan sifat atau ciri khas. Dua orang ahli teori yang sangat terkemuka dalam kelompok ini ialah William James dan Sigmund Freud. James melihat diri (dia jarang menggunakan kata "kepribadian") sebagai sesuatu yang terdiri dari lapisan-lapisan yang dipandang dari dalam. Pertama, ada lapisan diri material (the material se f) yang terdiri dari harta milik, keluarga, sahabat-sahabat seseorang. Kedua, ada lapisan diri sosial (the social se f) yang berupa kesan-kesan orang lain terhadap seseorang (kepribadian sebagai objek stimulus). Seseorang dapat memiliki diri sosial sebanyak orang atau kelompok mengenalinya. Lapisan ketiga adalah diri spiritual (the spiritual set yang digunakan untuk mengatur kecenderungan-kecenderungan atau sifat-sifat yang bertentangan. Lapisan keempat adalah ego murni (the pure self) yang sebenarnya tidak terpisah dari diri social. Itulah "I" (saya) atau orang yang mengetahui dan berlawanan dengan "seseorang" atau diri yang diperlihatkan. Ego murni merupakan sisi lain dari diri spiritual. Diri spiritual dan ego murni adalah sisi-sisi yang berla-wanan dari mata uang yang sama. Konsep Freud mengenai kepribadian sebagai sesuatu yang berstruktur terdiri dari id, ego, dan superego juga cocok kalau dimasukkan ke dalam kelompok definisi ini.

Definisi Keunikan
Dalam definisi ini kepribadian disamakan dengan segi-segi yang unik atau khas dari tingkah laku. Definisi ini menunjukkan hal-hal mengenai individu yang menyebabkan dia berbeda dari orang lain.

Definisi Penyesuaian Diri
Dalam kelompok definisi ini, kepribadian dipandang berdasarkan penyesuaian diri. Penekanannya terletak pada ciri-ciri khas atau tingkah laku-tingkah laku yang memungkinkan seseorang menyesuaikan diri atau bergaul dengan baik dalam lingkungannya. Inilah tipe pendekatan ilmu kesehatan mental. Kepri-badian dalam konsep ini ditentukan oleh tindakan-tindakan yang kita lakukan dan yang membantu kita menjaga keseimbangan (ekuilibrium) atau tetap berada dalam keharmonisan dengan lingkungan kita. Apabila usaha-usaha ini gagal, maka kita akan sampai pada apa yang dinamakan kepribadian yang tidak mampu menyesuaikan diri.
Definisi Hakikat
Definisi ini mengemukakan bahwa kepribadian merupakan hakikat keadaan manusia. Ahli teori dari kelompok ini berpendapat bahwa kepribadian merupa-kan bagian dari individu yang sangat representatif, tidak hanya karena dia membedakan individu tersebut dari orang-orang lain, tetapi yang lebih penting karena itulah dia yang sebenarnya. Pandangan Allport bahwa "kepribadian merupakan hal ikhwal orang yang sebenarnya" menggambarkan tipe dari definisi ini. Maksudnya di sini ialah bahwa kepribadian dalam analisis yang terakhir merupakan sesuatu yang sangat khas pada orang tersebut.
Allport mendefinisikan kepribadian sebagai "organisasi dinamik dari sistem-sistem psikofisik di dalam individu yang menentukan penyesuaian-penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya" (Allport, 1960:48). Kepribadian itu dinamik karena kepribadian selalu berkembang dan berubah. Sistem-sistem psikofisik adalah kebiasaan-kebiasaan, sikap-sikap khusus dan umum, sentimen-sentimen, dan disposisi-disposisi yang dimiliki individu. Allport menganggap kepribadian tidak semata-mata mental dan juga tidak semata-mata neural. Kata menentukan berarti bahwa kepribadian adalah sesuatu dan melakukan sesuatu. Unikberarti bahwa tiap orang memiliki kekhasan dalam waktu, tempat, dan kualitas. Akhirnya, penyesuaian diri dengan lingkungan merupakan kenyataan bahwa penyesuaian diri individu mengandung banyak tingkah laku yang spontan dan kreatif terhadap lingkungannya.

