Sepanjang sejarah budaya Barat, konsep perilaku
abnormal telah dibentuk, dalam beberapa hal, oleh pandangan dunia (worldview)
yang berlaku saat itu. Sepanjang sejarah, keyakinan akan kekuatan supranatural,
setan, dan roh jahat telah sangat mendominasi. Perilaku abnormal sering kali
dianggap sebagai tanda kerasukan (possession). Pada masa yang lebih modern,
pandangan dunia yang dominan—walaupun tidak berarti universal—telah berganti
pada keyakinan akan ilmu dan nalar (reason). Dalam budaya kita, perilaku
abnormal telah dipandang sebagai produk dari faktor fisik dan psikososial,
bukan akibat dari kerasukan setan.
Model
Demonologi
Mari kita
memulai perjalanan dengan sebuah contoh dari zaman prasejarah. Para arkeolog
telah menemukan kerangka manusia dari Zaman Batu dengan lubang sebesar telur
pada tengkoraknya. Satu nenek moyang kita di
zaman prasejarah percaya bahwa perilaku abnormal merefleksikan serbuan/invasi
dari roh-roh jahat. Mungkin mereka menggunakan cara kasar yang disebut
trephination—menciptakan sebuah jalur melalui tengkorak sebagai jalan
keluar bagi roh marah tersebut. Pertumbuhan tulang yang baru mengindikasikan
bahwa sejumlah orang mampu bertahan hidup dari siksaan tersebut.
Ancaman trephining ini kemungkinan memaksa
orang-orang untuk sedapat mungkin patuh pada norma kelompok atau norma
kesukuan. Oleh karena tidak ada catatan tertulis yang tersimpan rentang tujuan
dari trephination, maka mungkin saja ada penjelasan-penjelasan lain.
Kemungkinan lain trephination adalah suatu bentuk pembedahan primitif untuk memindahkan
kepingan tulang yang hancur ataupun gumpalan darah yang diakibatkan oleh cedera
di kepala (Maher & Maher, 1985).
Mengaitkan perilaku abnormal dengan penyebab
supranatural atau hal-hal gaib disebut sebagai model demonologi (demonological
model). Orang zaman dulu mengaitkan bencana alam dengan keingin-an Tuhan dan
arwah. Orang Babylonia purba percaya bahwa pergerak-an bintang dan planet
ditentukan oleh perjalanan dan konflik dari para dewa. Orang Yunani Kuno
percaya bahwa dewa-dewa mereka memperlakukan manusia sebagai mainan. Ketika
para dewa marah, mereka dapat menciptakan bencana alam untuk mendatangkan
mala-petaka pada orang-orang yang kurang ajar atau yang angkuh, bahkan
menyelimuti pikiran mereka dengan ketidakwarasan. Pada zaman Yunani Kuno, orang
yang berperilaku secara abnor-mal sering dikirim ke kuil untuk dipersembahkan
pada Aesculapius, yaitu Dewa Penyembuhan. Para pendeta percaya bahwa
Aesculapius akan mengunjungi orang-orang yang menderita ketika mereka tertidur
di dalam kuil dan memberikan saran penyembuhan melalui mimpi. Istirahat, diet
nutrisi, dan olahraga juga dipercaya dapat membantu penanganan. Ketidaksembuhan
juga ditentukan oleh kuil dengan membuat orang tersebut tidak sensitif.
Asal Mula
Model Medis: Dalam "Cairan Tubuh yang Memicu Penyakit"
Tidak semua orang Yunani kuno meyakini model
demonologi. Asal mrtacal dari penjelasan naturalistik atas perilaku abnormal
diperkenalkan oleh Hippocrates dan dikembangkan oleh dokter lainnya di dunia
kuno, terutama Galen.
Hippocrates (tahun 460-377 Sebelum Masehi), dokter
terkenal pada Zaman Keemasan Yunani, menantang keyakinan yang telah ada pada
masanya dengan menyatakan bahwa penyakit pada tubuh dan jiwa merupakan basil
dari penyebab yang alami, bukan karena penguasaan oleh kekuatan supranatural.
Ia meyakini bahwa kesehatan tubuh dan jiwa tergantung pada keseimbangan cairan
tubuh (humors), atau cairan vital, di dalam tubuh: lendir, cairan empedu hitam,
darah, dan cairan empedu kuning. Ketidakseimbangan cairan tubuh, menurutnya,
menyebabkan munculnya perilaku abnormal. Orang yang tidak bertenaga atau lambat
diyakini memiliki kelebihan lendir (phlegm), yang kemudian menjadi asal kata
plegmatis (phlegmatic). Berlebihnya cairan empedu hitam diyakini menyebabkan
depresi, atau melankolia (melancholia). Terlalu banyak darah menimbulkan
disposisi sanguinis (sanguine): ceria, percaya diri, dan optimistis. Kelebihan
cairan empedu kuning membuat orang-orang menjadi "muram", dan koleris
(choleric), yaitu cepat marah.
Meskipun kita tidak lagi menganut teori Hippocrates
tentang cairan ketubuhan, teorinya memiliki riwayat historis yang penting
karena penyimpangannya dari demonologi. Teori ini juga mengawali perkembangan
model medis yang modern, pandangan bahwa perilaku abnormal merupakan hasil dari
proses biologis yang mendasarinya. Hippocrates membuat banyak kontribusi
terhadap pemikiran modern, dan tentu saja, terhadap praktik medis modern.
Hippocrates bahkan telah mulai menggolongkan pola-pola perilaku abnormal,
menggunakan tiga kategori utama yang memiliki sejumlah kesamaan saat ini:
melankolia untuk menandai depresi yang berlebihan, maniak untuk mengacu pada
kegembiraan yang berlebihan, dan frenitis (dari bahasa Yunani yang berarti
"peradangan pada otak") untuk menandai bentuk perilaku yang aneh yang
mungkin pada masa kini menggambarkan skizofrenia. Sekolah-sekolah kedokteran
meneruskan tradisi pemberian penghargaan terhadap Hippocrates dengan meminta
dokter-dokter barn melakukan sumpah Hippocrates untuk menghormatinya.
Galen (tahun 130-200 Sesudah Masehi), seorang dokter
Yunani yang merupakan murid dari filsuf Kaisar Roma Marcus Aurelius, mengadopsi
dan memperluas ajaran Hippocrates. Salah satu kontribusi Galen adalah penemuan
bahwa arteri membawa darah, bukan udara, sebagaimana yang sebelumnya diyakini.
Zaman
Pertengahan
Abad pertengahan, atau zaman pertengahan, mencakup
milenium dari sejarah Eropa sejak sekitar tahun 476 hingga tahun 1450 Sesudah
Masehi. Setelah kepergian Galen, keyakinan terhadap penyebab supranatural,
terutama doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat, meningkat pengaruhnya dan
pada akhirnya mendominasi pemikiran di zaman pertengahan. Doktrin tentang
penguasaan oleh roh jahat meyakini bahwa perilaku abnormal merupakan suatu
tanda kerasukan oleh roh jahat atau iblis. Keyakinan ini dibubuhkan ke dalam
ajaran Gereja Katolik Roma, yang menjadi kekuatan pemersatu di Eropa Barat
setelah runtuhnya Kekaisaran Roma. Meskipun keyakinan terhadap penguasaan oleh
roh jahat telah ada sebelum masa kejayaan Gereja dan ditemukan pada
tulisan-tulisan bangsa Mesir dan Yunani, Gereja menghidupkannya kembali.
Sebagai pilihan untuk penanganan perilaku abnormal adalah peng-usiran roh jahat
(exorcism). Para pengusir roh jahat dipekerjakan untuk meyakinkan roh jahat
bahwa tubuh korban yang mereka tuju pada dasarnya tidak dapat dihuni.
Metode-metodenya meliputi berdoa, mengayun-ayunkan tanda salib di hadapan
korban, me-mukul dan mencambuk, bahkan membuat korban menjadi lapar. Apabila
korban masih menunjukkan perilaku yang tidak sepantas-nya, terdapat pengobatan
yang bahkan lebih kuat, seperti penyiksaan, dengan peralatan untuk menyiksa.
Tampak jelas bahwa penerima "pengobatan" tersebut akan termotivasi
untuk menyesuaikan perilaku mereka sebaik mungkin sesuai dengan harapan sosial.
Zaman Renaisans (Renaissance)—kebangkitan kembali Eropa raya dalam hal
pembelajaran, seni, dan sastra—bermula di Italia pada tahun 1400-an dan
menyebar secara berangsur-angsur ke seluruh Eropa.
Zaman Renaisans dianggap sebagai peralihan dari dunia
pertengahan menuju ke dunia modern. Oleh karena itu, ironis bahwa ketakutan
akan penyihir juga mengalami peningkatan pada zaman Renaisans.
Ilmu Sihir
Terutama di akhir abad ke-15 hingga akhir abad ke-17
merupakan masa yang paling berbahaya untuk menjadi orang yang tidak dikenal
oleh tetangga-tetangga Anda. Saat itu merupakan masa penganiayaan besar-besaran
terhadap orang-orang, terutama perempuan, yang dituduh memiliki ilmu sihir.
Perwakilan-perwakilan dari Gereja Katolik Roma meyakini bahwa penyihir membuat
perjanjian dengan iblis, mempraktikkan ritual setan, dan
melakulcan'tindalcan-tindakan mengerikan, seperti memakan bayi-bayi dan
meracuni hasil panen. Pada tahun 1484, Paus Innocent VIII mengumumkan hukuman
mati bagi para penyihir. Dua pendeta Dominika menyusun panduan untuk memburu
penyihir, yang disebut sebagai ..Vfalleus Maleficarum (Palu Milik Penyihir/ The
Witches' Hammer), untuk membantu para penyelidik mengenali penyihir-penyihir
yang dicurigai. Lebih dari 100.000 orang yang dituduh sebagai penyihir dibunuh
selama dua abad berikutnya. Terdapat pula tes-tes "diagnostik" yang
kreatif untuk mendeteksi penguasaan oleh roh jahat dan ilmu sihir. Dalam kasus
tes terapung di air, orang yang tidak bersalah ditenggelamkan di zaman
pertengahan sebagai cara untuk meyakinkan bahwa mereka tidak dirasuki oleh
iblis. Tes terapung di air didasarkan pada prinsip bahwa logam murni tetap
berada di dasar selama peleburan, sedangkan yang tiruan muncul ke permukaan.
Tertuduh yang terbenam dan tenggelam dianggap tidak bersalah. Tertuduh yang
dapat mempertahankan kepala mereka di atas per-mukaan air dianggap bersekutu
dengan iblis. Oleh karenanya mereka benar-benar berada dalam kesulitan.
Percobaan ini merupakan sumber dari frase yang berbunyi, `Terkutulclah jika
engkau melakukan dan terkutuklah jika tidak (Damned if you do and damned if you
don't)." Akademisi modern pernah meyakini bahwa orang-orang yang disebut
sebagai penyihir pada Abad ?enengahan dan Zaman Renaisans sebenarnya merupakan
orang-orang yang mengalami gangguan secara mental. Mereka diyakini disiksa karena
perilaku abnormal mereka dianggap sebagai bukti bahwa mereka bersekutu dengan
iblis. Adalah benar bahwa banyak dari penyihir yang dicurigai mengaku telah
melakukan perilaku yang tidak mungkin, seperti terbang atau melakukan hubungan
seksual dengan iblis. Di satu sisi, pengakuan semacam ini mungkin mengacu pada
gangguan dalam pikiran dan persepsi yang konsisten dengan diagnosis modern
tentang gangguan psikologis, seperti skizofrenia. Namun, kebanyakan dari
pengakuan-pengakuan tersebut dapat diabaikan, karena pengakuan itu digali di
bawah siksaan para penyelidik yang diperintahkan untuk menemukan bukti yang
mendukung tuduhan terhadap para penyihir (Spanos, 1978).
Pada kasus-kasus yang lain, ancaman penyiksaan dan
bentuk-bentuk intimidasi lainnya berhasil dalam upaya menggali
pengakuan-pengakuan palsu. Meskipun beberapa dari mereka yang disiksa sebagai
penyihir mungkin memang menunjukkan pola-pola perilaku abnormal, namun
kebanyakan tidak (Schoenman, 1984). Lebih dari itu, tuduhan tentang ilmu sihir
tampaknya merupakan cara yang tepat pada saat itu untuk menyelesaikan
masalah-masalah social dan mengalahkan musuh-musuh politik, untuk merampas
kepemilikan, dan untuk menghilangkan penyimpangan terhadap doktrin yang berlaku
(Spanos, 1978). Di perkampungan-perkampungan Inggris, banyak tertuduh adalah
perempuan tua yang tidak menikah dan miskin, yang terpaksa meminta-minta
makanan pada tetangga mereka. Apabila terjadi kemalangan pada orang yang
menolak membantu mereka, orang yang meminta-minta dapat dituduh sebagai
penyebab penderitaan dengan cara menyebar-kan kutukan pada keluarga yang tidak
berderma. Apabila perempuan tersebut tidak dikenal oleh khalayak umum, maka
tuduhan tentang ilmu sihir lebih mungkin ditindaklanjuti. Meskipun setan
diyakini memainkan peranan balk dalam perilaku abnormal maupun ilmu sihir,
terdapat perbedaan antara keduanya. Korban dari kerasukan oleh roh jahat
kemungkinan dipersepsikan dirundung hal itu sebagai balasan atas pelanggaran
yang telah dilaku-kan, tapi beberapa orang yang menunjukkan perilaku abnormal
di-anggap merupakan korban yang tidak berdosa dari penguasaan setan tersebut.
Namun, penyihir diyakini secara sukarela memasuki perse-kutuan dengan iblis dan
meninggalkan Tuhan. Penyihir biasanya dipandang lebih layak untuk mengalami penyiksaan
dan eksekusi hukuman mati (Spanos, 1978). Tren sejarah tidak mengikuti garis
lurus. Meskipun model demo-nologi mendominasi selama Abad Pertengahan dan pada
sebagian besar zaman Renaisans, model ini tidak secara universal menggantikan
ke-yakinan akan penyebab alamiah (Schoenman, 1984).
Pada abad per-tengahan di Inggris, misalnya,
kerasukan setan jarang dikemukakan sebagai penyebab perilaku abnormal dalam
kasus di mana seseorang dinyatakan sebagai tidak waras oleh penguasa hukum
(Neugebauer, 1979). Kebanyakan penjelasan untuk perilaku yang tidak biasa
mengacu pada penyebab alamiah, seperti sakit fisik atau trauma pada otak. Di
Inggris, pada kenyataannya, sejumlah orang yang terganggu ditempat-kan di rumah
sakit hingga mereka kembali waras (Allderidge, 1979). Dokter Belgia pada zaman
Renaisans Johann Weyer (1515-1588) juga mengadopsi akar penyebab perilaku
abnormal dari Hippocrates dan Galen dengan mengemukakan bahwa perilaku dan
pola-pola pikir abnormal disebabkan oleh masalah-masalah fisik.
Rumah Sakit
Jiwa
Pada akhir
abad ke-15 dan awal abad ke-16, rumah sakit jiwa, atau penampungan untuk orang
gila, mulai menjamur di seluruh Eropa. Banyak yang sebelumnya merupakan
leprosarium (tempat perawatan untuk penderita lepra), yang tidak lagi
dibutuhkan karena berkurangnya penyakit lepra pada akhir Abad Pertengahan.
Rumah sakit jiwa sering kali memberikan perlindungan bagi para pengemis
sebagaimana orang yang mengalami gangguan, dan kondisi di tempat itu biasanya
mengerikan. Para penghuninya sering kali dirantai di tempat tidur mereka dan
dibiarkan terbaring di tengah kotoran mereka atau berkeluyuran tanpa ada yang
membantu. Sejumlah rumah sakit jiwa menjadi tontonan umum. Pada salah satu
rumah sakit jiwa di London, Rumah Sakit St. Mary's of Betlehem—dari mans kata
bedlam (kata yang umum digunakan pada saat itu untuk menyebut rumah sakit jiwa)
diperoleh—masyarakat umum dapat membeli tiket untuk mengamati kelakuan aneh
dari para pengluininya, sebagaimana yang akan kita lihat pada sebuah
pertunjukan di sirkus atau pada binatang-binatang di sebuah kebun binatang.
Gerakan
Reformasi dan Terapi Moral
Era modern dari penanganan abnormalitas dapat
ditelusuri pada usaha-usaha individu seperti orang-orang Prancis Jean-Baptiste
Pussin dan Philippe Pinel pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Mereka
menyatakan bahwa orang-orang yang berperilaku abnormal menderita suatu penyakit
dan seharusnya ditangani secara manusiawi. Pandangan ini sama sekali tidak
populer pada masa itu. Orang-orang yang gila biasanya dianggap sebagai ancaman
terhadap masyarakat, bukan sebagai oranz sakit yang membutuhkan penanganan.
Dari tahun 1784 hingga 1802, Pussin, seorang awam, ditempatkan sebagai penguasa
suatu bangsal untuk orang-orang yang dianggap "gila tidak
tersembuhkan" pada La Bicetre, sebuah rumah sakit mental besar di Paris.
Meskipun Pinel sering kali dipuji karena telah membebaskan penghuni La Bicetre
dari rantai mereka, sesungguhnya Pussin-lah yang merupakan pejabat pertama yang
membebaskan sekelompok orang yang "gila talc tersembuhkan" dari
rantai mereka. Orang-orang yang tidak beruntung tersebut telah dianggap terlalu
berbahaya dan tidak dapat diramalkan tindak-tanduknya jika dibiarkan tidak
dirantai. Namun Pussin meyakini apabila mereka dirawat dengan kebaikan hati,
maka mereka tidak perlu lagi untuk dirantai. Sebagaimana yang ia perkirakan,
kebanyakan dari mereka yang dikurung menjadi lebih mudah ditangani dan tenang
ketika rantai mereka dilepaskan. Mereka dapat berjalan halaman rumah sakit dan
menghirup udara segar. Pussin juga melarang para staf untuk memperlakukan para
penghuni secara kasar, dan ia memecat para pegawai yang tidak menghargai
petunjuknya. Pinel (1745-1826) menjadi direktur medis untuk bangsal orang-orang
gila yang tak tersembuhkan di La Bicetre pada tahun 1793 dan ia melanjutkan
penanganan manusiawi yang telah dimulai oleh Pussin. Ia menghentikan
praktik-praktik yang kasar, seperti melukai dan menyucikan penderita, dan
memindahkan pasien dari kamar bawah tanah yang gelap ke kamar yang memiliki
ventilasi yang baik dan terkena sinar matahari. Pinel juga menghabiskan waktu
berjam-jam untuk berbicara dengan para penghuni, dengan keyakinan bahwa
menunjukkan pengertian dan kepedulian akan membantu penyembuhan mereka untuk
kembali berfungsi secara normal. Filosofi penanganan yang muncul dari
usaha-usaha ini disebut terapi moral (moral therapy). Terapi ini didasarkan
pada keyakinan bahwa memberikan penanganan yang manusiawi dalam lingkungan yang
santai dan layak dapat mengembalikan fungsi yang normal. Reformasi serupa dilaksanakan
di Inggris pada sekitar masa itu oleh William Tuke dan kemudian di Amerika
Serikat oleh Dorothea Dix.
Tokoh lain yang berpengaruh adalah seorang dokter
Amerika Benjamin Rush (1745-1813)—juga salah seorang penandatangan Deklarasi
Kemerdekaan dan seorang pemimpin pada masa awal gerakan antiperbudakan (Farr,
1994). Rush, dianggap sebagai bapak psikiater Amerika, mengarang buku teks
Amerika pertama di bidang psikiatri pada tahun 1812: Medical Inquiries and
Observations Upon the Diseases of the Mind. Ia meyakini bahwa kegilaan
disebabkan oleh pembesaran pembuluh darah di otak. Untuk mengurangi tekanan, ia
merekomendasikan pengeluaran sejumlah darah dan penanganan-penanganan kasar
lain seperti menyucikan penderita dan memandikan mereka dengan es yang dingin.
Namun ia memang mempelopori penanganan manusiawi dengan cam mendorong stafnya
di Rumah Sakit Philadelphia untuk menangani pasien dengan kebaikan hati, rasa
menghargai, dan penuh pengertian. Ia juga menyukai manfaat terapeutik dari
terapi okupasional, musik, dan perjalanan (Farr, 1994). Rumah sakitnya menjadi
yang pertama di Amerika Serikat yang menerima pasien untuk gangguan psikologis.
Dorothea Dix (1802-1887), seorang guru sekolah di
Boston, melakukan perjalanan mengelilingi AS untuk menentang kondisi yang
menyedihkan di dalam penjara dan rumah penampungan orang miskin di mana
orang-orang gila sering kali ditempatkan. Sebagai dampak langsung dari
usahanya, 32 rumah sakit mental didirikan di seluruh Amerika Serikat.
Suatu Langkah
Mundur
Namun, pada paruh teralchir abad ke-19, keyakinan
bahwa perilaku abnormal dapat berhasil ditangani atau disembuhkan dengan terapi
moral menjadi kurang disukai (USDHHS, 1999a). Suatu periode apatisme berkembang
di mana pola-pola perilaku abnormal dianggap tidak tersembuhkan (Grob, 1994).
Institusi mental di Amerika Serikat berkembang jumlahnya dan kemudian beralih
tidak lebih sebagai tempat penitipan. Kondisi memburuk. Rumah sakit mental
menjadi tempat yang menakut-kan. Adalah hal yang biasa untuk menemukan penghuni
"berkubang dalam kotoran mereka sendiri," dalam kata-kata pejabat
Negara Bagian New York pada saat itu (Grob, 1983). Jaket pengikat, borgol,
tempat kurungan, tali pengikat, dan peralatan-peralatan lain digunakan untuk
membatasi pasien yang terlalu gembira atau pasien yang berbahaya. Kondisi rumah
sakit yang menyedihkan tetap menjadi hal yang umum hingga pertengahan abad
ke-20. Pada pertengahan tahun 1950-an, populasi di rumah sakit mental telah
meningkat hingga setengah juta pasien. Meskipun sejumlah rumah sakit negara
yang bagus menyediakan perawatan yang layak dan manusiawi, banyak yang
digambarkan tidak lebih sebagai sarang ular (snakepits) bagi manusia. Para
penghuni dijejalkan di dalam bangsal yang bahkan tidak memiliki sanitasi yang
mendasar. Pasien mental yang berada di bangsal belakang sebenarnya digudangkan.
Yaitu, mereka dibiarkan menjalani kehidupan mereka masing-masing dengan sedikit
harapan atau keinginan untuk sembuh atau kembali ke komunitas. Banyak pasien
yang menerima sedikit perawatan profesional dan diperlakukan semena-mena oleh
staf-staf yang kurang terlatih dan kurang mendapat pengawasan. Pada pertengahan
abad ke-20, kondisi menyedihkan yang terpaksa dipikul oleh banyak pasien mental
menyebabkan meningkat-nya seruan untuk mereformasi sistem kesehatan mental.
Gerakan
Kesehatan Mental Komunitas: Eksodus dari Rumah Sakit Negara
Sebagai respons terhadap meningkatnya permintaan
untuk mereformasi sistem kesehatan mental, Dewan Kongres pada tahun 1963
mendirikan sistem pusat kesehatan mental yang berskala nasional (community
mental health centers/CMHCs) yang dimaksudkan untuk menawarkan alternatif lain
dan pemeliharaan jangka panjang di institusi yang kondisinya menyedihkan. CMHCs
diperintahkan untuk memberikan dukungan dan perawatan yang berkelanjutan kepada
mantan penghuni yang dilepaskan dari rumah sakit mental negara di bawah
kebijakan deinstitusionalisasi (deinstitutionalization). Faktor lain yang
memicu eksodus dari rumah sakit mental adalah penemuan satu kelas obat yang
baru—phenothiazines. Phenothiazines, suatu kelompok obat antipsikotik yang
membantu menekan pola-pola perilaku paling menyolok yang terkait dengan
skizofrenia, diperkenalkan pada tahun 1950-an. Kelompok obat ini mengurangi
kebutuhan akan perawatan inap rumah sakit dalam waktu yang tak terbatas dan
memungkinkan banyak orang yang menderita skizofrenia untuk hidup lebih bebas di
dalam komunitas, seperti di rumah-rumah singgah (halfway house), rumah-rumah
penampungan, maupun kehidupan mandiri. Populasi rumah sakit mental di seluruh
Amerika Serikat menurun dari 550.000 orang lebih pada tahun 1950 menjadi kurang
dari 130.000 orang pada akhir tahun 1980-an (D. Braddock, 1992; Kiesler &
Sibulkin, 1987). Sejumlah rumah sakit mental sepenuhnya ditutup (Salokangas
& Saarinen, 1998). Gerakan kesehatan mental komunitas didasarkan pada
keyakinan—mungkin harapan—bahwa pasien mental dapat kembali ke komunitas mereka
dan menjalani kehidupan yang lebih mandiri dan memuaskan. Namun hal ini juga
menuai kritik bahwa eksodus dari rumah sakit negara telah menelan-tarkan
puluhan ribu orang yang belum sepenuhnya kembali normal ke komunitas yang tidak
memiliki perumahan layak serta bentuk-bentuk dukungan lainnya. Banyak
pramuwisma yang kita lihat berkeliling di jalan-jalan kota dan tidur di
terminal bis dan stasiun kereta api yang merupakan pasien mental yang
dilepaskan. Pada Bab 4, kita akan melihat lebih dekat mengenai kebijakan
deinstitusionalisasi dan masalah-masalah yang dihadapi oleh populasi psikiatris
yang tidak memiliki tempat tinggal.
Perspektif
Kontemporer tentang Perilaku Abnormal: Dari Demonologi hingga Ilmu Pengetahuan
Keyakinan-keyakinan dalam hal kerasukan roh
jahat atau demonologi tetap bertahan hingga bangkit-nya ilmu pengetahuan alam
pada akhir abad ke-17 dan 18. Masyarakat secara luas mulai berpaling pada nalar
dan ilmu pengetahuan sebagai cara untuk menjelaskan fenomena alam dan perilaku
manusia. Ilmu-ilmu yang bermunculan dalam bidang biologi, kimia, fisika, dan
astronomi menjanjikan bahwa pengetahuan dapat diperoleh dari metode-metode
ilmiah yang berupa observasi dan eksperimentasi. Abad ke-18 dan 19 menjadi
saksi perkembangan yang cepat dalam bidang ilmu kedokteran. Penemuan-penemuan
ilmiah mengungkapkan penyebab mikrobiologis dari beberapa jenis penyakit dan
menghasil-kan langkah-langkah preventif. Model-model perilaku abnormal juga
mulai bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif biologis,
psikologis, sosiokultural, dan biopsikososial.
0 comments:
Post a Comment