Bagaimana Kita Mendefinisikan
Peritaku Abnormal?
Dari vvaktu ke walau, sebagian besar dari kita merasa
cemas atau depresi, tetapi perilaku kita itu tidak ( dianggap abnormal. Adlah hal yang normal untuk merasa cemas ketika menghadapi interview kerja yang penting
atau ujian akhir. Adalah tepat untuk merasa depresi ketika Anda kehilangan
seseorang yang dekat dengan Anda atau ketika gagal dalam tes maupun dalam
pekerjaan. Lalu bilamana kita dianggap melanggar batas antara perilaku normal
dan abnormal?
Satu jawabannya adalah kondisi emosional seperti
kecemasan dan depresi dapat dikatakan abnormal bila tidak sesuai dengan
situasinya. Merupakan hal yang normal bila kita merasa rertekan ketika gagal
dalam tes, tetapi menjadi tidak normal bila kita merasa tertekan ketika
mendapatkan peringkat yang baik atau memuaskan. Merupakan hal yang normal bila
kita merasa cemas selama interviu masuk universitas, tetapi menjadi tidak
normal bila rasa cemas itu muncul ketika sedang memasuki sebuah department
store atau menaiki lift yang penuh sesak.
Perilaku abnormal juga dapat diindikasikan melalui
besarnyaltingkat keseriusan problem. Walaupun beberapa bentuk kecemasan sebelum
suatu interviu kerja dianggap cukup normal, namun merasa seakan-akan jantung
Anda akan copot—yang mengakibatkan batalnya interviu—adalah tidak normal. Tidak
juga normal untuk merasa sangat cemas dalam situasi tersebut di mana baju Anda
menjadi basah kuyup oleh keringat.
Kriteria untuk Menentukan
Abnormalitas
Para ahli kesehatan mental menggunakan berbagai
'criteria dalam membuat keputusan tentang apakah suatu perilaku adalah abnormal
atau tidak. Kriteria yang paling umum digunakan adalah:
1. Perilaku yang tidak biasa. Perilaku yang fidak
biasa sering dikatakan abnormal. Hanya sedikit dari kita yang menyatakan
melihat ataupun mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada; "melihat
sesuatu" dan "mendengar sesuatu" seperti itu hampir selalu
dikatakan abnormal dalam budaya kita, kecuali mungkin dalam kasus-kasus
pengalaman religius tertentu di mana mendengar suara" atau "melihat
bayangan" dari tokoh-tokoh religius bukanlah sesuatu yang aneh (USDHHS,
1999a). Lebih jauh, "mendengar suara" dan bentuk halusinasi lainnya
dalam sejumlah keadaan dianggap tidak aneh di beberapa masyarakat prasejarah.
Merasakan panik yang berlebihan ketika memasuki suatu
department store atau ketika berada dalam lift yang penuh sesak merupakan hal
yang tidak umum dan dianggap abnormal dalam budaya kita. Akan tetapi, perilaku
yang tidak umum tidak bisa dengan sendirinya dikatakan
2. Perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial
atau melanggar norma sosial. Setiap masyarakat memiliki norma-norma (standar)
yang menentukan jenis perilaku yang dapat diterima dalam beragam konteks
tertentu. Perilaku yang dianggap normal dalam satu budaya mungkin akan
dipandang sebagai abnormal dalam budaya lainnya. Dalam masyarakat kita,
seseorang yang berdiri di atas mimbar pidato di suatu taman dan berulang-ulang
meneriakkan kata "Tembak!" pada setiap orang yang lewat di depannya
akan dilabel abnormal; sementara berteriak "Tembak!" di tribun
penonton pada- suatu pertandingan sepak bola yang penting biasanya merupakan
hal yang normal, walaupun tampaknya tanpa perasaan. Meskipun penggunaan norma
tetap merupakan standar penting untuk mendefinisikan perilaku abnormal, kita
harus waspada terhadap adanya sejumlah batasan dari definisi ini.
Satu implikasi dari mendasarkan definisi perilaku
abnormal pada norma sosial adalah bahwa norma-norma tersebut merefleksikan
standar yang relatif, bukan kebenaran universal. Apa yang nor-mal dalam satu
budaya mungkin abnormal di budaya lain. Misalnya, warga Amerika yang menganggap
orang asing (tak dikenal) sebagai orang yang penuh tipu daya dan mencoba untuk
mengambil keuntungan biasanya dilihat sebagai seseorang yang bersifat curiga,
bahkan mungkin paranoid. Tetapi kecurigaan ini dibenarkan di antara kelompok
Mundugumor, suku kanibal yang dipelajari oleh seorang antropolog Margaret Mead
(1935). Dalam budaya itu, laki-laki asing, bahkan pria dari anggota keluarga
sendiri, biasanya memang memiliki niat jahat terhadap orang lain.
Para klinisi perlu untuk mempertimbangkan perbedaan
budaya dalam menentukan mana yang normal dan mana yang abnormal. Dalam kasus
Mundugumor, kebutuhan akan hal ini kurang lebih cukup jelas. Namun terkadang,
perbedaan itu hampir tidak kentara. Misalnya, apa yang dipandang normal,
perilaku blak-blakan dari kebanyakan wanita Amerika mungkin dianggap sebagai
perilaku kurang ajar bila dipandang dari konteks budaya lain yang lebih
tradisional. Lebih juh, apa yang dianggap abnormal dalam satu generasi mungkin
dilihat sebagai hal yang normal oleh generasi lainnya. Contohnya, sampai pada
pertengahan tahun 1970-an homoseksualitas dildasifikasikan sebagai sebuah
gangguan mental oleh para psikiater (lihat Bab 11). Namun, sekarang para
psikiater tidak lagi mempertimbangkan homoseksualitas sebagai gangguan mental,
dan banyak orang memberilcan pendapat bahwa norma m4yarakat kontemporer
seharusnya memasukkan homoseksualitas sebagai suatu variasi normal dalam
perilaku.
Implikasi lain yang muncul bila mendasarkan
normalitas pada kepatuhan terhadap norma sosial adalah tendensi untuk melabel
mereka yang tidak patuh (nonkonformis) sebagai terganggu secara mental. Kita
akan memberi label perilaku yang kita tidak disukai atau pahami sebagai
"sakit" dan bukan menerima bahwa perilaku tersebut bisa saja normal,
meskipun perilaku itu mengganggu atau membingungkan kita.
3. Persepsi atau interpretasi yang salah terhadap
realitas. Biasanya, sistem sensori dan proses kognitif memungkinkan kita untuk
membentuk representasi mental yang akurat tentang lingkungan sekitar. Namun
melihat sesuatu ataupun mendengar suara yang tidak ada objeknya akan disebut
sebagai halusinasi (hallucination), di mana dalam budaya kita sering dianggap
sebagai tanda-tanda yang mendasari suatu gangguan. Sama halnya, memiliki
ide-ide yang tidak berdasar atau delusi (de-lusions), seperti ide persekusi
(ideas of persecution) bahwa CIA atau mafia sedang mencari-cari Anda,
kemungkinan dianggap sebagai tanda-tanda dari gangguan mental—kecuali, tentu
saja, apabila kenyataannya memang begitu. (Seorang mantan sekretaris negara AS
dipercaya memiliki catatan sebagai paranoid; namun, paranoianya itu beralasan
dan menunjukkan bahwa beliau memang memiliki musuh. Merupakan hal yang normal
di AS untuk mengatakan bahwa seseorang "berbicara" pada Tuhan melalui
doa. Namur, jika ada orang yang mengklaim dirinya benar-benar melihat Tuhan
atau mendengar suara-Nya—berbeda dengan, misalnya, terinspirasi oleh Tuhan—kita
mungkin menganggap bahwa orang tersebut mengalami gangguan mental.
4. Orang-orang tersebut berada dalam stres personal
yang signifikan. Kondisi stres personal yang diakibatkan oleh gangguan emosi,
seperti kecemasan, ketakutan, atau depresi, dapat dianggap abnor-mal. Namun
seperti yang ditulis sebelumnya, kecemasan dan depresi terkadang merupakan
respons yang sesuai dengan situasi tertentu. Ancaman dan kehilangan yang nyata
terjadi dan dialami oleh setiap orang dari waktu ke waktu, dan tidak adanya
respons emosional pada kondisi tersebut dapat dianggap sebagai abnormal.
Perasaan distres yang tepat tidak dapat dikatakan abnormal kecuali apabila
perasaan tersebut menjadi berkelanjutan atau bertahan bahkan lama setelah
sumbernya sudah tidak ada (saat kebanyakan orang akan mampu menyesuaikan diri)
atau jika perasaan itu sangat intens sehingga merusak kemampuan individu untuk
berfungsi kembali.
5. Perilaku maladaptif atau `self-defeating: Perilaku
yang menghasilkan ketidakbahagiaan dan bukan self-fulfillment dapat dianggap
sebagai abnormal. Perilaku yang membatasi kemampuan kita untuk berfungsi dalam
peran yang diharapkan atau untuk beradaptasi dengan lingkungan kita juga dapat
disebut sebagai abnormal. Menurut kriteria ini, pengonsumsian alkohol yang
parah yang mengganggu fungsi kesehatan, sosial, dan kerja akan dipandang
sebagai abnormal. Perilaku agorafobia (agoraphobic), yang ditandai oleh rasa
takut yang sangat kuat ketika berada dalam area-area publik, dapat disebut
abnormal dengan alasan bahwa perilaku tersebut tidak umum dan juga maladaptif
karena merusak kemampuan individu untuk menyelesaikan pekerjaan dan mengemban
tanggung jawab keluarga.
6. Perilaku berbahaya. Perilaku yang menimbulkan
bahaya bagi orang itu sendiri ataupun orang lain dapat dikatakan abnormal.
Dalam hal ini konteks sosial juga menjadi masalah penting. Pada saat perang,
orang-orang yang mengorbankan diri mereka sendiri atau melawan musuh dengan
kurang memperhatikan keselamatan mereka sendiri dapat dikategorikan sebagai
orang yang berani, heroik, dan patriotik. Tetapi orang-orang yang mengancam
atau berupaya untuk bunuh diri karena tekanan hidup sehari-hari biasanya
dianggap sebagai abnormal.
Para pemain sepak bola dan hoki, bahkan remaja putra
yang terkadang terlibat dalam perselisihan, kemungkinan cukup normal. Karena
adanya tuntutan dari budaya olahraga tersebut, maka para pemain sepak bola
ataupun hoki yang tidak agresif tidak akan bertahan lama pada peringkat kampus
ataupun profesional. Namun individu-individu yang sering terlibat dalam
perkelahian yang tidak jelas alasannya dapat dianggap sebagai abnormal.
Perilaku agresif secara fisik paling sering dianggap maladaptif dalam kehidupan
modern. Lebih jauh, di luar konteks olahraga dan perang, agresi fisik tidak
dibenarkan sebagai cara pemecahan konflik interpersonal—walaupun tidak berarti
bahwa hal ini jarang terjadi.
Dengan demikian, perilaku abnormal memiliki definisi
ganda. Tergantung pada kasusnya, beberapa kriteria mungkin dapat lebih
ditekankan daripada kriteria lainnya. Namun pada kebanyakan kasus, kombinasi dari
kriteria-kriteria tersebut digunakan untuk mendefinisikan abnormalitas.
Mengetahui dan melabel perilaku sebagai abnormal adalah hal yang berbeda dengan
memahami dan menjelaskan perilaku tersebut. Para filsuf, dokter, ahli ilmu
alam, dan psikolog memiliki berbagai macam pendekatan, atau model, dalam upaya
menjelaskan perilaku abnormal. Sejumlah pendekatan didasarkan pada takhayul;
lainnya memiliki penjelasan religius. Sejumlah pandangan terkini
dititik-beratkan pada faktor biologic; lainnya, psikologis. Kami
mempertimbangkan berbagai pendekatan historis dan pendekatan kontemporer dalam
memahami perilaku abnormal. Pertama-tama, marl kita melihat lebih lanjut akan
pentingnya keyakinan dan harapan-harapan budaya dalam menentukan pola perilaku
mana yang dianggap abnormal.
0 comments:
Post a Comment