Bayi yang barn lahir dalam pandangan Allport (Allport, 1960:48) tidak memiliki kepribadian karena dia belum berjumpa dengan dunia tempat di mana dia harus hidup, dan belum mengembangkan cara-cara penyesuaian diri dan kemahiran berbeda-beda yang kemudian akan membentuk kepribadiannya. 
Pandangan kognitif menjelaskan tingkah laku abnormal berdasarkan pikiran-pikiran yang keliru dan proses-proses pikiran yang kalut (Beck & Emery, 1985). Biasanya masalah-masalah yang berkenaan dengan pikiran dianggap sebagai simtom-simtom dari gangguan-gangguan psikologis, tetapi dalan pandangan kognitif, pikiran-pikiran itu dilihat sebagai penyebab dan gangguan-gangguan itu.

Masalah-Masalah dengan Isi Kognitif (Pikiran-pikiran)
Masalah-masalah dengan isi kognitif (pikiran-pikiran) adalah masalah-masalah dengan apa yang dipikirkan. Bila kita memiliki informasi yang salah tentang suatu situasi, maka respons kita terhadap situasi itu juga mungkin salah atau abnormal. Para ahli teori berpendapat bahwa banyak tipe gangguan mental disebabkan oleh masalah-masalah yang menyangkut isi kognitif. Misalnya, seorang individu mengalami depresi karena is berpikir "aku adalah seorang yang tidak berharga", atau mungkin bila Anda berpendapat bahwa seekor ular kecil yang tidak berbisa adalah berbahaya, maka Anda akan mengadakan respons dengan suatu ketakutan abnormal (menderita suatu fobia), atau bila Anda berpendapat bahwa banyak intel pemerintah mengelilingi Anda, maka Anda akan berpikir bahwa pemerintah akan melawan Anda (menderita suatu delusi). Contoh-contoh ini mau menggambarkan cara-cara bagaimana isi kog-nitif yang salah bisa menimbulkan suatu penilaian yang salah terhadap suatu situasi dan pada akhirnya menimbulkan tingkah laku abnormal.
Sangat penting diketahui bahwa begitu Anda membentuk suatu kemapanan (kesiapan) kognitif (cognitive set) tertentu, yakni suatu cara yang tetap melihat dunia, maka Anda mungkin memusatkan perhatian hanya pada aspek-aspek lingkungan yang cocok dengan kemapanan itu. Hal yang jelek adalah Anda akan mendistorsikan pengalaman-pengalaman lain supaya cocok dengan kema-panan tersebut. Misalnya, apabila Anda berpendapat bahwa diri Anda sakit-sakitan, Anda akan menginterpretasikan setiap perasaan sakit yang ringan sebagai tanda malapetaka yang hebat dan Anda akan menjadi sangat cemas. Demikian juga bila Anda berpendapat bahwa secara sosial Anda tidak adekuat, maka Anda akan terus-menerus melihat orang lain sebagai orang yang menolak Anda meskipun kenyataannya tidaklah demikian. Distorsi-distorsi tersebut mempertahankan kemapanan-kemapanan kognitif yang didistorsi dan hal tersebut berarti terjadinya tingkah laku-tingkah laku yang tidak tepat dan ting-kah laku-tingkah laku yang terkait dapat juga menghasilkan apa yang dina-makan "ramalan-ramalan pemenuhan-diri sendiri" (self-fulfilling prophecies). Dengan kata lain, apabila Anda berpikir secara tidak tepat bahwa orang lain menolak Anda, maka Anda bisa bertingkah laku dalam cara-cara (misalnya menghindari orang lain atau bermusuhan) yang menyebabkan penolakan yang dipikirkan Anda secara tidak tepat itu ada.
Kognisi-kognisi salah yang merupakan dasar tingkah laku abnormal dilihat sebagai sesuatu yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang terjadi pada awal kehidupan. Suatu kognisi yang salah bisa kemudian tetap laten sampai terjadi suatu situasi yang mirip dengan situasi di mana pada awalnya kognisi itu dibentuk. Misalnya, kasus tentang depresi, seorang individu yang mengalami suatu kegagalan yang hebat (misalnya seorang anak diusir dari sekolah karena tidak mengerjakan ujian dengan baik, dituduh sebagai biang keributan, serta di rumah dimarahi orang tua sebagai anak yang bodoh dan malas) mungkin akan mengembangkan suatu kemapanan yang menimbulkan suatu gambaran-diri sebagai orang yang tidak adekuat, dan selalu gagal. Apabila setelah menjadi dewasa orang yang sama ditempatkan dalam situasi evaluatif yang lain, maka pikiran-pikiran lama tentang perasaan tidak adekuat dan kegagalan akan muncul kembali dan menyebabkan perasaan-perasaan depresi. 

