Friday, 23 October 2015


Dalam suatu hubungan kemungkinan munculnya konflik tidak terelakkan, baik dalam hubungan persahabatan atau pertemanan, hubungan perkawinan maupun hubungan antara orang tua dan anak. Biasanya konflik ini terkait dengan adanya ketidaksetaraan dalam hubungan, salah satu pihak merasa paling banyak berkorban, paling sering mengalah atau menderita dalam menjalani hubungan yang ada.

Faktor budaya juga membawa pengaruh dalam hubungan. Sebagaimana Triandis (1994) serta Dion & Dion (1993) yang menyatakan bahwa untuk mengetahui berakhirnya hubungan, dalam hal ini adalah "perceraian" , sangat membantu jika mengetahui nilai-nilainya. Budaya "individualis" memandang cinta adalah suatu perasaan dan kata hati, sementara budaya "kolektif' melihat cinta membawa kewajiban tertentu dan memiliki tanggung jawab sosial seperti apa yang diharapkan oleh orang lain dalam sebuah perkawinan. Orang individualis menikah "selama kita berdua saling mencintai, sedangkan kolektivis menikah "sakali seumur hidup". Individualis mengharapkan lebih banyak gairah dan pemenuhan din pribadi dalam pernikahan yang memberikan tekanan yang lebih besar dalam suatu hubungan (dalam Myers, 2012:177).

Namun dalam penelitian juga ditemukan, bahkan dalam lingkungan masyarakat Barat, mereka yang memasuki suatu hubungan dengan orientaasi jangka panjang dan dengan niat untuk tetap bertahan memang mengalami kebersamaan yang lebih sehat, sedikit mengalami goncangan dan bertahan lama (Arriaga & Agnew, 2001 dalam Myers, 2012:177-178). Hubungan yang bertahan lama bersumber dari rasa cinta dan kepuasan yang juga bertahan lama, tetapi juga bersumber dari ketakutan mengalami kerugian jika hubungan berakhir, perasaan adanya kewajiban moral dan tidak memperhatikan alternatif pasangan lain yang lebih memungkinkan. Hal ini terjadi misalnya dalam persoalan yang terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dimana istri yang menjadi korban seringkali memiliki ketergantungan secara sosial dan ekonomi terhadap suaminya (misalnya karena status suami yang berasal dari keluarga terpandang, istri yang tidak bekerja, dan lain-lain). Kemudian juga pertimbangan moral atas kelangsungan hidup anak-anaknya yang memerlukan bimbingan dan asuhan kedua orang tua, sehingga selaku ibu berusaha bertahan dalam kehidupan rumahtangganya. Faktor umur terutama bagi perempuan, dalam budaya masyarakat yang kolektivis serta pandangan ilmu biologi tentang keterbatasan usia produktif perempuan, juga menyebabkan pihak perempuan lebih memiliki kecenderungan sesegera mungkin memiliki pasangan (terutama mereka yang berada dalam usia tertentu).

Ketika suatu hubungan yang erat mulai berkurang, maka akan muncul beberapa reaksi yang digambarkan oleh Rusbult dkk (1986,1987,1998,2001) dalam Myers (2012:180) yaitu adanya respons terhadap stres dalam hubungan. Reaksi tersebut adalah membicarakan atau menyuarakan (voice), kesetiaan (loyalty), menolak (neglect) dan pergi (exit). Reaksi-reaksi ini dibedakan berdasarkan dua dimensi yaitu (1) respons yang "konstruktif-destruktif' dan (2) respon yang "aktif-pasif". Reaksi voice dan loyalty dianggap sebagai reaksi yang konstruktif karena pada umumnya berniat untuk mempertahankan hubungan. Sedangkan exit dan neglect dianggap reaksi yang destruktif yang cenderung memutuskan atau mengakhiri hubungan. Pada dimensi aktif-pasif, reaksi exit dan voice dianggap sebagai perilaku yang aktif, sedangkan reaksi loyalty dan neglect dianggap lebih pasif.

Rusbult & Zembrodt (dalam Dayakisni, 208-210) mengidentifikasi-kan tiga variabel yang dapat memprediksi derajat komitmen terhadap suatu hubungan dan juga mempengaruhi pilihan dan reaksi atau respon yang diambil ketika is tidak puas dengan hubungan-hubungan tersebut. Variabel-variabel itu adalah:
a. Derajat kepuasan individu pada hubungan tersebut, sebelum terjadi penurunan/kemunduran hubungan.
b. Besarnya sumber-sumber yang telah diinvestasikan oleh individu dalam hubungan tersebut.
c. Mutu dari hubungan altematif (comparison level for alternatives) yang terbaik pada saat itu yang bisa tejangkau.
Pada umumnya jika kepuasan hubungan teerdahulu dan investasi yang telah ditanamkan dipersepsi tinggi, maka kemungkinan dia akan mengambil respon yang konstruktif. Jika subyek lebih tertarik pada hubungan altematif (dianggap lebih bermutu) maka respon exit (pergi) akan meningkat dan loyalty (kesetiaan) berkurang.Bukti-bukti lain juga mendukung adanya perbedaan tipe respon antara pria dan wanita dalam mengatasi masalah atau konflik dalam hubungan, dimana pria lebih memilih aktif dan wanita memilih pasif. Pengaruh tingkat pendidikan juga terjadi, dimana mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi umumnya akan menggunakan mekanisme voice dan sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah cenderung menggunakan respon loyalty atau neglect. Kebanyakan orang yang sudah menikah juga cenderung memilih kesetiaan daripada yang tidak atau belum menikah. Bagan responnya dapat digambarkan sebagai berikut:

Jenis Respon
Keterangan
Exit (Keluar)
Secara resmi berpisah, keluar dan hubungan, mengancam- mengakhiri hubungan, memutuskan hanya sebagai teman, bercerai
Voice (membicarakan)
Mendiskusikan masalah, kompromi, mencarai psikolog, mengusulkan solusi, mendengar masalah pasangan, berusaha berubah
Loyalty (kesetiaan)
Menunggu, berharap, berdoa, segalanya segera pulih
Neglect (menolak)
Mengabaikan pasangan, menolak berdiskusi, mengkritik dan memperlakukan pasangan dengan buruk, "membiarkan segalanya hancur" dan lain-lair


1 comment:

  1. hubunganku kandas ditengah jalan, ini masukan yang pas

    ReplyDelete

Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget