Inilah masa di mana usaha-usaha
sosialisasi benar-benar dilakukan. Masa ini dimulai pada anak yang berusia 2-5
tahun. Pada masa ini, anak mulai menyadari individualitasnya, dan dia
dihadapkan dengan masalah kekuasaan dan disiplin. Pada awal masa kanak-kanak
dia sudah mulai memperlihatkan bahwa dia tidak begitu tergantung lagi seperti pada
masa sebelumnya, sebaliknya dia memper-lihatkan sikap otonominya dalam hal
gerak, bisa mengurusi dirinya sendiri da-lam kebutuhan-kebutuhan yang
sederhana, dan perkembangan tingkah laku sosial.
Selama masa ini keluarga
merupakan lingkungan tempat anak itu me-ngembangkan keterampilan-keterampilan
sosial dan mulai belajar mengontrol tingkah lakunya sesuai dengan norma-norma
yang ditetapkan baginya. Perse-tujuan dan celaan orang tua menjadi pedoman
utama untuk bertingkah laku, dan cara orang tua memakai norma-norma tersebut
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perkembangan kepribadian.
Beberapa faktor penyebab dan tingkah laku abnormal kemudian yang dapat dianggap
berasal dari masa awal kanak-kanak adalah hubungan orang tua-anak, kekuasaan dan
disiplin, pembiasaan kebersihan (toilet training), perkembangan seksual, agresi
dan permusuhan, hubungan dengan saudara-saudara kandung, frustrasi yang
ekstrem, dan pengalaman traumatis lain.
Hubungan Orang Tua—Anak
Tingkah laku yang ekstrem antara
orang tua dan anak dapat menjadi sumber zangguan emosional dan tingkah laku
abnormal. Penyimpangan-penyimpangan dari hubungan orang tua-anak yang sangat
penting adalah penolakan, per-lindungan yang berlebihan, pertentangan dalam
perkawinan atau keluarga retak.
Penolakan
Karena anak itu tergantung pada
orang tuanya dalam hal menilai dirinya sendiri dan dunia luar, maka setiap
penolakan dari orang tua akan menimbulkan reaksi negatif pada pihak anak.
Penolakan yang kejam dan ekstrem serta berlangsung lama merupakan sumber dari
perasaan tidak aman dan ketidakmampuan menye-suaikan diri pada masa-masa yang
akan datang. Penolakan orang tua dapat dilakukan dengan berbagai cara:
penolakan secara terbuka (terang-terangan), atau secara halus dan tidak
disadari. Mungkin juga penolakan itu menjadi suatu pola yang tetap dari tingkah
laku orang tua, atau secara tidak tetap yang diperlihatkan oleh salah satu
orang tua atau kedua orang tua. Penolakan itu mungkin diungkapkan dengan cara:
mengingkari, atau menghalang-halangi, mengomel, mengkritik, atau tetap
mempertahankan norma-norma yang tidak mungkin dicapai oleh anak, pilih kasih di
antara saudara-saudara kandung, atau mengabaikannya.
Reaksi anak terhadap penolakan
itu sendiri tergantung tidak hanya pada kenyataan bahwa dia ditolak, tetapi
juga pada cara dan tingkat pengungkapan-nya dan tentu saja pada temperamen anak
itu sendiri. Dia mungkin menerima penolakan itu atau memberontak, menarik diri
atau menyerang. Tingkah laku abnormal yang muncul dari penolakan orang tua
berkisar dari simtom-simtom psikologis yang ringan sampai pada
gangguan-gangguan kepribadian yang berat.
Perlindungan yang Berlebihan
Apabila orang tua secara sadar
atau tidak sadar mencegah anak mengembang-kan otonomi yang normal dalam
interaksinya dengan lingkungan, maka dapat dikatakan orang tua terlalu
melindungi anak. Ini mungkin terungkap dalam bentuk kasih sayang yang
berlebihan dengan cara memanjakan anak, atau me-ngontrol anak dengan bersikap
dingin (kaku) atau menguasainya. Orang tua yang terlalu melindungi anak akan
bersikap tunduk kepada semua tuntutan anak itu, atau juga selalu memaksa
nilai-nilai, ambisi-ambisi, dan keinginan-keinginan mereka sendiri kepada anak
itu. Sering kali perlindungan yang berle-bihan itu juga disebabkan oleh
kecemasan-kecemasan orang tua karena pera-saan-perasaan yang tidak adekuat,
kesulitan-kesulitan dalam memahami anak, kematian anak-anak lain, atau anak
menderita penyakit yang berat. Atau juga perlindungan yang berlebihan itu
digunakan oleh orang tua sebagai mekanisme untuk menutupi perasaan bersalah
yang muncul dari penolakan anak yang tidak disadari. Perlindungan yang
berlebihan mengganggu usaha anak untuk menguji kemampuannya dalam menghadapi
tekanan-tekanan dari lingkungan yang menyebabkan dia kurang siap menghadapi kenyataan-kenyataan
hidup di luar rumah dan keluarga. Anak yang terlalu dilindungi akan menjadi
orang yang penurut atau terlalu banyak menuntut, cemas, dan rasa tidak aman.
Perlindungan berlebihan yang
berlangsung lama akan menyebabkan emosi yang tidak stabil dan tidak matang.
Anak yang terlalu dilindungi sering kali menggunakan hubungan-hubungan manusia
untuk kepentingan dirinya sendiri dan dengan demikian dia kurang siap untuk
menikah dan menjadi orang tua.
Pertentangan dalam Perkawinan dan Keluarga Retak
Hal yang sangat penting bagi
perkembangan kepribadian anak adalah peranan orang tua dalam memberikan
kepadanya lingkungan penuh kasih sayang, ke-sempatan untuk mengalami kekuasaan
dan disiplin dalam cara yang dapat diterima, sistem nilai dan identifikasi yang
sehat mengenai laki-laki dan perem-puan. Bukti selalu memperlihatkan bahwa
perkembangan kepribadian anak terjadi dengan baik jika ayah dan ibu ada di
rumah. Dalam kondisi ini anak akan (1) mencapai kemampuan menyesuaikan din yang
matang dan sehat di mana dia menerima norma-norma masyarakat tanpa dikuasai
oleh norma-norma itu, (2) berhubungan hangat dengan orang-orang lain tanpa
terlalu tergantung pada mereka, (3) memperoleh kepuasan dalam bekerj a dan
bermain, (4) belajar memuaskan dorongan-dorongannya dalam cara yang dapat
diterima. Melalui hubungan yang memuaskan dengan kedua orang tua di rumah, dia
dapat mencapai kehangatan dan martabat pribadinya sendiri.
Pertentangan dalam perkawinan
yang menyebabkan terjadinya perpisahan dan perceraian mungkin sekali merupakan
kondisi yang merusak dan meng-hambat, serta mengancam pertumbuhan kepribadian
yang sehat. Permusuhan dan kekacauan emosi yang dihadapi anak dalam kondisi
perkawinan orang ma yang demikian menyebabkan anak merasa sulit dan
kadang-kadang anak tidak mungkin mengembangkan hubungan antarpribadi yang
normal. Dia dibuat merasa cemas dan tidak aman, dan dengan demikian menjadi
dasar bagi gangguan kepribadian dan tingkah laku.
Tetapi pertentangan dalam
perkawinan bukan satu-satunya faktor yang mengacaukan struktur keluarga.
Keadaan-keadaan yang tidak dapat dikuasai individu mungkin menghambat
perkembangan yang sehat, antara lain adalah kematian salah satu orang tua, atau
kedua-duanya lama tidak ada di rumah karena tugas atau pekerjaan. Luasnya
kerusakan yang menimpa anak akan tergantung pada kemampuan anak itu
menyesuaikan diri sebelum kedua orang tuanya mengalami keretakan (gangguan)
perkawinan atau kedua orang tuanya tidak ada di rumah dan pada
hubungan-hubungan lain yang diperolehnya di dalam atau di luar rumah.