Masalah-Masalah dengan Proses-Proses Kognitif
Masalah-masalah dengan proses-proses kognitif adalah masalah-masalah de-ngan bagaimana orang berpikir. Perhatikan apabila proses kognitif kacau, maka isi kognitif bisa juga terpengaruh, tetapi akibat-akibatnya sangat berbeda dari apa yang terjadi bila hanya ada masalah-masalah dengan isi kognitif. Bila ada masalah-masalah dengan isi kognitif, maka kepercayaan-kepercayaan seorang individu adalah salah tetapi pikiran-pikirannya mudah dipahami. Sebaliknya, apabila ada masalah-masalah dengan proses-proses kognitif, maka tidak hanya kepercayaan-kepercayaan individu salah tetapi juga pikiran-pikiran tidak dapat dipahami. Perhatikan contoh percakapan berikut antara seorang pewawancara dan seorang pasien yang menderita skizofrenia.
Pewawancara    :
Apakah Anda gelisah dan tegang akhir-akhir ini?
Pasien                   :
Tidak, aku mendapat selada satu bomgkol,
Pewawancara    :
Anda mendapat selada satu bongkol? Aku tidak mengerti
Pasien                   :
Ya, hanya selada satu bongkol.
Pewawancara    :
Katakan kepadaku tentang selada. Apa yang dimaksudkan Anda?

Pasien                   :
Ya Selada adalah suatu transformasi dari seekor puma (sejenis harimau) yang mati yang jatuh sakit pada jari kaki singa. Dan is menelan singa itu dan sesuatu terjadi melihat ... Gloria dan Tommy, mereka adalah dua ke-pala dan mereka bukan ikan paus. Tetapi mereka melari-kan din dengan sejumlah besar orang karena muntah, dan hal-hal seperti itu (Neale & Oltmanns, 1980: 102).

Gangguan-gangguan pada proses-proses kognitif pada umumnya merupa-kan gangguan yang lebih berat dibandingkan dengan gangguan-gangguan pada isi kognitif. Pertama, Anda mengalami depresi karena tetap melebih-lebihkan aspek negatif dari kehidupan Anda; kedua, karena berpikir dan berkomunikasi seperti individu dalam contoh di atas.
Para ahli teori kognitif berpendapat bahwa masalah-masalah dengan pro-ses-proses kognitif disebabkan oleh masalah-masalah dengan perhatian dan asosiasi-asosiasi. Gagasan dasar adalah (1) individu-individu telah kehilangan perhatian, (2) selama kehilangan perhatian itu, mereka dikacaukan oleh pikiran-pikiran lain, dan (3) kemudian mereka berputar-putar pada pikiran-pikiran barn dan bukan mengikuti pikiran-pikiran semula. Pembicaraan pasien tidak menjadi obrolan yang lengkap, tetapi terdiri dari potongan-potongan pikiran dan tidak satupun dari potongan-potongan pikiran itu berkembang secara sem-purna karena pasien kacau (kalut) dan terus melompat kepada pikiran ber-ikutnya.
Potongan-potongan pikiran tidak disambung secara acak, melainkan de-ngan bermacam-macam asosiasi, salah satu potongan pikiran mendatangkan pikiran berikutnya. Kata yang digunakan bisa menyebabkan pikiran lain yang berdasarkan arti lain dari kata tersebut tanpa membuat peralihan yang jelas bagi pendengar. Misalnya, individu mungkin berkata, "Suwarno meminjamkan kepadaku penanya yang penuh dengan narapidana." Dalam contoh ini, kata pena pada mulanya digunakan untuk menyebut suatu alat untuk menulis, tetapi penggunaan kata tersebut menyebabkan pikiran-pikiran tentang sebuah penjara. Pembicara kemudian bercerita dan menyelesaikan kalimat dengan suatu ucapan yang berhubungan dengan penjara. Karena bermacam-macam asosiasi dapat mengacaukan pikiran-pikiran barn, maka sangat sulit mengikuti pikiran-pikiran tersebut dan memahami apa yang sedang disampaikan.
Perlu diperhatikan di sini bahwa dari segi pandangan kognitif masalah-masalah yang terlihat pada orang-orang yang kalut tidak dianggap berbeda secara kualitatif dari masalah-masalah yang dialami oleh orang-orang normal. Masalah-masalah dari orang-orang yang kalut hanya sebagai hal-hal yang eks-trem dari tipe-tipe masalah sama yang dialami oleh orang-orang yang normal. Kadang-kadang kita semua bertingkah laku secara tidak tepat karena kita me-lebih-lebihkan makna dari suatu peristiwa, membiarkan perhatian kita hilang, atau membuat kesalahan asosiatif yang menyebabkan kesalahpahaman. Jika benar bahwa tingkah laku kognitif dari orang-orang kalut hanya merupakan hal-hal yang ekstrem dari tingkah laku kognitif yang terlihat pada orang-orang nor-mal, maka pengetahuan kita yang luas tentang tingkah laku kognitif dari orang-orang yang normal dapat digunakan untuk memahami tingkah laku abnormal.
Komentar tentang Pendekatan Kognitif
Pandangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendekatan-pendekatan terapeutik kontemporer. Pendekatan-pendekatan kognitif terhadap terapi seperti pendekatan-pendekatan behavioral memberi penekanan pada perubahan tingkah laku "di sini dan kini", bukan menggali masa lampau yang jauh secara mendalam seperti yang dilakukan oleh para terapis yang mengguna-kan pendekatan psikodinamik tradisional (psikoanalisis Freud). Kesamaan an tara pandangan pendekatan behavioral dan pendekatan kognitif direpresen-tasikan dengan sangat baik dalam terapi behavioral-kognitif, suatu bentuk terapi yang mengintegrasikan teknik-teknik behavioral dan teknik-teknik kognitif Para terapis behavioral-kognitif menggunakan bermacam-macam teknik perawatan yang membantu perubahan-perubahan behavioral dan kognitif yang adaptif.

Karena menunjukkan masalah-masalah yang menyangkut perhatian dan asosiasi-asosiasi, maka pandangan kognitif merupakan suatu penjelasan yang baik untuk gangguan-gangguan pikiran dan suasana hati. Tetapi, penjelasan kognitif terbatas karena pandangan ini tidak menjelaskan mengapa masalah-masalah yang berkenaan dengan perhatian dan asosiasi-asosiasi itu ber-kembang. Untuk menjelaskan perkembangan dari masalah-masalah ini, harus diperhatikan juga penjelasan-penjelasan dari pandangan-pandangan lain. Misal-nya, telah dikemukakan bahwa masalah-masalah yang menyangkut perhatian dan asosiasi-asosiasi seperti terdapat pada skizofrenia mungkin disebabkan oleh rangsangan neurologis yang sangat tinggi. Apabila halnya demikian, pen-jelasan kognitif dan penjelasan fisiologis mungkin bekerja sama untuk menje-laskan tingkah laku abnormal ini.
Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget