Friday 20 November 2015

Inilah masa di mana usaha-usaha sosialisasi benar-benar dilakukan. Masa ini dimulai pada anak yang berusia 2-5 tahun. Pada masa ini, anak mulai menyadari individualitasnya, dan dia dihadapkan dengan masalah kekuasaan dan disiplin. Pada awal masa kanak-kanak dia sudah mulai memperlihatkan bahwa dia tidak begitu tergantung lagi seperti pada masa sebelumnya, sebaliknya dia memper-lihatkan sikap otonominya dalam hal gerak, bisa mengurusi dirinya sendiri da-lam kebutuhan-kebutuhan yang sederhana, dan perkembangan tingkah laku sosial.
Selama masa ini keluarga merupakan lingkungan tempat anak itu me-ngembangkan keterampilan-keterampilan sosial dan mulai belajar mengontrol tingkah lakunya sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan baginya. Perse-tujuan dan celaan orang tua menjadi pedoman utama untuk bertingkah laku, dan cara orang tua memakai norma-norma tersebut merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perkembangan kepribadian. Beberapa faktor penyebab dan tingkah laku abnormal kemudian yang dapat dianggap berasal dari masa awal kanak-kanak adalah hubungan orang tua-anak, kekuasaan dan disiplin, pembiasaan kebersihan (toilet training), perkembangan seksual, agresi dan permusuhan, hubungan dengan saudara-saudara kandung, frustrasi yang ekstrem, dan pengalaman traumatis lain.
Hubungan Orang Tua—Anak
Tingkah laku yang ekstrem antara orang tua dan anak dapat menjadi sumber zangguan emosional dan tingkah laku abnormal. Penyimpangan-penyimpangan dari hubungan orang tua-anak yang sangat penting adalah penolakan, per-lindungan yang berlebihan, pertentangan dalam perkawinan atau keluarga retak.
Penolakan
Karena anak itu tergantung pada orang tuanya dalam hal menilai dirinya sendiri dan dunia luar, maka setiap penolakan dari orang tua akan menimbulkan reaksi negatif pada pihak anak. Penolakan yang kejam dan ekstrem serta berlangsung lama merupakan sumber dari perasaan tidak aman dan ketidakmampuan menye-suaikan diri pada masa-masa yang akan datang. Penolakan orang tua dapat dilakukan dengan berbagai cara: penolakan secara terbuka (terang-terangan), atau secara halus dan tidak disadari. Mungkin juga penolakan itu menjadi suatu pola yang tetap dari tingkah laku orang tua, atau secara tidak tetap yang diperlihatkan oleh salah satu orang tua atau kedua orang tua. Penolakan itu mungkin diungkapkan dengan cara: mengingkari, atau menghalang-halangi, mengomel, mengkritik, atau tetap mempertahankan norma-norma yang tidak mungkin dicapai oleh anak, pilih kasih di antara saudara-saudara kandung, atau mengabaikannya.
Reaksi anak terhadap penolakan itu sendiri tergantung tidak hanya pada kenyataan bahwa dia ditolak, tetapi juga pada cara dan tingkat pengungkapan-nya dan tentu saja pada temperamen anak itu sendiri. Dia mungkin menerima penolakan itu atau memberontak, menarik diri atau menyerang. Tingkah laku abnormal yang muncul dari penolakan orang tua berkisar dari simtom-simtom psikologis yang ringan sampai pada gangguan-gangguan kepribadian yang berat.
Perlindungan yang Berlebihan
Apabila orang tua secara sadar atau tidak sadar mencegah anak mengembang-kan otonomi yang normal dalam interaksinya dengan lingkungan, maka dapat dikatakan orang tua terlalu melindungi anak. Ini mungkin terungkap dalam bentuk kasih sayang yang berlebihan dengan cara memanjakan anak, atau me-ngontrol anak dengan bersikap dingin (kaku) atau menguasainya. Orang tua yang terlalu melindungi anak akan bersikap tunduk kepada semua tuntutan anak itu, atau juga selalu memaksa nilai-nilai, ambisi-ambisi, dan keinginan-keinginan mereka sendiri kepada anak itu. Sering kali perlindungan yang berle-bihan itu juga disebabkan oleh kecemasan-kecemasan orang tua karena pera-saan-perasaan yang tidak adekuat, kesulitan-kesulitan dalam memahami anak, kematian anak-anak lain, atau anak menderita penyakit yang berat. Atau juga perlindungan yang berlebihan itu digunakan oleh orang tua sebagai mekanisme untuk menutupi perasaan bersalah yang muncul dari penolakan anak yang tidak disadari. Perlindungan yang berlebihan mengganggu usaha anak untuk menguji kemampuannya dalam menghadapi tekanan-tekanan dari lingkungan yang menyebabkan dia kurang siap menghadapi kenyataan-kenyataan hidup di luar rumah dan keluarga. Anak yang terlalu dilindungi akan menjadi orang yang penurut atau terlalu banyak menuntut, cemas, dan rasa tidak aman.
