Orang tidak selalu berperilaku agresif
bila marah, meskipun biasanya mereka merasa terdorong untuk melakukannya.
Mungkin juga orang bertindak agresif tanpa marah. Oleh sebab itu faktor-faktor
yang mengendalikan perilaku agresif sama pentingnya dengan faktor-faktor yang
membangkitkan rasa marah/amarah. Mekanisme utama yang menentukan perilaku
agresif manusia adalah proses belajar masa lampau dan melalui penguatan (reinforcement).
Perilaku agresif diperoleh juga dengan
imitasi, yaitu mempelajari reaksi agresif tertentu melalui pengam-atan terhadap
apa yang dilakukan orang lain (disebut vicarious learning). Proses ini akan
meningkat jika diberi penguatan. Dalam eksperimen Bandura (Sears, 1985:13) akan
terjadi agresi imitatif oleh anak yang lebih banyak jika:
a. Model diberi ganjaran
b. Jenis kelamin model sama dengan jenis
kelamin anak (peniru)
c. Anak (peniru) sudah mengenal model
(bila model itu adalah teman atau gurunya)
Salah satu bentuk agresi imitatif yang
penting adalah dalam kejahatan dan perilaku kerumunan yaitu kekerasan yang
menjalar (contagious behaviour). Sosiolog Perancis,Tarde, mengemukakan pendapat
tentang kekerasan yang menjalar ketika dia melihat bahwa berita kejahatan besar
dalam suatu masyarakat menimbulkan kejahatan imitatif. Misalnya
kejahatan-kejahatan yang diilhami oleh kasus sebelumnya seperti pelaku
kejahatan yang terjadi setelah melihat modus operandi di tayangan-tayangan
'criminal televisi (misalnya penggandaan uang, pembiusan, dan lain-lain).
Selain itu terdapat juga norma sosial
yang mengatur kapan dan bagaimana kita boleh melakukan agresi. Perilaku agresif
yang dikendalikan oleh norma sosial sangat kompleks, kadang-kadang norma ini
berlaku untuk seluruh masyarakat. Sebagai contoh, pada umumnya kita mempunyai
pandangan bahwa membunuh merupakan hal yang salah, kecuali dalam kondisi yang
agak ekstrem (membela diri, hukuman mati).
Terdapat juga agresi instrumental, yaitu
agresi yang terjadi bila orang menggunakannya untuk memperoleh tujuan praktis
dengan melukai orang lain. Misalnya pembunuh bayaran yang membunuh karena ingin
mendapatkan uang, bukan karena marah. Disini agresi berfungsi sebagai alat atau
sarana.
Terdapat pengaruh situasional yang menjadi
penyebab terjadinya agresi yaitu:
1. Pengaruh Alkohol
Secara keseluruhan, ada beberapa
kesimpulan yang dapat ditarik dari literatur mutakhir mengenai agresi yang
berhubungan dengan alkohol yaitu (dalam Krahe, 2005:131-132):
a. Ada banyak temuan yang menunjukkan
bahwa ketika terintoksikasi, individu-individu menunjukkan perilaku agresif
lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak terintoksikasi. Temuan-temuan ini
datang dari penelitian laboratoris terkontrol maupun penelitian-penelitian di
berbagai konteks kehidupan nyata yang menggunakan metode-metode laporan-diri
(self report) maupun observasi
b. Agaknya jelas bahwa efek farmakologis
alkohol sangat ber-tanggungjawab atas efek peningkatan agresinya. Namun, peran
harapan yang berhubungan dengan alkohol belum sepenuhnya dieksplorasi
c. Alkohol tidak secara langsung
menyebabkan perilaku agresif, tetapi mempengaruhi agresi secara tidak langsung.
Interpretasi kognitif dianggap merupakan penjelasan paling menjanjikan untuk
efek alkohol terhadap agresi. Interpretasi ini menekankan bahwa alkohol merusak
kapasitas orang untuk memproses informasi, termasuk perhatian terhadap berbagai
hambatan normatif yang mestinya menekan respons agresif dalam keadaan tidak
terintoksikasi.
d. Hubungan antara alkohol dengan agresi
dipengaruhi oleh variasi situasi. Provokasi, frustasi dan perhatian yang
difokuskan pada diri sendiri ditengarai sebagai variabel-variabel relevan yang
berhubungan dengan perbedaan efek alkohol terhadap respons agresif.
2. Temperatur Efek temperatur udara
terhadap agresi telah didemonstrasikan secara konsisten di berbagai paradigma
metodologis yang berbeda. Dengan membandingkan wilayah panas versus wilayah
dingin atau periode waktu panas dan periode waktu dingin di suatu wilayah,
ditemukan bahwa agresi terutama kriminalitas dengan kekerasan, umumnya menonjol
pada kondisi-kondisi temperatur udara tinggi. Kebanyakan penelitian mengacu
pada apa yang dikenal sebagai hipotesis hawa panas (heat hypothesis) yang
menyatakan bahwa temperatur udara tinggi yang tidak nyaman meningkatkan motif
dan perilaku agresif (Anderson, Bushman, Groom, 1997 dalam Krahe, 2005:132).
Untuk mempertahankan pendapat bahwa temperatur udara tidak nyaman menyebabkan
afek negatif, agresi afektif (permusuhan) adalah yang paling tepat untuk
hipotesis temperatur panas. Tindakan-tindakan agresif dengan komponen kemarahan
dan permusuhan afektif yang kuat, seperti penyerangan, pembunuhan, hum-hara dan
perkosaan diperkirakan lebih banyak dipengaruhi temperatur udara daripada
tindakan-tindakan agresi instrumental seperti perampokan, pencurian
atau-barangkali juga- peperangan internasional.
3. Stressor Lingkungan Lainnya Dalam hal
ini terdapat 3 (tiga) stressor lingkungan yang mendorong dan meningkatkan
perilaku agresif yaitu keadaaan berdesak-desakan (crowding), kebisingan dan
polusi udara.
a. Crowding mengacu pada kepadatan ruang
yang dipersepsi tidak menyenangkan dan aversif. Crowding merupakan pengalaman
subjektif, sementara kepadatan merupakan konsep fisik yang dapat didefinisikan
sebagai jumlah orang per-unit ruang. Pembedaan ini penting karena tingkat
kepadatan yang sama bisa menimbulkan perasaan berdesak-desakan yang
berbeda-beda pada tiap orang, sesak untuk sebagian orang sementara sebagian
yang lainnya tidak. Selain itu, tingkat kepadatan ruang mungkin bisa dipersepsi
sebagai keadaan yang menyenangkan unuk beberapa konteks (misalnya dalam konser
musik di udara terbuka) dan sebagai keadaan yang tidak menyenangkan dalam
konteks lainnya (misalnya dalam gerbong kereta api yang sempit. Walaupun
keadaan semacam itu tidak dapat dihubungkan secara konklusif dengan agresi, ada
temuan bahwa crowding dapat meningkatkan kemungkinan agresi di berbagai kontek,
seperti dalam kondisi keluarga yang tinggal berdesak-desakan di rumah yang
sempit, lingkungan penjara dan pelanggaran ruang pribadi (Geen, 1990 dalam
Krahe 2005:144). Terrivan-temuan eksperimental menunjukkan bahwa efek
meningkatkan agresi pada crowding diperantarai rangsangan afektif negatif yang
ditimbulkan oleh persepsi subjektif mengenai keterbatasan ruang. Selain itu,
tampaknya laki-laki lebih responsif terhadap crowding dalam hubungannya dengan
perilaku agresif. Temuan ini konsisten dengan penjelasan afek negatif dalam
arti bahwa laki-laki ditemukan secara konsisten mengklaim ruang pribadi yang
lebih luas dibandingkan dengan perempuan sehingga lebih mungkin untuk
terpengaruh secara adversif oleh pembatasan terhadap "wilayah
kekuasaan".
b. Kebisingan adalah stressor lingkungan
lain yang berhubungan dengan perilaku agresif. Dalam kapasitasnya sebagai
pengintensif perilaku yang sedang berlangsung, kebisingan dapat menguatkan
kecenderungan perilaku agresif yang sudah muncul pada si pelaku. Dalam
penelitian yang dilakukan Geen dan O'Neal (dalam Krahe, 2005:144) subjek
diminta menonton film yang disertai kekerasan dan film yang tanpa kekerasan.
Setelah selesai menonton mereka diperintahkan mengantarkan kejutan listrik ke
orang lain sebagai hulcurnan atas kesalahan yang dibuatnya dalam suatu tugas
belajar. Sementara menerapkan kejutan listrik itu, separuh subjek dihadapkan
pada suara-suara keras. Dari sana ditemukan bahwa manipulasi suara bising itu
hanya menimbulkan agresi lebih tinggi pada subjek-subjek yang sebelumnya telah
menonton film keras. Akibat kebisingan lainnya adalah mengacaukan toleransi terhadap
frustasi, sehingga meningkatkan kecenderungan perilaku agresif setelah
mengalami frustasi. Jadi kebisingan berlaku sebagai penguat kecenderungan
respons agresif pada orang-orang yang sudah dalam keadaan meningkat kesiapannya
untuk berperilaku agresif. Tetapi tampaknya bukan kebisingan itu sendiri yang
memfasilitasi agresi, melainkan kenyataan bahwa kebisingan seringkali merupakan
kejadian yang tidak dapat dikontrol. Bila kebisingan itu dipersepsi sebagai
dapat dikontrol, dampaknya terhadap perilaku agresif akan berkurang secara
subtansial (Geen dan McCown, 1984 dalam Krahe, 2005:145).
c. Polusi udara telah ditemukan menjadi
penguat kecenderungan respons agresif dengan cara yang serupa dengan crowding
dan kebisingan. Penelitian yang menelaah efek asap rokok terhadap agresi
menemukan bahwa subjek-subjek yang dihadapkan pada asap rokok memperlihatkan
sikap bermusuhan lebih tinggi terhadap orang lain (tidak hanya terhadap orang
yang menghasilkan asap itu) dibandingkan kelompok kontrol yang tidak dihadapkan
pada kondisi penuh asap. Peran bau tidak sedap dalam meningkatkan agresi telah
ditelaah dalam konteks lari dari afek negatif yang sebelumnya telah disebutkan
dalam konteks hipotesis hawa papas. Model ini memprediksikan bahwa tingkat bau
tidak sedap yang moderat meningkatkan agresi, sementara tingkat agresi itu
sendiri akan turun lagi ketika bau tidak sedap itu semakin intens.
0 comments:
Post a Comment