Kekuasaan dan Disiplin
Kemampuan untuk menyesuaikan diri
secara adekuat terhadap situasi-situasi kenyataan dalam kebudayaan kita
ntenuntut agar anak belajar menerima kekuasaan. Pada usia 2 atau 3 tahun, anak
sering kali menjadi keras kepala terhadap saran-saran dan keinginan-keinginan
orang lain yang masuk akal. Penolakan terhadap kekuasaan orang tua atau orang
dewasa merupakan tanda otonomi yang sedang tumbuh. Ini adalah usaha anak untuk
menonjolkan dirinya dan membuat supaya dunia menyesuaikan diri dengan
keinginan-keinginannya. Selain itu, dia tidak memiliki pengetahuan dan
kemampuan untuk menyatakan keinginan-keinginannya itu secara verbal. Penolakan
untuk berbuat hanya me-rupakan pertahanan diri terhadap tuntutan-tuntutan
masyarakat yang tidak be-gitu dipahaminya.
Cara bagaimana kekuasaan orang
tua itu diterima tergantung pada hu-bungan anak dengan ayah dan ibunya.
Kekecewaan-kekecewaan yang pertama kali dialami adalah akibat dan
pembatasan-pembatasan yang dikenakan kepa-danya oleh berbagai faktor kenyataan
(misalnya kadang-kadang perlu menunda pemberian makanan dan kepuasan). Ketika
pertumbuhannya berlangsung terus berkat bimbingan orang tuanya, dia belajar
dari pengalaman bahwa dia mengungkapkan kesulitan-kesulitannya secara lebih
rasional daripada hanya dengan tingkah laku yang menolak saja. Sedikit demi
sedikit dia tidak lagi menggunakan cara-cara yang negatif. Di samping itu, dia
mulai belajar bahwa sumber kekecewaannya adalah dirinya sendiri yang sangat
egosentrik dan hanya peka terhadap kebutuhan dan keinginannya sendiri yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan kemauan orang tuanya. Dia mulai menyadari
bahwa kebu-tuhan fisiknya tidak selalu hams dipenuhi oleh orang tuanya.
Kesadaran ini merupakan hubungan kekuasaan yang pertama dan awal sosialisasi
anak, dan dengan proses tersebut sedikit demi sedikit dia dapat memahami
norma-norma masyarakat.
Apabila orang tua menetapkan
norma-norma yang sesuai dengan kema-tangan anak dan mengendalikan anak menurut
norma-norma tersebut secara tegas dan ramah, biasanya anak akan menerima
tuntutan-tuntutan masyarakat yang dikenakan kepadanya. Tetapi sebaliknya, bila
orang tua mengenakan norma-norma yang tidak dapat dipenuhi anak atau dipaksakan
secara semena-mena dan secara dogmatis, maka anak akan mengadakan respons
dengan memberontak atau juga menjadi orang yang sangat penurut. Apabila anak
sama sekali tidak diberikan norma atau diberikan secara paksa dan tidak
konsisten, maka anak akan menjadi bingung dan dia tidak dapat mengembangkan
kemam-puannya yang adekuat untuk menangani frustrasi, dan akhirnya dia tidak
dapat menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan-tuntutan untuk menjadi orang
yang matang.
Pembiasaan akan Kebersihan (Toilet Training)
Fase yang khusus dan sangat
penting dalam proses sosialisasi anak adalah perkembangan dalam mengendalikan
buang air besar dan kecil. Usaha-usaha untuk mengenakan norma-norma
pengendalian kebersihan pada anak sebelum dia siap untuk pembiasaan itu secara
fisik atau emosional sering kali menjadi penyebab awal perasaan tidak adekuat
dan takut. Stres yang terjadi terus-me-nerus pada segi tingkah laku ini dapat
menimbulkan masalah-masalah kepri-badian pada masa yang akan datang. Para
psikoanalis sangat menitikberatkan segi ini dalam hubungan orang tua-anak dan
berpendapat bahwa sifat-sifat seperti kenakalan, keras kepala, dan dorongan
yang terpaksa untuk memper-hatikan kebersihan dan kerapian adalah akibat dari
pembiasaan akan kebersihan yang tidak memuaskan. Usaha-usaha untuk membiasakan
anak dalam kebersihan yang memuaskan sering merupakan hubungan kekuasaan antara
orang tua dan anak yang sangat menentukan perkembangan anak kemudian. Thu yang
selalu menekankan pembiasaan akan kebersihan sering kali men-ceiminkan
kecemasan ibu sendiri akan kebersihan atau perasaan yang tidak adekuat dalam
menjalankan peranannya sebagai ibu.
Perkembangan Seksual
Pada masa ini anak telah bergerak
menuju diferensiasi kepribadian yang lebih lanjut. Dia telah menjadi aktif dan
sangat imajinatif Pengetahuannya bahwa seseorang adalah terpisah dari orang
lain, bahwa seseorang memiliki tubuhnya sendiri, bahwa seseorang dapat
memandang dirinya sendiri terlepas dari lingkungannya, atau dia adalah seorang
yang mempunyai hak-haknya sendiri merupakan suatu prestasi besar bagi anak yang
sedang tumbuh.
Sejalan dengan perkembangan ini,
pengetahuan anak tentang seks mulai dengan kesadaran dan penyelidikannya
tentang tubuhnya sendiri. Perkembang-an selanjutnya terjadi ketika dia
menyadari perbedaan anatomis antara jenis kelamin. Reaksi-reaksi orang tua
terhadap pengalaman belajar ini akan menen-tukan sikap dasar anak terhadap
seks. Pendekatan yang sehat dari orang tua meliputi kesediaan orang tua untuk
manjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak dengan segera, terus terang,
objektif dan sesuai dengan taraf pe-mahaman anak. Jadi, orang tua hams
memberikan kesempatan bagi anak untuk mengintegrasikan pengetahuannya tentang
seks sebagai bagian yang wajar dari selumh pengalaman belajarnya. Reaksi-reaksi
orang tua yang menimbulkan perasaan malu, bersalah, dan melihat seks itu
sebagai sesuatu yang kotor atau sebagai sesuatu yang tabu pada anak dapat
menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam menerima fungsi seks dalam hidup. Orang
tua yang terlalu sering mem-belai-belai anak mungkin akan merangsang
daerah-daerah erotik pada tubuh, dan dengan demikian mengondisikan anak bagi
bentuk kepuasan ini. Sebalik-nya, orang tua yang terlalu lama tidak
memperlihatkan kasih sayang mungkin menyebabkan anak merangsang dirinya sendiri
untuk mencari kepuasan.
Selama awal masa kanak-kanak,
ikatan emosional antara anak dengan orang tua yang tidak sejenis mungkin sangat
kuat. Ikatan ini yang digambarkan oleh Freud sebagai hubungan Oedipus (atau
situasi Oedipus) terjadi tidak hanya hubungan anak dengan orang tua yang tidak
sejenis, tetapi juga perasaan iri dan bersaing dengan orang tua yang sejenis.
Apabila hubungan yang kuat ini ada, maka akan menimbulkan kesulitan bagi
perkembangan emosional pada masa yang akan datang. Hubungan seksual yang
dilakukan oleh orang tua yang dilihat anak mungkin membawa pengaruh traumatis
dalam diri anak ka-rena dia dapat menafsirkan situasi tersebut sebagai cara
memperlihatkan agre-sivitas dan bukan kasih sayang. Kadang-kadang terjadi anak
yang melihat orang tuanya tanpa pakaian akan menyebabkan kesulitan emosional
pada anak.
Sikap terhadap seks yang
ditanamkan pada masa kanak-kanak meletakkan dasar bagi bidang-bidang penting
kepribadian orang dewasa, misalnya hubung-an-hubungan dengan lawan jenis,
kapasitas untuk saling mencintai dan menya-yangi, dan kapasitas untuk memegang
peran yang memadai dalam kehidupan sebagai pria atau wanita. Sikap-sikap yang
salah memberikan berbagai kesulitan kepribadian pada masa yang akan datang.
Agresi dan Permusuhan
Ketika anak berkembang dan
belajar menguasai tata susunan otot kerangka tubuhnya, dia menemukan
kapasitasnya untuk mengadakan respons terhadap lingkungan dengan tindakan
agresif. Perasaan-perasaan bermusuhan yang disebabkan oleh frustrasi,
penghinaan, atau ancaman dapat menyebabkan anak memperlihatkan kemampuannya
untuk menyerang secara langsung dan terbuka. Akibat dan ungkapan agresinya itu,
reaksinya sendiri terhadap pengalaman itu dan reaksi dan orang lain merupakan
pengaruh yang sangat penting dalam proses menguji dan belajar ini, dan akhirnya
dalam seluruh perkembangan kepribadian. Perasaan bermusuhan yang dialami secara
berulang-ulang dan diungkapkan dengan agresi turut menentukan pola-pola
pengendalian din yang akan dibawa ke dalam kehidupan dewasa. Anak-anak hams
dibimbing agar memahami bahwa permusuhan itu wajar dan dapat diterima, tetapi
perwujudan perasaan itu dalam bentuk agresi hams dikendalikan. Tentu saja,
tingkat pe-ngendalian impuls-impuls agresif itu hams dihubungkan dengan tingkat
usia anak, dan juga dengan situasi yang menimbulkannya. Misalnya, agresi dapat
diterima dalam tingkah laku anak yang berusia 3 tahun daripada yang berusia 7
tahun.
Bila reaksi orang tua terhadap
agresi ini terlalu ekstrem, maka bisa menim-bulkan kesulitan-kesulitan dalam
penyesuaian diri. Jadi, anak yang dibuat cemas dan merasa bersalah terhadap
semua perasaan bermusuhan dan setiap ungkapannya dalam bentuk agresi mungkin
menyebabkan pola-pola pengen-dalian yang tidak sehat. Perasaan-perasaan
bersalah dan ketakutannya terhadap agresi atau hukuman balasan mungkin akan
menyebabkan anak mengekang perasaannya dan sangat takut. Tetapi, pengendalian
yang terlalu ketat oleh orang tua juga akan menyebabkan anak memberontak.
Sebaliknya, pola lain mungkin terjadi apabila orang tua sama sekali gagal dalam
mengendalikan ungkapan agresif anak. Dengan demikian, mereka mungkin memupuk
tingkah laku agresifnya sebagai cara menyesuaikan diri. Kesulitan-kesulitan
dalam usaha mengendalikan agresi merupakan penyebab utama simtom-simtom yang
melumpuhkan. Banyak ahli berpendapat bahwa agresi merupakan sumber yang sangat
penting dalam menimbulkan perasaan bersalah. Lagi pula agresi dapat menjadi
dasar bagi lingkaran setan dengan urutannya demikian: frustrasi —agresi —
perasaan bersalah — kecemasan — frustrasi yang lebih berat.
Hubungan dengan Saudara-Saudara Kandung
Meskipun hubungan anak yang
sangat penting adalah dengan orang tuanya, namun interaksi dengan saudara
laki-laki dan saudara perempuannya memain-kan peranan yang penting dalam
perkembangan kepribadian. Masalah utama dalam penyesuaian diri yang dialami
anak adalah cinta kasih orang tua harus dibagi. Pembagian seperti itu dapat
menimbulkan perasaan iri dan bermusuhan yang diketahui anak itu dan selanjutnya
dapat mengancam perasaan-perasaan amannya. Penyesuaian diri anak dengan masalah
saudara kandung ditentukan oleh jumlah anak dalam keluarga, urutan kelahiran
anak itu sendiri, usia dan jenis kelamin anak-anak, dan perbedaan fisik,
intelektual, atau emosional yang dapat membangkitkan perasaan rendah diri atau
perasaan lebih unggul. Peran yang dimainkan anak dalam susunan keluarga juga
menentukan pola penye-suaian diri dalam kehidupan sosial yang akan datang.
Selain faktor-faktor tersebut,
cara orang tua menangani hubungan anak-anak kandung menentukan besarnya atau
luasnya pengaruh pada kepribadian individu. Pilih kasih dapat memperkuat
perasaan iri atau permusuhan terhadap anak yang sangat dicintai, dan mengadu
domba antara anak dengan anak yang dilakukan secara sadar atau tak sadar dapat
meningkatkan persaingan sehingga menimbulkan akibat yang tidak menyenangkan.
Dalam batas-batas yang wajar,
persaingan di antara anak-anak kandung 1 hams diterima sebagai ciri yang normal
dalam perjuangan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Tetapi kalau terus-menerus
bersaing dan melampaui batas kewajaran dapat menjadi faktor yang menyebabkan
tingkah laku abnormal pada masa kanak-kanak dan dapat berlanjut terns dalam
kehidupan dewasa. Dengan demikian, perasaan-perasaan bermusuhan yang ditekan
dan berakar dalam terhadap saudara laki-laki dan perempuan dapat menjadi titik tolak
bagi prasangka patologik, tingkah laku kompensasi yang ekstrem, dan depresi
yang mungkin diungkapkan dalam berbagai sindrom.
Frustrasi yang Ekstrem dan Pengalaman Traumatis
Ada pendapat yang mengemukakan
bahwa tingkah laku abnormal disebabkan oleh hanya satu pengalaman traumatis
saja. Pandangan ini terlalu sederhana dan mengabaikan pengaruh-pengaruh lain,
misalnya film dan TV. Namun, penyelidikan mengenai sejarah kasus yang banyak
jumlahnya menunjukkan bahwa dampak dari setiap pengalaman traumatis pada
perkembangan seorang anak selalu dipengaruhi oleh perkembangan anak sampai pada
saat itu. Trauma psikologis tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan
kepribadian; makin drastic pengalaman itu, makin kuat juga pengaruhnya dalam
menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri. Tetapi, akibat ini pun tergantung
pada interpretasi anak itu terhadap pengalaman traumatis yang berdasarkan
perasaan-perasaan batinnya. Kematian salah satu orang tua, misalnya, menjadi
lebih kritis apabila kematian itu terjadi pada waktu anak sedang mengalami
permu-suhan yang hebaedengan orang tuanya yang meninggal itu. Secara tak sadar
dia mungkin merasa bahwa dia menjadi penyebab dari kematian itu.
Cara orang-orang yang berarti
bagi kehidupan anak menangani peng-alaman itu juga dapat menentukan pengaruh
trauma itu. Jika anak itu secara bijaksana didukung dalam pengalaman yang
demikian mungkin anak itu kurang mengalami trauma. Tetapi apabila anak itu
dinasihati supaya jangan mengung-kapkan perasaannya dan hams menekannya, maka
pengaruh dari trauma itu bisa berlangsung lama dan membahayakan.
Pengalaman-pengalaman traumatis
umum yang penting dalam perkem-bangan ketidakmampuan menyesuaikan diri secara
emosional adalah kematian orang tua atau saudara kandung, kecelakaan atau
penyakit yang berat, berpisah dengan orang tua secara mendadak atau lama,
frustrasi yang berat atau berke-panjangan, dan tidak terpenuhinya kebutuhan
dasar biologis. Teori psikoanalitik juga memperhatikan secara khusus pengaruh
pengalaman seksual yang trau-matis sebagai penyebab tingkah laku abnormal.