Perlindungan berlebihan yang berlangsung lama akan menyebabkan emosi yang tidak stabil dan tidak matang. Anak yang terlalu dilindungi sering kali menggunakan hubungan-hubungan manusia untuk kepentingan dirinya sendiri dan dengan demikian dia kurang siap untuk menikah dan menjadi orang tua.
Pertentangan dalam Perkawinan dan Keluarga Retak
Hal yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak adalah peranan orang tua dalam memberikan kepadanya lingkungan penuh kasih sayang, ke-sempatan untuk mengalami kekuasaan dan disiplin dalam cara yang dapat diterima, sistem nilai dan identifikasi yang sehat mengenai laki-laki dan perem-puan. Bukti selalu memperlihatkan bahwa perkembangan kepribadian anak terjadi dengan baik jika ayah dan ibu ada di rumah. Dalam kondisi ini anak akan (1) mencapai kemampuan menyesuaikan din yang matang dan sehat di mana dia menerima norma-norma masyarakat tanpa dikuasai oleh norma-norma itu, (2) berhubungan hangat dengan orang-orang lain tanpa terlalu tergantung pada mereka, (3) memperoleh kepuasan dalam bekerj a dan bermain, (4) belajar memuaskan dorongan-dorongannya dalam cara yang dapat diterima. Melalui hubungan yang memuaskan dengan kedua orang tua di rumah, dia dapat mencapai kehangatan dan martabat pribadinya sendiri.
Pertentangan dalam perkawinan yang menyebabkan terjadinya perpisahan dan perceraian mungkin sekali merupakan kondisi yang merusak dan meng-hambat, serta mengancam pertumbuhan kepribadian yang sehat. Permusuhan dan kekacauan emosi yang dihadapi anak dalam kondisi perkawinan orang ma yang demikian menyebabkan anak merasa sulit dan kadang-kadang anak tidak mungkin mengembangkan hubungan antarpribadi yang normal. Dia dibuat merasa cemas dan tidak aman, dan dengan demikian menjadi dasar bagi gangguan kepribadian dan tingkah laku.
Tetapi pertentangan dalam perkawinan bukan satu-satunya faktor yang mengacaukan struktur keluarga. Keadaan-keadaan yang tidak dapat dikuasai individu mungkin menghambat perkembangan yang sehat, antara lain adalah kematian salah satu orang tua, atau kedua-duanya lama tidak ada di rumah karena tugas atau pekerjaan. Luasnya kerusakan yang menimpa anak akan tergantung pada kemampuan anak itu menyesuaikan diri sebelum kedua orang tuanya mengalami keretakan (gangguan) perkawinan atau kedua orang tuanya tidak ada di rumah dan pada hubungan-hubungan lain yang diperolehnya di dalam atau di luar rumah.
Kekuasaan dan Disiplin
Kemampuan untuk menyesuaikan diri secara adekuat terhadap situasi-situasi kenyataan dalam kebudayaan kita ntenuntut agar anak belajar menerima kekuasaan. Pada usia 2 atau 3 tahun, anak sering kali menjadi keras kepala terhadap saran-saran dan keinginan-keinginan orang lain yang masuk akal. Penolakan terhadap kekuasaan orang tua atau orang dewasa merupakan tanda otonomi yang sedang tumbuh. Ini adalah usaha anak untuk menonjolkan dirinya dan membuat supaya dunia menyesuaikan diri dengan keinginan-keinginannya. Selain itu, dia tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyatakan keinginan-keinginannya itu secara verbal. Penolakan untuk berbuat hanya me-rupakan pertahanan diri terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat yang tidak be-gitu dipahaminya.
Cara bagaimana kekuasaan orang tua itu diterima tergantung pada hu-bungan anak dengan ayah dan ibunya. Kekecewaan-kekecewaan yang pertama kali dialami adalah akibat dan pembatasan-pembatasan yang dikenakan kepa-danya oleh berbagai faktor kenyataan (misalnya kadang-kadang perlu menunda pemberian makanan dan kepuasan). Ketika pertumbuhannya berlangsung terus berkat bimbingan orang tuanya, dia belajar dari pengalaman bahwa dia mengungkapkan kesulitan-kesulitannya secara lebih rasional daripada hanya dengan tingkah laku yang menolak saja. Sedikit demi sedikit dia tidak lagi menggunakan cara-cara yang negatif. Di samping itu, dia mulai belajar bahwa sumber kekecewaannya adalah dirinya sendiri yang sangat egosentrik dan hanya peka terhadap kebutuhan dan keinginannya sendiri yang bertentangan atau tidak sesuai dengan kemauan orang tuanya. Dia mulai menyadari bahwa kebu-tuhan fisiknya tidak selalu hams dipenuhi oleh orang tuanya. Kesadaran ini merupakan hubungan kekuasaan yang pertama dan awal sosialisasi anak, dan dengan proses tersebut sedikit demi sedikit dia dapat memahami norma-norma masyarakat.
Apabila orang tua menetapkan norma-norma yang sesuai dengan kema-tangan anak dan mengendalikan anak menurut norma-norma tersebut secara tegas dan ramah, biasanya anak akan menerima tuntutan-tuntutan masyarakat yang dikenakan kepadanya. Tetapi sebaliknya, bila orang tua mengenakan norma-norma yang tidak dapat dipenuhi anak atau dipaksakan secara semena-mena dan secara dogmatis, maka anak akan mengadakan respons dengan memberontak atau juga menjadi orang yang sangat penurut. Apabila anak sama sekali tidak diberikan norma atau diberikan secara paksa dan tidak konsisten, maka anak akan menjadi bingung dan dia tidak dapat mengembangkan kemam-puannya yang adekuat untuk menangani frustrasi, dan akhirnya dia tidak dapat menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan-tuntutan untuk menjadi orang yang matang.
Pembiasaan akan Kebersihan (Toilet Training)
Fase yang khusus dan sangat penting dalam proses sosialisasi anak adalah perkembangan dalam mengendalikan buang air besar dan kecil. Usaha-usaha untuk mengenakan norma-norma pengendalian kebersihan pada anak sebelum dia siap untuk pembiasaan itu secara fisik atau emosional sering kali menjadi penyebab awal perasaan tidak adekuat dan takut. Stres yang terjadi terus-me-nerus pada segi tingkah laku ini dapat menimbulkan masalah-masalah kepri-badian pada masa yang akan datang. Para psikoanalis sangat menitikberatkan segi ini dalam hubungan orang tua-anak dan berpendapat bahwa sifat-sifat seperti kenakalan, keras kepala, dan dorongan yang terpaksa untuk memper-hatikan kebersihan dan kerapian adalah akibat dari pembiasaan akan kebersihan yang tidak memuaskan. Usaha-usaha untuk membiasakan anak dalam kebersihan yang memuaskan sering merupakan hubungan kekuasaan antara orang tua dan anak yang sangat menentukan perkembangan anak kemudian. Thu yang selalu menekankan pembiasaan akan kebersihan sering kali men-ceiminkan kecemasan ibu sendiri akan kebersihan atau perasaan yang tidak adekuat dalam menjalankan peranannya sebagai ibu.
Perkembangan Seksual
Pada masa ini anak telah bergerak menuju diferensiasi kepribadian yang lebih lanjut. Dia telah menjadi aktif dan sangat imajinatif Pengetahuannya bahwa seseorang adalah terpisah dari orang lain, bahwa seseorang memiliki tubuhnya sendiri, bahwa seseorang dapat memandang dirinya sendiri terlepas dari lingkungannya, atau dia adalah seorang yang mempunyai hak-haknya sendiri merupakan suatu prestasi besar bagi anak yang sedang tumbuh.
Sejalan dengan perkembangan ini, pengetahuan anak tentang seks mulai dengan kesadaran dan penyelidikannya tentang tubuhnya sendiri. Perkembang-an selanjutnya terjadi ketika dia menyadari perbedaan anatomis antara jenis kelamin. Reaksi-reaksi orang tua terhadap pengalaman belajar ini akan menen-tukan sikap dasar anak terhadap seks. Pendekatan yang sehat dari orang tua meliputi kesediaan orang tua untuk manjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak dengan segera, terus terang, objektif dan sesuai dengan taraf pe-mahaman anak. Jadi, orang tua hams memberikan kesempatan bagi anak untuk mengintegrasikan pengetahuannya tentang seks sebagai bagian yang wajar dari selumh pengalaman belajarnya. Reaksi-reaksi orang tua yang menimbulkan perasaan malu, bersalah, dan melihat seks itu sebagai sesuatu yang kotor atau sebagai sesuatu yang tabu pada anak dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam menerima fungsi seks dalam hidup. Orang tua yang terlalu sering mem-belai-belai anak mungkin akan merangsang daerah-daerah erotik pada tubuh, dan dengan demikian mengondisikan anak bagi bentuk kepuasan ini. Sebalik-nya, orang tua yang terlalu lama tidak memperlihatkan kasih sayang mungkin menyebabkan anak merangsang dirinya sendiri untuk mencari kepuasan.
Selama awal masa kanak-kanak, ikatan emosional antara anak dengan orang tua yang tidak sejenis mungkin sangat kuat. Ikatan ini yang digambarkan oleh Freud sebagai hubungan Oedipus (atau situasi Oedipus) terjadi tidak hanya hubungan anak dengan orang tua yang tidak sejenis, tetapi juga perasaan iri dan bersaing dengan orang tua yang sejenis. Apabila hubungan yang kuat ini ada, maka akan menimbulkan kesulitan bagi perkembangan emosional pada masa yang akan datang. Hubungan seksual yang dilakukan oleh orang tua yang dilihat anak mungkin membawa pengaruh traumatis dalam diri anak ka-rena dia dapat menafsirkan situasi tersebut sebagai cara memperlihatkan agre-sivitas dan bukan kasih sayang. Kadang-kadang terjadi anak yang melihat orang tuanya tanpa pakaian akan menyebabkan kesulitan emosional pada anak.
Sikap terhadap seks yang ditanamkan pada masa kanak-kanak meletakkan dasar bagi bidang-bidang penting kepribadian orang dewasa, misalnya hubung-an-hubungan dengan lawan jenis, kapasitas untuk saling mencintai dan menya-yangi, dan kapasitas untuk memegang peran yang memadai dalam kehidupan sebagai pria atau wanita. Sikap-sikap yang salah memberikan berbagai kesulitan kepribadian pada masa yang akan datang.
Agresi dan Permusuhan
Ketika anak berkembang dan belajar menguasai tata susunan otot kerangka tubuhnya, dia menemukan kapasitasnya untuk mengadakan respons terhadap lingkungan dengan tindakan agresif. Perasaan-perasaan bermusuhan yang disebabkan oleh frustrasi, penghinaan, atau ancaman dapat menyebabkan anak memperlihatkan kemampuannya untuk menyerang secara langsung dan terbuka. Akibat dan ungkapan agresinya itu, reaksinya sendiri terhadap pengalaman itu dan reaksi dan orang lain merupakan pengaruh yang sangat penting dalam proses menguji dan belajar ini, dan akhirnya dalam seluruh perkembangan kepribadian. Perasaan bermusuhan yang dialami secara berulang-ulang dan diungkapkan dengan agresi turut menentukan pola-pola pengendalian din yang akan dibawa ke dalam kehidupan dewasa. Anak-anak hams dibimbing agar memahami bahwa permusuhan itu wajar dan dapat diterima, tetapi perwujudan perasaan itu dalam bentuk agresi hams dikendalikan. Tentu saja, tingkat pe-ngendalian impuls-impuls agresif itu hams dihubungkan dengan tingkat usia anak, dan juga dengan situasi yang menimbulkannya. Misalnya, agresi dapat diterima dalam tingkah laku anak yang berusia 3 tahun daripada yang berusia 7 tahun.
Bila reaksi orang tua terhadap agresi ini terlalu ekstrem, maka bisa menim-bulkan kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian diri. Jadi, anak yang dibuat cemas dan merasa bersalah terhadap semua perasaan bermusuhan dan setiap ungkapannya dalam bentuk agresi mungkin menyebabkan pola-pola pengen-dalian yang tidak sehat. Perasaan-perasaan bersalah dan ketakutannya terhadap agresi atau hukuman balasan mungkin akan menyebabkan anak mengekang perasaannya dan sangat takut. Tetapi, pengendalian yang terlalu ketat oleh orang tua juga akan menyebabkan anak memberontak. Sebaliknya, pola lain mungkin terjadi apabila orang tua sama sekali gagal dalam mengendalikan ungkapan agresif anak. Dengan demikian, mereka mungkin memupuk tingkah laku agresifnya sebagai cara menyesuaikan diri. Kesulitan-kesulitan dalam usaha mengendalikan agresi merupakan penyebab utama simtom-simtom yang melumpuhkan. Banyak ahli berpendapat bahwa agresi merupakan sumber yang sangat penting dalam menimbulkan perasaan bersalah. Lagi pula agresi dapat menjadi dasar bagi lingkaran setan dengan urutannya demikian: frustrasi —agresi — perasaan bersalah — kecemasan — frustrasi yang lebih berat.
Hubungan dengan Saudara-Saudara Kandung
Meskipun hubungan anak yang sangat penting adalah dengan orang tuanya, namun interaksi dengan saudara laki-laki dan saudara perempuannya memain-kan peranan yang penting dalam perkembangan kepribadian. Masalah utama dalam penyesuaian diri yang dialami anak adalah cinta kasih orang tua harus dibagi. Pembagian seperti itu dapat menimbulkan perasaan iri dan bermusuhan yang diketahui anak itu dan selanjutnya dapat mengancam perasaan-perasaan amannya. Penyesuaian diri anak dengan masalah saudara kandung ditentukan oleh jumlah anak dalam keluarga, urutan kelahiran anak itu sendiri, usia dan jenis kelamin anak-anak, dan perbedaan fisik, intelektual, atau emosional yang dapat membangkitkan perasaan rendah diri atau perasaan lebih unggul. Peran yang dimainkan anak dalam susunan keluarga juga menentukan pola penye-suaian diri dalam kehidupan sosial yang akan datang.
Selain faktor-faktor tersebut, cara orang tua menangani hubungan anak-anak kandung menentukan besarnya atau luasnya pengaruh pada kepribadian individu. Pilih kasih dapat memperkuat perasaan iri atau permusuhan terhadap anak yang sangat dicintai, dan mengadu domba antara anak dengan anak yang dilakukan secara sadar atau tak sadar dapat meningkatkan persaingan sehingga menimbulkan akibat yang tidak menyenangkan.
Dalam batas-batas yang wajar, persaingan di antara anak-anak kandung 1 hams diterima sebagai ciri yang normal dalam perjuangan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Tetapi kalau terus-menerus bersaing dan melampaui batas kewajaran dapat menjadi faktor yang menyebabkan tingkah laku abnormal pada masa kanak-kanak dan dapat berlanjut terns dalam kehidupan dewasa. Dengan demikian, perasaan-perasaan bermusuhan yang ditekan dan berakar dalam terhadap saudara laki-laki dan perempuan dapat menjadi titik tolak bagi prasangka patologik, tingkah laku kompensasi yang ekstrem, dan depresi yang mungkin diungkapkan dalam berbagai sindrom.
Frustrasi yang Ekstrem dan Pengalaman Traumatis
Ada pendapat yang mengemukakan bahwa tingkah laku abnormal disebabkan oleh hanya satu pengalaman traumatis saja. Pandangan ini terlalu sederhana dan mengabaikan pengaruh-pengaruh lain, misalnya film dan TV. Namun, penyelidikan mengenai sejarah kasus yang banyak jumlahnya menunjukkan bahwa dampak dari setiap pengalaman traumatis pada perkembangan seorang anak selalu dipengaruhi oleh perkembangan anak sampai pada saat itu. Trauma psikologis tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian; makin drastic pengalaman itu, makin kuat juga pengaruhnya dalam menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri. Tetapi, akibat ini pun tergantung pada interpretasi anak itu terhadap pengalaman traumatis yang berdasarkan perasaan-perasaan batinnya. Kematian salah satu orang tua, misalnya, menjadi lebih kritis apabila kematian itu terjadi pada waktu anak sedang mengalami permu-suhan yang hebaedengan orang tuanya yang meninggal itu. Secara tak sadar dia mungkin merasa bahwa dia menjadi penyebab dari kematian itu.

Cara orang-orang yang berarti bagi kehidupan anak menangani peng-alaman itu juga dapat menentukan pengaruh trauma itu. Jika anak itu secara bijaksana didukung dalam pengalaman yang demikian mungkin anak itu kurang mengalami trauma. Tetapi apabila anak itu dinasihati supaya jangan mengung-kapkan perasaannya dan hams menekannya, maka pengaruh dari trauma itu bisa berlangsung lama dan membahayakan.

Pengalaman-pengalaman traumatis umum yang penting dalam perkem-bangan ketidakmampuan menyesuaikan diri secara emosional adalah kematian orang tua atau saudara kandung, kecelakaan atau penyakit yang berat, berpisah dengan orang tua secara mendadak atau lama, frustrasi yang berat atau berke-panjangan, dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar biologis. Teori psikoanalitik juga memperhatikan secara khusus pengaruh pengalaman seksual yang trau-matis sebagai penyebab tingkah laku abnormal. 

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget