PENGERTIAN
KEPEMIMPINAN
Walaupun
fenomena kepemimpinan sudak ada sejak manusia mulai hidup berkelompok, sampai
saat ini belum ada konsensus di antara para ahli mengenai definisi
kepemimpinan. Beberapa definisi yang ada dalam literatur mengenai kepemimpinan
adalah "... the process of influence between a leader and followers to
attain group, organisational, or societal goals," (Hollander, 1985).
f"... proses memengaruhi antara pemimpin dan pengikut untuk mencapai
tujuan kelompok, organisasi, atau
"... a complex interaction between
the leader, the followers, and the group to which they belong," (Markus,
Allison, dan Eylon, 2004: 1462). sebuah interaksi yang kompleks antara
pemimpin, pengikut, dan kelompok mereka.')
"...is about dealing with people,
usually within a group, and about changing people's behaviours and attitudes to
conform to the leader's vision for the group," (Hogg, 2004: 54). adalah
tentang berurusan dengan orang, umumnya dalam kelompok, serta tentang mengubah
sikap dan kebiasaan seseorang untuk menyesuaikan did terhadap visi pimpinan
terhadap kelompok.'"
"...a process of social influence
through which an individual enlist and mobilizes the aid of others in the
attainment of a collective goal," (Chemers, 2001: 376). sebuah proses
pengaruh sosial melalui tempat di mana individu mendaftar dan memobilisasi
bantuan kepada orang lain untuk mencapai tujuan bersama.')
Dan
pemaparan di atas, sementara ini. dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
merupakan upaya seseorang memengaruhi sekelompok orang untuk bersama-sama
mencapai sebuah tujuan. Menurut Chemers, fungsi dari kepemimpinan adalah untuk
mempertahankan keutuhan internal organisasi dan membawa sebuah organisasi agar
dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan luarnya. Kemampuan seseorang
untuk mengajak sekelompok orang mencapai sebuah tujuan kolektif menjadi salah
satu pertanyaan para ilmuwan psikologi sosial. Menurut Seters dan Field (1990),
teori yang menjelaskan kepemimpinan ber-evolusi dari era yang membahas
kepribadian pemimpin (personality era) hingga era yang membahas kemampuan
pemimpin melakukan perubahan dalam kelompok (transformational era). Apabila
melihat perkembangannya, teori-teori kepemimpinan dapat dikelompokan menjadi
teori-teori mengenai kepribadian pemimpin (perspektif kepribadian), teori-teori
yang membahas pengaruh situasi terhadap kepemimpinan (perspektif situasional),
dan teori-teori mengenai kepemimpinan sebagai proses kelompok.
1. Perspektif kepribadian
Perspektif
kepribadian berasumsi bahwa keberhasilan sebuah kelompok untuk mencapai
tujuannya bergantung pada sifat-sifat bawaan (traits) si pemimpin. Anggapan
dalam perspektif ini adalah "good leaders were born, not made".
Perspektif ini terbagi menjadi dua pandangan yaitu: the great person theory dan
trait theory (Seters dan Field, 1990). The great person theory berasumsi bahwa
untuk menjadi pemimpin yang berhasil, seseorang harus mencontoh kepribadian dan
perilaku pemimpin yang hebat, misalnya mencontoh kepribadian mantan presiden
Amerika Serikat John E Kennedy (lihat Figur 10.2) yang terkenal karismatik.
Sedangkan trait theory berusaha untuk mencari karekteristik atau sifat bawaan
yang membedakan pemimpin yang bagus dengan orang-orang awam. Beberapa sifat
bawaan yang diasumsikan berpengaruh terhadap kepemimpinan adalah keinginan yang
kuat, pengetahuan yang - luas, dan kemandirian (Beam, 1975). Walaupun tidak
bisa disangkal bahwa kepribadian dan sifat pemimpin memengaruhi fungsi dari
sebuah kelompok/Kepemimpinan
organisasi,
faktor ini ternyata hanya memegang peranan yang kecil. Penelitian-penelitian
mengenai the great person theory atau trait theory menunjukkan bahwa
kepribadian dan perilaku pemimpin yang dianggap berhasil terlalu beragam jika
digunakan untuk dapat menemukan sekumpulan karekteristik yang menonjol (Seters
dan Field, 1990; Vaughan dan Hogg, 2005). Oleh karena itu,
penelitian-penelitian selanjutnya mencoba untuk menjelaskan faktor-faktor lain
yang dapat memengaruhi kepemimpinan selain kepribadian pemimpinnya.
2. Perspektif situasional
Menurut
perspektif situasional, keberhasilan seseorang dalam memimpin kelompoknya untuk
mencapai sebuah tujuan bukan hanya bergantung pada karekteristiknya, tetapi
lebih pada interaksi antara pemimpin dengan kondisi situasional, kultur, dan
konteks dari kelompok. Berbeda dengan perspektif kepribadian, perspektif
situasional tidak melihat faktor bawaan pemimpin tetapi lebih berfokus pada
perilaku yang diperlihatkan oleh pemimpin (Beam, 1975). Menurut perspektif ini,
semua orang mampu menjadi pemimpin asal mau memelajari kelompok atau organisasinya
serta mengembangkan perilaku yang sesuai dengan situasi kelompok (Hogg, 2005)
Penelitian awal mengenai perspektif ini menunjukkan bahwa pemimpin dapat
memperlihatkan tiga macam gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu autokratis,
demokratis, dan laissez-faire (Vaughan & Hogg, 2005). Gaya-gaya
kepemimpinan ini disimpulkan berdasarkan penelitian mengenai interaksi sosial
pada anak-anak (untuk keterangan lebih lanjut lihat Lippitt dan White, 1943).
Menurut Lippit dan White, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut, gaya
kepemimpinan demokratis lebih efektif dibandingkan yang lainnya. Tabel 10.1
menunjukkan perbedaan karekteristik gaya autokratis, demokratis, dan
laissez-faire.
Autokratis
|
Demokratis
|
Laissez-faire
|
Pemimpin menentukan semua kebijakan
untuk masing-mas-ing anggota kelompok
• Pemimpin menentukan dengan detail
cara-cara untuk menca-pai tujuan kelompok
• Pemimpin memiliki pandangan umum
serta tahapan metode yang diperlukan untuk menca-pai tujuan kelompok
• Pemimpin menentukan aksi dan
interaksi yang diperboleh-kan dalam kelompok
• Pemimpin memberikan pujian dan
kritik kepada anggota ke-lompok
|
• Pemimpin mendukung anggota kelompok
untuk membuat ke-bijakan bagi kelompok
• Pemimpin memberikan gamba-ran umum
mengenai tugas dan langkah-langkah sebelum ang-gota kelompok mulai
menger-jakan tugas
• Anggota kelompok memiliki aksi dan
interaksi yang mem-fasilitasi pekerjaan demi men-capai tujuan kelompok
• Umpan balik yang diberikan objektif
dan sesuai dengan ke-nyataan
|
• Anggota kelompok diberikan
kebebasan yang seutuhnya
• Sumber daya diberikan kepada
anggota kelompok tetapi pe-mimpin memberikan informasi hanya jika ditanyakan
• Tidak memberikan umpan ba-lik
apabila anggota kelompok tidak bertanya
|
Penelitian
mengenai gaya kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh The Ohio State and
Michigan Studies, menurut kedua penelitian tersebut, pemimpin yang baik adalah
mereka yang memfokuskan kelompok pada penyelesaian tugas (initiating
structure), memperhatikan individu dalam kelompok, serta memperhatikan keutuhan
kelompok (consideration) (Griffin, Sherington, dan Moorhead, 1987) Walaupun
lebih luas dibandingkan dengan perspekif kepribadian, kedua penelitian di atas
(Lippit dan White dan The Ohio State and Michigan Studies) belum terlalu
memperhitungkan faktor situasi. Baru setelah Fielder (1970 dalam Chemers, 2001)
mengemukakan contingency theory, faktor-faktor situasional yang memengaruhi
kepemimpinan mulai dipelajari. Menurut Fielder, dalam sebuah organisasi, gaya
kepemimpinan dipengaruhi oleh (1) hubungan pemimpin dengan anggota kelompok,
(2) terstruktur atau tidaknya tugas yang harus diselesaikan oleh kelompok, dan
(3) kekuatan dari posisi pemimpin. Menurut model ini, terdapat 8 kemungkinan
situasi, tetapi situasi yang paling menguntungkan adalah jika kontrol pemimpin
terhadap ketiga faktor-faktor situasional di atas tinggi. Dalam contingency
theory, gaya kepemimpinan diukur dengan skala Least Prefered Co-worker (LPC).
Skor LPC rendah menunjukkan seseorang yang fokus utamanya adalah menyelesaikan
tugas yang diberikan kepadanya, sedangkan skor LPC yang tinggi menunjukkan
seseorang yang fokus utamanya adalah membangun hubungan yang baik dengan
koleganya (Chemers, 2001). Pemimpin yang fokus utamanya adalah menyelesaikan
tugas yang diberikan kepadanya, akan menunjukkan performa maksimal dalam
situasi-situasi yang sangat menguntungkan atau yang sangat merugikan baginya.
Sedangkan pemimpin yang fokus utamanya adalah membangun hubungan baik dengan
koleganya akan menunjukkan performa maksimal dalam situasi-situasi yang tidak
menguntungkan ataupun yang tidak merugikan baginya.
3. Perspektif proses kelompok
Perspektif
ini menganggap bahwa di camping kepribadian pemimpin dan situasi organisasi
atau kelompok, proses di dalam kelompok juga memengaruhi kepemimpinan. Terdapat
tiga tiga faktor dalam kelompok yang diperhitungkan oleh perspektif ini, yaitu:
a. hubungan antara pemimpin dan pengikut; b. apakah pemimpin merupakan
prototipe dari kelompok; c. kepemimpinan transformation vs. transactional.
HUBUNGAN ANTARA PEMIMPIN DAN PENGIKUT
Dalam
hubungan antara pemimpin dan pengikut, terdapat tiga hal yang harus
dipertimbangkan, yaitu: transaksi, keadilan, dan kekuasaan. Pemimpin adalah
anggota kelompok yang memberikan kontribusi lebih kepada kelompok. Oleh karena
itu, pemimpin diberikan jabatan, kekuasaan, dan status. Ketidakseimbangan
kekuasaan ini dapat menyebabkan pemimpin memiliki karisma. Adanya karisma ini
menyebabkan anggota kelompok akan mencoba mengikuti karekteristik-karekteristik
pemimpinnya (Vaughan & Hogg, 2005). Karisma pemimpin menurut teori ini
bukan merupakan karekteristik bawaan atau kepribadian, melainkan akibat dari
kekuasaan yang dimiliki pemimpin. Hubungan timbal balik antara pemimpin dan
anggota kelompok dibahas lebih lanjut oleh model vertical dyad linkage (VDL),
yang selanjutnya berkembang menjadi teori leader member exchange (LMX). Teori
LMX melihat kualitas hubungan diadik antara pemimpin dan bawahannya dan berada
dalam kontinum kualitas LMX tinggi sampai dengan kualitas LMX rendah. Kualitas
LMX tinggi ditandai oleh hubungan antara pemimpin dan bawahan yang berlandaskan
saling percaya, rasa hormat, dan tanggung jawab. Kualitas LMX rendah ditandai
oleh hubungan yang hanya berdasarkan ikatan kontrak antara pemimpin dan bawahan
(Hogg, 2004). Teori LMX ditemukan berkorelasi dengan kepuasan bawahan,
peningkatan performa bawahan, dan berkurangnya keinginan untuk berhenti bekerja
pada karyawan-karyawan di dalam sebuah organisasi. Walaupun demikian,
penelitian-penelitian mengenai teori ini sering kali diragukan karena sering
tidak berlandaskan asumsi teoretis yang kuat (Schriesheim, Castro, dan
Cogliser, 1999). Selain itu, Hogg juga mengemukakan bahwa fokus teori LMX hanya
pada hubungan dua arah, bukan pada hubungan organisasi secara keseluruhan. Oleh
karena itu, Hogg mengemukakan teori "identitas sosial" untuk
kepemimpinan yang lebih mampu menjelaskan kepemimpinan dalam perspektif
kelompok.
IDENTITAS SOSIAL DAN PROTOTIPIKAL
KELOMPOK
Menurut
teori identitas sosial, sebuah kelompok disebut "ada" secara
psikologis ketika terdapat sekumpulan orang dengan memiliki konsep diri yang
sama sebagai ciri utama kategori sosial pembentuk kelompok tersebut.
Representasi kelompok ini merupakan prototipe kelompok atau sekelompok ciri
yang mendefinisikan persamaan dalam kelompok dan perbedaan kelompok tersebut
dengan kelompok lain terutama yang menyangkut sistem kepercayaan, sikap,
perilaku, dan perasaan. Prototipe kelompok dirancang sedemikian rupa agar
memaksimalkan perbedaan antarkelompok dan meminimalkan perbedaan di dalam
kelompok (Hogg, 2004). Dalam sebuah kelompok yang memiliki prototipe yang jelas
dan kuat, seseorang dengan karekteristik yang sangat mirip dengan prototipe
kelompoknya akan mudah memengaruhi anggota lain agar melakukan kegiatan-kegiatan
yang sesuai dengan visi orang tersebut. Walaupun demikian, pada kelompok yang
memiliki prototipe yang jelas, seseorang dengan karekteristik yang sesuai
dengan prototipe kelompok dapat menjadi pemimpin yang lebih baik dibandingkan
dengan mereka yang karekteristiknya kurang sesuai dengan prototipe kelompok.
Dalam sebuah kelompok yang prototipenya kurang jelas, posisi seorang pemimpin
sebenarnya kurang kuat, karena tidak adanya konsensus antaranggota kelompoknya.
Menurut Hogg, untuk menjadi pemimpin yang berhasil, selain memiliki prototipe
kelompok, seseorang juga harus menunjukkan perilaku yang sesuai dengan
stereotip "pemimpin" atau skema pemimpin (leader schemas). Walaupun
demikian, pengaruh skema pemimpin terhadap keberhasilan kepemimpinan akan
berkurang jika kelompok memiliki prototipe yang sangat jelas.
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL VERSI
TRANSAKSIONAL
Pemimpin
dapat menunjukkan dua karekteristik ketika berhubungan dengan anggotanya, yaitu
pemimpin transformasional dan pemimpin transaksional (Burns, 1978).
TRANSFORMASIONAL
|
TRANSAKSIONAL
|
• Menawarkan sebuah tujuan yang
melebihi target-target jangka pendek .
• Berfokus pada kebutuhan intrinsik
yang lebih tinggi.
• Mengembangkan dan meningkatkan
minat para anggotanya untuk melupakan keinginan pribadi mereka agar bekerja
demi kepentingan kelompok.
• Memiliki karekteristik: berkarisma,
mencukupi kebutuhan emosional anggotanya, menstimulasi anggota kelompok secara
intelektual.
|
• Berfokus pada pertukaran
sumber-sumber yang dimiliki oleh pemimpin dan anggota kelompok.
• Melakukan kegiatan-kegiatan yang
mendukung penyelesaian tugas bersama.
• Menggunakan penghargaan dan penalti
sebagai alat untuk membuat para anggota kelompok bekerja dan berusaha.
• Memberikan kepada anggotanya apa
yang mereka inginkan agar is mendapatkan keinginannya.
• Transaksi antara pemimpin dan
anggota kelompok tidak harus selalu yang memiliki nilai uang (misal jam kerja
atau gaji) tetapi juga rasa percaya,komitmen,dan rasa hormat.
|
Sumber :
Bass, 1990. Kuhnert dan Lewis, 1987.
Penelitian-penelitian
awal mengenai kedua jenis kepemimpinan ini mengatakan bahwa pemimpin
transformasional lebih berhasil memengaruhi anggota kelompoknya dibandingkan
pemimpin transaksional karena dipersepsikan sebagai seseorang yang karismatik.
Walaupun begitu, menurut Bass (1999), kedua bentuk kepemimpinan ini bukanlah
melambangkan dua hal yang berbeda atau bersebrangan dalam satu kontinum,
sehingga pemimpin yang baik adalah mereka yang melakukan kedua perilaku
kepemimpinan ini.
4. Pemimpin di Indonesia
Semua
pemaparan di atas membicarakan kepemimpinan berdasarkan penelitian-penelitian
yang dilakukan dalam kebudayaan Barat. Bagaimana dengan Indonesia yang memiliki
kebudayaan Timur? Beberapa studi yang menelaah kepemimpinan di Indonesia
menunjukkan bahwa hal-hal yang dinyatakan oleh teori-teori kepemimpinan pada
budaya Barat juga berlaku dalam kultur Indonesia. Contohnya penelitian yang
dilakukan oleh Sanggenafa (1990) mengenai kepemimpinan pada suku Ekagi di Irian
Jaya. Penelitian Sanggenafa menunjukkan bahwa di dalam suku tersebut terjadi
hubungan yang transaksional antara pemimpin dan kelompoknya. Seorang pemimpin
dalam suku Ekagi tidak langsung mendapatkan peningkatan status sosial,
melainkan is harus membuktikan diri dengan menjaga keharmonisan klannya. Hal
itu dilakukan, misalnya, dengan menyelesaikan sengketa antara klannya atau
dengan klan lain. Hal serupa juga tampak pada penelitian Silalahi (1989) yang
mengamati kepala-kepala desa. Penelitian itu menunjukkan bahwa kepala desa yang
ideal adalah mereka yang transformasional dan transaksional serta mengadopsi
identitas sosial kelompok. Menurut penelitian ini, kunci kepemimpinan kepala
desa yang berhasil adalah komunikasi yang baik antara pemimpin dan masyarakat
desa serta pemimpin yang mengikuti adat-istiadat masyarakat desa.. Satu faktor
yang dipertimbangkan dalam perbedaan budaya adalah seberapa besar masyarakat
menerima bahwa kekuasaan dalam institusi atau organisasi terdistribusi secara
tidak adil atau yang sering disebut sebagai power distance (Hofstede, 1980).
Penelitian yang dilakukan Hofstede menunjukkan bahwa negara-negara dengan
kebudayaan Timur memiliki persepsi power distance tinggi. Ketidakadilan adalah
sesuatu yang diterima dan diinginkan. Orang yang kurang berkuasa harus
menggantungkan diri pada mereka yang berkuasa. Dalam budaya power distance yang
tinggi, sentralisasi merupakan sesuatu yang sering dilakukan. Di Indonesia, hal
ini juga ditemukan contohnya pada PT Merpati Nusantara oleh Lindarwaty (1996).
Satu hal lagi yang memengaruhi bentuk kepemimpinan di Asia, termasuk Indonesia,
adalah masyarakatnya memiliki tingkat kepercayaan yang rendah (low-trust
society). Misalnya saja pada perusahaan keluarga, penujukkan pemimpin tidak
selalu berdasarkan kemampuan melainkan berdasarkan tali persaudaraan, seperti
yang terlihat pada perusahaan rokok Djarum (lihat Box. 10.1). Menurut Fukayama
(1995 dalam Fukuyama, 2001), pada masyarakat yang memiliki kepercayaan sosial
rendah, kepemimpinan cenderung diserahkan kepada anggota keluarga, klan, atau
anggota struktur sosial yang kecil. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini
adalah komunikasi yang cukup intensif antara kelompok dan pihak di luar
kelompok (Bstieler dan Hemmert, 2008).
KESIMPULAN
Kepemimpinan
merupakan upaya seseorang memengaruhi sekelompok orang untuk bersama-sama
mencapai sebuah tujuan. Terdapat tiga perspektif dalam menjelaskan
kepemimpinan, yaitu perspektif keprjbadian, perspektif situasional, dan
perpektif proses kelompok.
• Perspektif
kepribadian berasumsi bahwa keberhasilan sebuah kelompok untuk mencapai
tujuannya bergantung pada sifat-sifat bawaan (traits) si pemimpin. Perspektif
ini terbagi menjadi dua pandangan, yaitu: the great person theory dan trait
theory (Seters dan Field, 1990).
•
Sedangkan perspektif situasional memiliki hipotesis bahwa keberhasilan
seseorang memimpin kelompoknya mencapai sebuah tujuan bukan hanya bergantung
pada karekteristiknya,tetapi lebih pada interaksi antara pemimpin dengan
kondisi situasional, kultur, dan konteks dari kelompok.
•
Perspektif proses kelompok yang menganggap bahwa di samping kepribadian
pemimpin dan situasi organisasi atau kelompok, proses di dalam kelompok juga
memengaruhi kepemimpinan. Perspektif proses kelompok terdiri dari 3 macam
cabang teoretis, yaitu: teori yang mengkaji hubungan antara pemimpin dan
pengikut, teori yang mengkaji hubungan prototipe kelompok dan kepemimpinan, dan
teori yang mengkaji mengenai transformasional versus transaksional dalam
kepemimpinan.
Menurut
beberapa penelitian, kepemimpinan dipengaruhi oleh perbedaan budaya. Beberapa
studi yang menelaah kepemimpinan di Indonesia menunjukkan bahwa teori-teori
kepemimpinan pada budaya Barat juga berlaku dalam kultur Indonesia. Walaupun
demikian, interaksi antara pemimpin dan anggota kelompok di dalam budaya
Indonesia juga dipengaruhi oleh karekteristik budaya yang memilliki power
distance tinggi dan tingkat kepercayaan yang rendah di dalam masyarakat.
good job ...
ReplyDeleteMantap gan ... Untuk di jadikan bahan presentasi ... Terima kasih atas artikel nya ...
ReplyDeleteIya, sama sama , semoga bermanfaat
ReplyDeleteSumbernya buku mana aja ya min?
ReplyDelete