Sunday, 25 October 2015

Bagaimana Kita Mendefinisikan Peritaku Abnormal?
Dari vvaktu ke walau, sebagian besar dari kita merasa cemas atau depresi, tetapi perilaku kita itu tidak ( dianggap abnormal. Adlah hal yang normal untuk merasa cemas ketika menghadapi interview kerja yang penting atau ujian akhir. Adalah tepat untuk merasa depresi ketika Anda kehilangan seseorang yang dekat dengan Anda atau ketika gagal dalam tes maupun dalam pekerjaan. Lalu bilamana kita dianggap melanggar batas antara perilaku normal dan abnormal?

Satu jawabannya adalah kondisi emosional seperti kecemasan dan depresi dapat dikatakan abnormal bila tidak sesuai dengan situasinya. Merupakan hal yang normal bila kita merasa rertekan ketika gagal dalam tes, tetapi menjadi tidak normal bila kita merasa tertekan ketika mendapatkan peringkat yang baik atau memuaskan. Merupakan hal yang normal bila kita merasa cemas selama interviu masuk universitas, tetapi menjadi tidak normal bila rasa cemas itu muncul ketika sedang memasuki sebuah department store atau menaiki lift yang penuh sesak.
Perilaku abnormal juga dapat diindikasikan melalui besarnyaltingkat keseriusan problem. Walaupun beberapa bentuk kecemasan sebelum suatu interviu kerja dianggap cukup normal, namun merasa seakan-akan jantung Anda akan copot—yang mengakibatkan batalnya interviu—adalah tidak normal. Tidak juga normal untuk merasa sangat cemas dalam situasi tersebut di mana baju Anda menjadi basah kuyup oleh keringat. 


Kriteria untuk Menentukan Abnormalitas
Para ahli kesehatan mental menggunakan berbagai 'criteria dalam membuat keputusan tentang apakah suatu perilaku adalah abnormal atau tidak. Kriteria yang paling umum digunakan adalah:
1. Perilaku yang tidak biasa. Perilaku yang fidak biasa sering dikatakan abnormal. Hanya sedikit dari kita yang menyatakan melihat ataupun mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada; "melihat sesuatu" dan "mendengar sesuatu" seperti itu hampir selalu dikatakan abnormal dalam budaya kita, kecuali mungkin dalam kasus-kasus pengalaman religius tertentu di mana mendengar suara" atau "melihat bayangan" dari tokoh-tokoh religius bukanlah sesuatu yang aneh (USDHHS, 1999a). Lebih jauh, "mendengar suara" dan bentuk halusinasi lainnya dalam sejumlah keadaan dianggap tidak aneh di beberapa masyarakat prasejarah.
Merasakan panik yang berlebihan ketika memasuki suatu department store atau ketika berada dalam lift yang penuh sesak merupakan hal yang tidak umum dan dianggap abnormal dalam budaya kita. Akan tetapi, perilaku yang tidak umum tidak bisa dengan sendirinya dikatakan 

2. Perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma sosial. Setiap masyarakat memiliki norma-norma (standar) yang menentukan jenis perilaku yang dapat diterima dalam beragam konteks tertentu. Perilaku yang dianggap normal dalam satu budaya mungkin akan dipandang sebagai abnormal dalam budaya lainnya. Dalam masyarakat kita, seseorang yang berdiri di atas mimbar pidato di suatu taman dan berulang-ulang meneriakkan kata "Tembak!" pada setiap orang yang lewat di depannya akan dilabel abnormal; sementara berteriak "Tembak!" di tribun penonton pada- suatu pertandingan sepak bola yang penting biasanya merupakan hal yang normal, walaupun tampaknya tanpa perasaan. Meskipun penggunaan norma tetap merupakan standar penting untuk mendefinisikan perilaku abnormal, kita harus waspada terhadap adanya sejumlah batasan dari definisi ini.
Satu implikasi dari mendasarkan definisi perilaku abnormal pada norma sosial adalah bahwa norma-norma tersebut merefleksikan standar yang relatif, bukan kebenaran universal. Apa yang nor-mal dalam satu budaya mungkin abnormal di budaya lain. Misalnya, warga Amerika yang menganggap orang asing (tak dikenal) sebagai orang yang penuh tipu daya dan mencoba untuk mengambil keuntungan biasanya dilihat sebagai seseorang yang bersifat curiga, bahkan mungkin paranoid. Tetapi kecurigaan ini dibenarkan di antara kelompok Mundugumor, suku kanibal yang dipelajari oleh seorang antropolog Margaret Mead (1935). Dalam budaya itu, laki-laki asing, bahkan pria dari anggota keluarga sendiri, biasanya memang memiliki niat jahat terhadap orang lain.
Para klinisi perlu untuk mempertimbangkan perbedaan budaya dalam menentukan mana yang normal dan mana yang abnormal. Dalam kasus Mundugumor, kebutuhan akan hal ini kurang lebih cukup jelas. Namun terkadang, perbedaan itu hampir tidak kentara. Misalnya, apa yang dipandang normal, perilaku blak-blakan dari kebanyakan wanita Amerika mungkin dianggap sebagai perilaku kurang ajar bila dipandang dari konteks budaya lain yang lebih tradisional. Lebih juh, apa yang dianggap abnormal dalam satu generasi mungkin dilihat sebagai hal yang normal oleh generasi lainnya. Contohnya, sampai pada pertengahan tahun 1970-an homoseksualitas dildasifikasikan sebagai sebuah gangguan mental oleh para psikiater (lihat Bab 11). Namun, sekarang para psikiater tidak lagi mempertimbangkan homoseksualitas sebagai gangguan mental, dan banyak orang memberilcan pendapat bahwa norma m4yarakat kontemporer seharusnya memasukkan homoseksualitas sebagai suatu variasi normal dalam perilaku.
Implikasi lain yang muncul bila mendasarkan normalitas pada kepatuhan terhadap norma sosial adalah tendensi untuk melabel mereka yang tidak patuh (nonkonformis) sebagai terganggu secara mental. Kita akan memberi label perilaku yang kita tidak disukai atau pahami sebagai "sakit" dan bukan menerima bahwa perilaku tersebut bisa saja normal, meskipun perilaku itu mengganggu atau membingungkan kita.

3. Persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realitas. Biasanya, sistem sensori dan proses kognitif memungkinkan kita untuk membentuk representasi mental yang akurat tentang lingkungan sekitar. Namun melihat sesuatu ataupun mendengar suara yang tidak ada objeknya akan disebut sebagai halusinasi (hallucination), di mana dalam budaya kita sering dianggap sebagai tanda-tanda yang mendasari suatu gangguan. Sama halnya, memiliki ide-ide yang tidak berdasar atau delusi (de-lusions), seperti ide persekusi (ideas of persecution) bahwa CIA atau mafia sedang mencari-cari Anda, kemungkinan dianggap sebagai tanda-tanda dari gangguan mental—kecuali, tentu saja, apabila kenyataannya memang begitu. (Seorang mantan sekretaris negara AS dipercaya memiliki catatan sebagai paranoid; namun, paranoianya itu beralasan dan menunjukkan bahwa beliau memang memiliki musuh. Merupakan hal yang normal di AS untuk mengatakan bahwa seseorang "berbicara" pada Tuhan melalui doa. Namur, jika ada orang yang mengklaim dirinya benar-benar melihat Tuhan atau mendengar suara-Nya—berbeda dengan, misalnya, terinspirasi oleh Tuhan—kita mungkin menganggap bahwa orang tersebut mengalami gangguan mental.


4. Orang-orang tersebut berada dalam stres personal yang signifikan. Kondisi stres personal yang diakibatkan oleh gangguan emosi, seperti kecemasan, ketakutan, atau depresi, dapat dianggap abnor-mal. Namun seperti yang ditulis sebelumnya, kecemasan dan depresi terkadang merupakan respons yang sesuai dengan situasi tertentu. Ancaman dan kehilangan yang nyata terjadi dan dialami oleh setiap orang dari waktu ke waktu, dan tidak adanya respons emosional pada kondisi tersebut dapat dianggap sebagai abnormal. Perasaan distres yang tepat tidak dapat dikatakan abnormal kecuali apabila perasaan tersebut menjadi berkelanjutan atau bertahan bahkan lama setelah sumbernya sudah tidak ada (saat kebanyakan orang akan mampu menyesuaikan diri) atau jika perasaan itu sangat intens sehingga merusak kemampuan individu untuk berfungsi kembali.

5. Perilaku maladaptif atau `self-defeating: Perilaku yang menghasilkan ketidakbahagiaan dan bukan self-fulfillment dapat dianggap sebagai abnormal. Perilaku yang membatasi kemampuan kita untuk berfungsi dalam peran yang diharapkan atau untuk beradaptasi dengan lingkungan kita juga dapat disebut sebagai abnormal. Menurut kriteria ini, pengonsumsian alkohol yang parah yang mengganggu fungsi kesehatan, sosial, dan kerja akan dipandang sebagai abnormal. Perilaku agorafobia (agoraphobic), yang ditandai oleh rasa takut yang sangat kuat ketika berada dalam area-area publik, dapat disebut abnormal dengan alasan bahwa perilaku tersebut tidak umum dan juga maladaptif karena merusak kemampuan individu untuk menyelesaikan pekerjaan dan mengemban tanggung jawab keluarga.

6. Perilaku berbahaya. Perilaku yang menimbulkan bahaya bagi orang itu sendiri ataupun orang lain dapat dikatakan abnormal. Dalam hal ini konteks sosial juga menjadi masalah penting. Pada saat perang, orang-orang yang mengorbankan diri mereka sendiri atau melawan musuh dengan kurang memperhatikan keselamatan mereka sendiri dapat dikategorikan sebagai orang yang berani, heroik, dan patriotik. Tetapi orang-orang yang mengancam atau berupaya untuk bunuh diri karena tekanan hidup sehari-hari biasanya dianggap sebagai abnormal.
Para pemain sepak bola dan hoki, bahkan remaja putra yang terkadang terlibat dalam perselisihan, kemungkinan cukup normal. Karena adanya tuntutan dari budaya olahraga tersebut, maka para pemain sepak bola ataupun hoki yang tidak agresif tidak akan bertahan lama pada peringkat kampus ataupun profesional. Namun individu-individu yang sering terlibat dalam perkelahian yang tidak jelas alasannya dapat dianggap sebagai abnormal. Perilaku agresif secara fisik paling sering dianggap maladaptif dalam kehidupan modern. Lebih jauh, di luar konteks olahraga dan perang, agresi fisik tidak dibenarkan sebagai cara pemecahan konflik interpersonal—walaupun tidak berarti bahwa hal ini jarang terjadi.


Dengan demikian, perilaku abnormal memiliki definisi ganda. Tergantung pada kasusnya, beberapa kriteria mungkin dapat lebih ditekankan daripada kriteria lainnya. Namun pada kebanyakan kasus, kombinasi dari kriteria-kriteria tersebut digunakan untuk mendefinisikan abnormalitas. Mengetahui dan melabel perilaku sebagai abnormal adalah hal yang berbeda dengan memahami dan menjelaskan perilaku tersebut. Para filsuf, dokter, ahli ilmu alam, dan psikolog memiliki berbagai macam pendekatan, atau model, dalam upaya menjelaskan perilaku abnormal. Sejumlah pendekatan didasarkan pada takhayul; lainnya memiliki penjelasan religius. Sejumlah pandangan terkini dititik-beratkan pada faktor biologic; lainnya, psikologis. Kami mempertimbangkan berbagai pendekatan historis dan pendekatan kontemporer dalam memahami perilaku abnormal. Pertama-tama, marl kita melihat lebih lanjut akan pentingnya keyakinan dan harapan-harapan budaya dalam menentukan pola perilaku mana yang dianggap abnormal. 

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Apakah ilmu yang ada di blog ini bermanfaat ?

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget