Dalam suatu
hubungan kemungkinan munculnya konflik tidak terelakkan, baik dalam hubungan
persahabatan atau pertemanan, hubungan perkawinan maupun hubungan antara orang
tua dan anak. Biasanya konflik ini terkait dengan adanya ketidaksetaraan dalam
hubungan, salah satu pihak merasa paling banyak berkorban, paling sering
mengalah atau menderita dalam menjalani hubungan yang ada.
Faktor budaya
juga membawa pengaruh dalam hubungan. Sebagaimana Triandis (1994) serta Dion
& Dion (1993) yang menyatakan bahwa untuk mengetahui berakhirnya hubungan,
dalam hal ini adalah "perceraian" , sangat membantu jika mengetahui
nilai-nilainya. Budaya "individualis" memandang cinta adalah suatu
perasaan dan kata hati, sementara budaya "kolektif' melihat cinta membawa
kewajiban tertentu dan memiliki tanggung jawab sosial seperti apa yang
diharapkan oleh orang lain dalam sebuah perkawinan. Orang individualis menikah
"selama kita berdua saling mencintai, sedangkan kolektivis menikah
"sakali seumur hidup". Individualis mengharapkan lebih banyak gairah
dan pemenuhan din pribadi dalam pernikahan yang memberikan tekanan yang lebih
besar dalam suatu hubungan (dalam Myers, 2012:177).
Namun dalam
penelitian juga ditemukan, bahkan dalam lingkungan masyarakat Barat, mereka
yang memasuki suatu hubungan dengan orientaasi jangka panjang dan dengan niat
untuk tetap bertahan memang mengalami kebersamaan yang lebih sehat, sedikit
mengalami goncangan dan bertahan lama (Arriaga & Agnew, 2001 dalam Myers,
2012:177-178). Hubungan yang bertahan lama bersumber dari rasa cinta dan
kepuasan yang juga bertahan lama, tetapi juga bersumber dari ketakutan
mengalami kerugian jika hubungan berakhir, perasaan adanya kewajiban moral dan
tidak memperhatikan alternatif pasangan lain yang lebih memungkinkan. Hal ini
terjadi misalnya dalam persoalan yang terkait dengan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) dimana istri yang menjadi korban seringkali memiliki
ketergantungan secara sosial dan ekonomi terhadap suaminya (misalnya karena
status suami yang berasal dari keluarga terpandang, istri yang tidak bekerja,
dan lain-lain). Kemudian juga pertimbangan moral atas kelangsungan hidup
anak-anaknya yang memerlukan bimbingan dan asuhan kedua orang tua, sehingga
selaku ibu berusaha bertahan dalam kehidupan rumahtangganya. Faktor umur terutama
bagi perempuan, dalam budaya masyarakat yang kolektivis serta pandangan ilmu
biologi tentang keterbatasan usia produktif perempuan, juga menyebabkan pihak
perempuan lebih memiliki kecenderungan sesegera mungkin memiliki pasangan
(terutama mereka yang berada dalam usia tertentu).
Ketika suatu
hubungan yang erat mulai berkurang, maka akan muncul beberapa reaksi yang
digambarkan oleh Rusbult dkk (1986,1987,1998,2001) dalam Myers (2012:180) yaitu
adanya respons terhadap stres dalam hubungan. Reaksi tersebut adalah
membicarakan atau menyuarakan (voice), kesetiaan (loyalty), menolak (neglect)
dan pergi (exit). Reaksi-reaksi ini dibedakan berdasarkan dua dimensi yaitu (1)
respons yang "konstruktif-destruktif' dan (2) respon yang
"aktif-pasif". Reaksi voice dan loyalty dianggap sebagai reaksi yang
konstruktif karena pada umumnya berniat untuk mempertahankan hubungan.
Sedangkan exit dan neglect dianggap reaksi yang destruktif yang cenderung
memutuskan atau mengakhiri hubungan. Pada dimensi aktif-pasif, reaksi exit dan
voice dianggap sebagai perilaku yang aktif, sedangkan reaksi loyalty dan
neglect dianggap lebih pasif.
Rusbult &
Zembrodt (dalam Dayakisni, 208-210) mengidentifikasi-kan tiga variabel yang
dapat memprediksi derajat komitmen terhadap suatu hubungan dan juga
mempengaruhi pilihan dan reaksi atau respon yang diambil ketika is tidak puas
dengan hubungan-hubungan tersebut. Variabel-variabel itu adalah:
a. Derajat
kepuasan individu pada hubungan tersebut, sebelum terjadi penurunan/kemunduran
hubungan.
b. Besarnya
sumber-sumber yang telah diinvestasikan oleh individu dalam hubungan tersebut.
c. Mutu dari
hubungan altematif (comparison level for alternatives) yang terbaik pada saat
itu yang bisa tejangkau.
Pada umumnya
jika kepuasan hubungan teerdahulu dan investasi yang telah ditanamkan
dipersepsi tinggi, maka kemungkinan dia akan mengambil respon yang konstruktif.
Jika subyek lebih tertarik pada hubungan altematif (dianggap lebih bermutu)
maka respon exit (pergi) akan meningkat dan loyalty (kesetiaan)
berkurang.Bukti-bukti lain juga mendukung adanya perbedaan tipe respon antara
pria dan wanita dalam mengatasi masalah atau konflik dalam hubungan, dimana
pria lebih memilih aktif dan wanita memilih pasif. Pengaruh tingkat pendidikan
juga terjadi, dimana mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi umumnya
akan menggunakan mekanisme voice dan sebaliknya mereka yang berpendidikan
rendah cenderung menggunakan respon loyalty atau neglect. Kebanyakan orang yang
sudah menikah juga cenderung memilih kesetiaan daripada yang tidak atau belum
menikah. Bagan responnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Jenis Respon
|
Keterangan
|
Exit (Keluar)
|
Secara resmi
berpisah, keluar dan hubungan, mengancam- mengakhiri hubungan, memutuskan
hanya sebagai teman, bercerai
|
Voice
(membicarakan)
|
Mendiskusikan
masalah, kompromi, mencarai psikolog, mengusulkan solusi, mendengar masalah
pasangan, berusaha berubah
|
Loyalty (kesetiaan)
|
Menunggu, berharap,
berdoa, segalanya segera pulih
|
Neglect (menolak)
|
Mengabaikan
pasangan, menolak berdiskusi, mengkritik dan memperlakukan pasangan dengan
buruk, "membiarkan segalanya hancur" dan lain-lair
|
hubunganku kandas ditengah jalan, ini masukan yang pas
ReplyDelete