Monday, 19 October 2015

PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Walaupun fenomena kepemimpinan sudak ada sejak manusia mulai hidup berkelompok, sampai saat ini belum ada konsensus di antara para ahli mengenai definisi kepemimpinan. Beberapa definisi yang ada dalam literatur mengenai kepemimpinan adalah "... the process of influence between a leader and followers to attain group, organisational, or societal goals," (Hollander, 1985). f"... proses memengaruhi antara pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan kelompok, organisasi, atau
"... a complex interaction between the leader, the followers, and the group to which they belong," (Markus, Allison, dan Eylon, 2004: 1462). sebuah interaksi yang kompleks antara pemimpin, pengikut, dan kelompok mereka.')
"...is about dealing with people, usually within a group, and about changing people's behaviours and attitudes to conform to the leader's vision for the group," (Hogg, 2004: 54). adalah tentang berurusan dengan orang, umumnya dalam kelompok, serta tentang mengubah sikap dan kebiasaan seseorang untuk menyesuaikan did terhadap visi pimpinan terhadap kelompok.'"
"...a process of social influence through which an individual enlist and mobilizes the aid of others in the attainment of a collective goal," (Chemers, 2001: 376). sebuah proses pengaruh sosial melalui tempat di mana individu mendaftar dan memobilisasi bantuan kepada orang lain untuk mencapai tujuan bersama.')
Dan pemaparan di atas, sementara ini. dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan upaya seseorang memengaruhi sekelompok orang untuk bersama-sama mencapai sebuah tujuan. Menurut Chemers, fungsi dari kepemimpinan adalah untuk mempertahankan keutuhan internal organisasi dan membawa sebuah organisasi agar dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan luarnya. Kemampuan seseorang untuk mengajak sekelompok orang mencapai sebuah tujuan kolektif menjadi salah satu pertanyaan para ilmuwan psikologi sosial. Menurut Seters dan Field (1990), teori yang menjelaskan kepemimpinan ber-evolusi dari era yang membahas kepribadian pemimpin (personality era) hingga era yang membahas kemampuan pemimpin melakukan perubahan dalam kelompok (transformational era). Apabila melihat perkembangannya, teori-teori kepemimpinan dapat dikelompokan menjadi teori-teori mengenai kepribadian pemimpin (perspektif kepribadian), teori-teori yang membahas pengaruh situasi terhadap kepemimpinan (perspektif situasional), dan teori-teori mengenai kepemimpinan sebagai proses kelompok.
1. Perspektif kepribadian
Perspektif kepribadian berasumsi bahwa keberhasilan sebuah kelompok untuk mencapai tujuannya bergantung pada sifat-sifat bawaan (traits) si pemimpin. Anggapan dalam perspektif ini adalah "good leaders were born, not made". Perspektif ini terbagi menjadi dua pandangan yaitu: the great person theory dan trait theory (Seters dan Field, 1990). The great person theory berasumsi bahwa untuk menjadi pemimpin yang berhasil, seseorang harus mencontoh kepribadian dan perilaku pemimpin yang hebat, misalnya mencontoh kepribadian mantan presiden Amerika Serikat John E Kennedy (lihat Figur 10.2) yang terkenal karismatik. Sedangkan trait theory berusaha untuk mencari karekteristik atau sifat bawaan yang membedakan pemimpin yang bagus dengan orang-orang awam. Beberapa sifat bawaan yang diasumsikan berpengaruh terhadap kepemimpinan adalah keinginan yang kuat, pengetahuan yang - luas, dan kemandirian (Beam, 1975). Walaupun tidak bisa disangkal bahwa kepribadian dan sifat pemimpin memengaruhi fungsi dari sebuah kelompok/Kepemimpinan
organisasi, faktor ini ternyata hanya memegang peranan yang kecil. Penelitian-penelitian mengenai the great person theory atau trait theory menunjukkan bahwa kepribadian dan perilaku pemimpin yang dianggap berhasil terlalu beragam jika digunakan untuk dapat menemukan sekumpulan karekteristik yang menonjol (Seters dan Field, 1990; Vaughan dan Hogg, 2005). Oleh karena itu, penelitian-penelitian selanjutnya mencoba untuk menjelaskan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kepemimpinan selain kepribadian pemimpinnya.
2. Perspektif situasional
Menurut perspektif situasional, keberhasilan seseorang dalam memimpin kelompoknya untuk mencapai sebuah tujuan bukan hanya bergantung pada karekteristiknya, tetapi lebih pada interaksi antara pemimpin dengan kondisi situasional, kultur, dan konteks dari kelompok. Berbeda dengan perspektif kepribadian, perspektif situasional tidak melihat faktor bawaan pemimpin tetapi lebih berfokus pada perilaku yang diperlihatkan oleh pemimpin (Beam, 1975). Menurut perspektif ini, semua orang mampu menjadi pemimpin asal mau memelajari kelompok atau organisasinya serta mengembangkan perilaku yang sesuai dengan situasi kelompok (Hogg, 2005) Penelitian awal mengenai perspektif ini menunjukkan bahwa pemimpin dapat memperlihatkan tiga macam gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu autokratis, demokratis, dan laissez-faire (Vaughan & Hogg, 2005). Gaya-gaya kepemimpinan ini disimpulkan berdasarkan penelitian mengenai interaksi sosial pada anak-anak (untuk keterangan lebih lanjut lihat Lippitt dan White, 1943). Menurut Lippit dan White, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut, gaya kepemimpinan demokratis lebih efektif dibandingkan yang lainnya. Tabel 10.1 menunjukkan perbedaan karekteristik gaya autokratis, demokratis, dan laissez-faire.

Autokratis
Demokratis
Laissez-faire
Pemimpin menentukan semua kebijakan untuk masing-mas-ing anggota kelompok

• Pemimpin menentukan dengan detail cara-cara untuk menca-pai tujuan kelompok

• Pemimpin memiliki pandangan umum serta tahapan metode yang diperlukan untuk menca-pai tujuan kelompok
• Pemimpin menentukan aksi dan interaksi yang diperboleh-kan dalam kelompok
• Pemimpin memberikan pujian dan kritik kepada anggota ke-lompok

• Pemimpin mendukung anggota kelompok untuk membuat ke-bijakan bagi kelompok
• Pemimpin memberikan gamba-ran umum mengenai tugas dan langkah-langkah sebelum ang-gota kelompok mulai menger-jakan tugas
• Anggota kelompok memiliki aksi dan interaksi yang mem-fasilitasi pekerjaan demi men-capai tujuan kelompok
• Umpan balik yang diberikan objektif dan sesuai dengan ke-nyataan

• Anggota kelompok diberikan kebebasan yang seutuhnya
• Sumber daya diberikan kepada anggota kelompok tetapi pe-mimpin memberikan informasi hanya jika ditanyakan
• Tidak memberikan umpan ba-lik apabila anggota kelompok tidak bertanya

Penelitian mengenai gaya kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh The Ohio State and Michigan Studies, menurut kedua penelitian tersebut, pemimpin yang baik adalah mereka yang memfokuskan kelompok pada penyelesaian tugas (initiating structure), memperhatikan individu dalam kelompok, serta memperhatikan keutuhan kelompok (consideration) (Griffin, Sherington, dan Moorhead, 1987) Walaupun lebih luas dibandingkan dengan perspekif kepribadian, kedua penelitian di atas (Lippit dan White dan The Ohio State and Michigan Studies) belum terlalu memperhitungkan faktor situasi. Baru setelah Fielder (1970 dalam Chemers, 2001) mengemukakan contingency theory, faktor-faktor situasional yang memengaruhi kepemimpinan mulai dipelajari. Menurut Fielder, dalam sebuah organisasi, gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh (1) hubungan pemimpin dengan anggota kelompok, (2) terstruktur atau tidaknya tugas yang harus diselesaikan oleh kelompok, dan (3) kekuatan dari posisi pemimpin. Menurut model ini, terdapat 8 kemungkinan situasi, tetapi situasi yang paling menguntungkan adalah jika kontrol pemimpin terhadap ketiga faktor-faktor situasional di atas tinggi. Dalam contingency theory, gaya kepemimpinan diukur dengan skala Least Prefered Co-worker (LPC). Skor LPC rendah menunjukkan seseorang yang fokus utamanya adalah menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya, sedangkan skor LPC yang tinggi menunjukkan seseorang yang fokus utamanya adalah membangun hubungan yang baik dengan koleganya (Chemers, 2001). Pemimpin yang fokus utamanya adalah menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya, akan menunjukkan performa maksimal dalam situasi-situasi yang sangat menguntungkan atau yang sangat merugikan baginya. Sedangkan pemimpin yang fokus utamanya adalah membangun hubungan baik dengan koleganya akan menunjukkan performa maksimal dalam situasi-situasi yang tidak menguntungkan ataupun yang tidak merugikan baginya.
3. Perspektif proses kelompok
Perspektif ini menganggap bahwa di camping kepribadian pemimpin dan situasi organisasi atau kelompok, proses di dalam kelompok juga memengaruhi kepemimpinan. Terdapat tiga tiga faktor dalam kelompok yang diperhitungkan oleh perspektif ini, yaitu: a. hubungan antara pemimpin dan pengikut; b. apakah pemimpin merupakan prototipe dari kelompok; c. kepemimpinan transformation vs. transactional.
HUBUNGAN ANTARA PEMIMPIN DAN PENGIKUT
Dalam hubungan antara pemimpin dan pengikut, terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu: transaksi, keadilan, dan kekuasaan. Pemimpin adalah anggota kelompok yang memberikan kontribusi lebih kepada kelompok. Oleh karena itu, pemimpin diberikan jabatan, kekuasaan, dan status. Ketidakseimbangan kekuasaan ini dapat menyebabkan pemimpin memiliki karisma. Adanya karisma ini menyebabkan anggota kelompok akan mencoba mengikuti karekteristik-karekteristik pemimpinnya (Vaughan & Hogg, 2005). Karisma pemimpin menurut teori ini bukan merupakan karekteristik bawaan atau kepribadian, melainkan akibat dari kekuasaan yang dimiliki pemimpin. Hubungan timbal balik antara pemimpin dan anggota kelompok dibahas lebih lanjut oleh model vertical dyad linkage (VDL), yang selanjutnya berkembang menjadi teori leader member exchange (LMX). Teori LMX melihat kualitas hubungan diadik antara pemimpin dan bawahannya dan berada dalam kontinum kualitas LMX tinggi sampai dengan kualitas LMX rendah. Kualitas LMX tinggi ditandai oleh hubungan antara pemimpin dan bawahan yang berlandaskan saling percaya, rasa hormat, dan tanggung jawab. Kualitas LMX rendah ditandai oleh hubungan yang hanya berdasarkan ikatan kontrak antara pemimpin dan bawahan (Hogg, 2004). Teori LMX ditemukan berkorelasi dengan kepuasan bawahan, peningkatan performa bawahan, dan berkurangnya keinginan untuk berhenti bekerja pada karyawan-karyawan di dalam sebuah organisasi. Walaupun demikian, penelitian-penelitian mengenai teori ini sering kali diragukan karena sering tidak berlandaskan asumsi teoretis yang kuat (Schriesheim, Castro, dan Cogliser, 1999). Selain itu, Hogg juga mengemukakan bahwa fokus teori LMX hanya pada hubungan dua arah, bukan pada hubungan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, Hogg mengemukakan teori "identitas sosial" untuk kepemimpinan yang lebih mampu menjelaskan kepemimpinan dalam perspektif kelompok.
IDENTITAS SOSIAL DAN PROTOTIPIKAL KELOMPOK
Menurut teori identitas sosial, sebuah kelompok disebut "ada" secara psikologis ketika terdapat sekumpulan orang dengan memiliki konsep diri yang sama sebagai ciri utama kategori sosial pembentuk kelompok tersebut. Representasi kelompok ini merupakan prototipe kelompok atau sekelompok ciri yang mendefinisikan persamaan dalam kelompok dan perbedaan kelompok tersebut dengan kelompok lain terutama yang menyangkut sistem kepercayaan, sikap, perilaku, dan perasaan. Prototipe kelompok dirancang sedemikian rupa agar memaksimalkan perbedaan antarkelompok dan meminimalkan perbedaan di dalam kelompok (Hogg, 2004). Dalam sebuah kelompok yang memiliki prototipe yang jelas dan kuat, seseorang dengan karekteristik yang sangat mirip dengan prototipe kelompoknya akan mudah memengaruhi anggota lain agar melakukan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan visi orang tersebut. Walaupun demikian, pada kelompok yang memiliki prototipe yang jelas, seseorang dengan karekteristik yang sesuai dengan prototipe kelompok dapat menjadi pemimpin yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang karekteristiknya kurang sesuai dengan prototipe kelompok. Dalam sebuah kelompok yang prototipenya kurang jelas, posisi seorang pemimpin sebenarnya kurang kuat, karena tidak adanya konsensus antaranggota kelompoknya. Menurut Hogg, untuk menjadi pemimpin yang berhasil, selain memiliki prototipe kelompok, seseorang juga harus menunjukkan perilaku yang sesuai dengan stereotip "pemimpin" atau skema pemimpin (leader schemas). Walaupun demikian, pengaruh skema pemimpin terhadap keberhasilan kepemimpinan akan berkurang jika kelompok memiliki prototipe yang sangat jelas.
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL VERSI TRANSAKSIONAL
Pemimpin dapat menunjukkan dua karekteristik ketika berhubungan dengan anggotanya, yaitu pemimpin transformasional dan pemimpin transaksional (Burns, 1978).
TRANSFORMASIONAL
TRANSAKSIONAL
• Menawarkan sebuah tujuan yang melebihi target-target jangka pendek .
• Berfokus pada kebutuhan intrinsik yang lebih tinggi.
• Mengembangkan dan meningkatkan minat para anggotanya untuk melupakan keinginan pribadi mereka agar bekerja demi kepentingan kelompok.
• Memiliki karekteristik: berkarisma, mencukupi kebutuhan emosional anggotanya, menstimulasi anggota kelompok secara intelektual.

• Berfokus pada pertukaran sumber-sumber yang dimiliki oleh pemimpin dan anggota kelompok.
• Melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung penyelesaian tugas bersama.
• Menggunakan penghargaan dan penalti sebagai alat untuk membuat para anggota kelompok bekerja dan berusaha.
• Memberikan kepada anggotanya apa yang mereka inginkan agar is mendapatkan keinginannya.
• Transaksi antara pemimpin dan anggota kelompok tidak harus selalu yang memiliki nilai uang (misal jam kerja atau gaji) tetapi juga rasa percaya,komitmen,dan rasa hormat.

Sumber : Bass, 1990. Kuhnert dan Lewis, 1987.
Penelitian-penelitian awal mengenai kedua jenis kepemimpinan ini mengatakan bahwa pemimpin transformasional lebih berhasil memengaruhi anggota kelompoknya dibandingkan pemimpin transaksional karena dipersepsikan sebagai seseorang yang karismatik. Walaupun begitu, menurut Bass (1999), kedua bentuk kepemimpinan ini bukanlah melambangkan dua hal yang berbeda atau bersebrangan dalam satu kontinum, sehingga pemimpin yang baik adalah mereka yang melakukan kedua perilaku kepemimpinan ini.
4. Pemimpin di Indonesia
Semua pemaparan di atas membicarakan kepemimpinan berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dalam kebudayaan Barat. Bagaimana dengan Indonesia yang memiliki kebudayaan Timur? Beberapa studi yang menelaah kepemimpinan di Indonesia menunjukkan bahwa hal-hal yang dinyatakan oleh teori-teori kepemimpinan pada budaya Barat juga berlaku dalam kultur Indonesia. Contohnya penelitian yang dilakukan oleh Sanggenafa (1990) mengenai kepemimpinan pada suku Ekagi di Irian Jaya. Penelitian Sanggenafa menunjukkan bahwa di dalam suku tersebut terjadi hubungan yang transaksional antara pemimpin dan kelompoknya. Seorang pemimpin dalam suku Ekagi tidak langsung mendapatkan peningkatan status sosial, melainkan is harus membuktikan diri dengan menjaga keharmonisan klannya. Hal itu dilakukan, misalnya, dengan menyelesaikan sengketa antara klannya atau dengan klan lain. Hal serupa juga tampak pada penelitian Silalahi (1989) yang mengamati kepala-kepala desa. Penelitian itu menunjukkan bahwa kepala desa yang ideal adalah mereka yang transformasional dan transaksional serta mengadopsi identitas sosial kelompok. Menurut penelitian ini, kunci kepemimpinan kepala desa yang berhasil adalah komunikasi yang baik antara pemimpin dan masyarakat desa serta pemimpin yang mengikuti adat-istiadat masyarakat desa.. Satu faktor yang dipertimbangkan dalam perbedaan budaya adalah seberapa besar masyarakat menerima bahwa kekuasaan dalam institusi atau organisasi terdistribusi secara tidak adil atau yang sering disebut sebagai power distance (Hofstede, 1980). Penelitian yang dilakukan Hofstede menunjukkan bahwa negara-negara dengan kebudayaan Timur memiliki persepsi power distance tinggi. Ketidakadilan adalah sesuatu yang diterima dan diinginkan. Orang yang kurang berkuasa harus menggantungkan diri pada mereka yang berkuasa. Dalam budaya power distance yang tinggi, sentralisasi merupakan sesuatu yang sering dilakukan. Di Indonesia, hal ini juga ditemukan contohnya pada PT Merpati Nusantara oleh Lindarwaty (1996). Satu hal lagi yang memengaruhi bentuk kepemimpinan di Asia, termasuk Indonesia, adalah masyarakatnya memiliki tingkat kepercayaan yang rendah (low-trust society). Misalnya saja pada perusahaan keluarga, penujukkan pemimpin tidak selalu berdasarkan kemampuan melainkan berdasarkan tali persaudaraan, seperti yang terlihat pada perusahaan rokok Djarum (lihat Box. 10.1). Menurut Fukayama (1995 dalam Fukuyama, 2001), pada masyarakat yang memiliki kepercayaan sosial rendah, kepemimpinan cenderung diserahkan kepada anggota keluarga, klan, atau anggota struktur sosial yang kecil. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah komunikasi yang cukup intensif antara kelompok dan pihak di luar kelompok (Bstieler dan Hemmert, 2008).

KESIMPULAN
Kepemimpinan merupakan upaya seseorang memengaruhi sekelompok orang untuk bersama-sama mencapai sebuah tujuan. Terdapat tiga perspektif dalam menjelaskan kepemimpinan, yaitu perspektif keprjbadian, perspektif situasional, dan perpektif proses kelompok.
• Perspektif kepribadian berasumsi bahwa keberhasilan sebuah kelompok untuk mencapai tujuannya bergantung pada sifat-sifat bawaan (traits) si pemimpin. Perspektif ini terbagi menjadi dua pandangan, yaitu: the great person theory dan trait theory (Seters dan Field, 1990).
• Sedangkan perspektif situasional memiliki hipotesis bahwa keberhasilan seseorang memimpin kelompoknya mencapai sebuah tujuan bukan hanya bergantung pada karekteristiknya,tetapi lebih pada interaksi antara pemimpin dengan kondisi situasional, kultur, dan konteks dari kelompok.
• Perspektif proses kelompok yang menganggap bahwa di samping kepribadian pemimpin dan situasi organisasi atau kelompok, proses di dalam kelompok juga memengaruhi kepemimpinan. Perspektif proses kelompok terdiri dari 3 macam cabang teoretis, yaitu: teori yang mengkaji hubungan antara pemimpin dan pengikut, teori yang mengkaji hubungan prototipe kelompok dan kepemimpinan, dan teori yang mengkaji mengenai transformasional versus transaksional dalam kepemimpinan.

Menurut beberapa penelitian, kepemimpinan dipengaruhi oleh perbedaan budaya. Beberapa studi yang menelaah kepemimpinan di Indonesia menunjukkan bahwa teori-teori kepemimpinan pada budaya Barat juga berlaku dalam kultur Indonesia. Walaupun demikian, interaksi antara pemimpin dan anggota kelompok di dalam budaya Indonesia juga dipengaruhi oleh karekteristik budaya yang memilliki power distance tinggi dan tingkat kepercayaan yang rendah di dalam masyarakat.

4 comments:

  1. Mantap gan ... Untuk di jadikan bahan presentasi ... Terima kasih atas artikel nya ...

    ReplyDelete
  2. Iya, sama sama , semoga bermanfaat

    ReplyDelete
  3. Sumbernya buku mana aja ya min?

    ReplyDelete

Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget